Pada tahun 2005 masyarakat mulai melakukan aksi masa untuk meminta PT. Margola memberikan ganti rugi yang layak. Ganti rugi berupa tanaman yang belum dibayar saat pembebasan lahan, akibat longsor oleh getaran dan meminta untuk pencabutan izin tambang.Â
Pada Tahun 2008 PT. Margola melaporkan sebanyak tujuh orang atas tuduhan pengambilan batu yang selanjutnya ditahan oleh kepolisian. Â
Pada Tahun 2009 konflik kembali terjadi antara warga dengan oknum preman suruhan dari PT Margola. Saat pemuda desa membuat video tentang Desa Ngargoretno untuk memperlihatkan kekayaan alam yang ada dan secara tidak langsung pertambangan yang ada di Desa Ngargoretno pun ikut tervideo, hal tersebut membuat PT Margola merasa resah apabila video tersebut akan di publikasi kan lalu mereka menyuruh preman untuk mendatangi para pemuda yang membuat video tersebut.Â
Pada Tahun 2010 setelah berbagai upaya dilakukan, salah seorang warga bernama Soim menginisiasi sebuah perlawanan melalui jalur non-litigasi yaitu dengan mendirikan Gapoktan yang kemudian menaungi 13 kelompok tani. kelompok-kelompok tani ini melakukan sosialisasi kepada warga untuk tidak menjual lahan kepada investor.
Pada tahun 2013 -- sekarang Dodik Suseno diangkat menjadi Lurah, inilah yang menjadi awal pembangunan desa yang turut berperan dalam proses pengembangan desa wisata.
Upaya Melawan Kerusakan
Setelah mengetahui  dan merasakan dampak dari adanya pertambangan  yang kian lama merugikan lingkungan sekitar dan merugikan warga, maka warga Desa Ngargoretno perlahan memanfaatkan lingkungan yang masih tersisa untuk mengembangkan pelestarian alam dengan cara mengusung ide pariwisata.Â
Ide awal untuk mengadakan pariwisata sendiri muncul pada awal 2016 dimana warga Ngargoretno menginisiasi konsep kepariwisataan dengan berlandaskan Community Based Tourism atau CBT, yaitu konsep pengembangan suatu destinasi wisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal, bentuk pariwisata ini dikelola dan dimiliki oleh masyarakat guna membantu pengunjung meningkatkan kesadaran mereka untuk tetap melestarikan berbagai potensi yang ada di lingkungan sekitar salahsatunya batuan marmer karena warga yang tergabung dalam penggerak lingkungan desa beranggapan bahwa batuan alam marmer yang tersisa harus tetap dilestarikan supaya tidak diambil lagi oleh PT Margola.
Masyarakat yang tergabung ke dalam gabungan pemerhati lingkungan desa juga beranggapan bahwa perlunya dilakukan konservasi lingkungan, mengusung ide pariwisata yang mana merangkul semua dusun yang ada di Desa Ngargoretno, terkhusus yang berada di Dusun Selorejo yang pernah berkonflik secara langsung dengan PT Margola. Karena apabila masyarakat terus-menerus mengikuti alur yang dibuat oleh PT Margola maka masyarakat akan fokus kepada tindakan-tindakan intimidasi yang dilakukan oleh preman suruhan PT Margola melihat masyarakat kesusahan dalam perekonomian.
Sampai akhirnya Soim sebagai penggagas wisata bersama dengan masyarakat berfikir untuk memuseumkan batu alam marmer merah yang ada dan belum ditambang oleh PT Margola. Luas lahan yang digunakan untuk museum ini seluas 3 hektare dimana pengunjung yang datang bisa mendapatkan edukasi tentang geologi, bebatuan purba yang berada di kawasan menoreh, selain itu pengunjung juga bisa menikmati paket wisata yang disediakan di Desa Ngargoretno.
Itulah salah satu bentuk upaya perlawanan warga terhadap setan tanah yang terus menambang melalui sektor pariwisata, tapi bukan hanya dari sektor pariwisata saja hingga saat ini pun perjuangan warga masih terus dilakukan melalui sektor perkebunan, pertanian dan berbagai media baik cetak maupun digital.