Mohon tunggu...
Fadilla Amalia Luthfiyanti
Fadilla Amalia Luthfiyanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - 101190203 HKIG

Fadilla Amalia mahasiswa IAIN PONOROGO

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tinjauan Pernikahan Sesama Jenis di Indonesia Menurut Perspektif Hukum Islam

2 Desember 2021   09:35 Diperbarui: 2 Desember 2021   09:42 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkawinan merupakan peristiwa yang sakral dilakukan oleh laki laki dan peremupuan untuk mengikat janji suci sehidup semati. Pernikahan adalah dambaan bagi semua untuk merajut kisah dalam membentuk keluarga sakinah. Pernikahan dalam hukum positif sebagimana Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa adanya sebuah ikatan lahir dan batin antara laki laki dan perempuan. pernikahan bagi umat muslim harus dilakukan sesuai dengan hukum postif yang berlaku di indonesia dan sesuai dengan syariat yang ditentukan kepada umat islam.

Namun pada dasarnya di era modern ini terdapat masalah yang muncul berkaitan tentang pernikahan dengan bermodal kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM). Menciptakan pernikahan pernikahan sesama jenis yang mana hal ini sangat bertentangan dengan syariat islam. Fleksibilitas agama islam terkadang di salah artikan bagi sebagian orang mereka menganggap bahwa selama pembaruan pada suatu hal terjadi maka agama islam akan serta merta mengikuti arus pembaruan tersebut. tanpa berpikir dengan cermat bagaimana hal tersebut dapat mendatangkan manfaat atau untuk kemaslahatan umat atau tidak.

Islam merupakan agama yang luwes  dan fleksibel namun bukannya islam harus  menerima pembaruan akan segala bentuk melainkan adanya sistem filter dalam islam dapat menyaring hal yang baik dan buruk yang bermanfaat atau tidak bagi seluruh umat manusia. Hukum islam dapat menerima dan menolak adanya suatu pembaruan termasuk diantaranya adalah perkawinan sesama jenis,  legalitas perkawinan ini sangatlah kontroversial di indonesia syariah menanggapi hal ini pada suatu ketidakbenaran serta melanggar fitrah dalam diri manusia. secara tegas dalil dalil naqli melarang adanya homoseksual lebih utama lagi dengan perkawinan yang dilakukan.

Hukum Islam melarang perkawinan sesama jenis hal ini terdapat dalam QS.Al-A’raaf Ayat : 80-81 yang memiliki arti sebagai berikut :

Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelumnya. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.

Al-Quran telah melarang tegas perilaku homoseksual atau hal yang terkait homoseksual, hal ini menolak pula perkawinan sesama jenis. Masyarakat menolak adanya tindakan atau fenomena homoseksual karena mereka paham bagaimana tidak sehatnya perilaku tersebut. yang pasti bahwa pernikahan yang benar adalah pernikahan  yang sesuai dengan syariat serta tidak melanggar kodrat yang ada demi menciptakan suasana yang sakinah mawaddah warahmah, bahagia, tentram serta atas ke-ridhoan Allah Subhanahu Wata'ala.

Bagaimana pendapat ulama fiqih terhadap Homoseksual?  para ulama fiqih sepakat bahwa perilaku tersebut dilarang bahkan diharamkan tetapi mereka berbeda pendapat dalam hukum penetapan nya. Praktek tersebut diharamkan karena termasuk dengan perbuatan zina. Beberapa pendapat hukum islam dari para ulama yang dikemukakan oleh Zainuddin bin abdil aziz al Malibaary yang dikutip oleh Mahjudin adalah :

“Para ulama yang memiliki bidang ahli hukum islam memiliki pendapat bahwa praktek hukum homoseksual wajib dihukum sebagaimana sama dengan hukum perzinaan. Jika pelaku tergolong orang sudah kawin, maka wajib sekali untuk dirajam. Kemudian apabila belum kawin maka ia wajib didera sebanyak 100 kali. Kemudian penetapan inilah mencerminkan dua pendapat dari Imam Syafii RA yaitu (Al-Qaulul Qadim dan Qaulul Jadid). Dan pendapat ini menetapkan bahwa terhadap laki laki bersama dengan kumpulan homoseksual, mendapatkan sebuah hukuman dera sebanyak seratus kali serta diasingkan selama satu tahun : baik itu perempuan ataupun laki-laki yang pernah menikah maupun belum menikah, lalu ada juga golongan sekumpulan ulama lain berpendapat bahwa pelaku homoseksual dapat dilakukan hukuman wajib di rajam, meskipun ia belum menikah. Ini merupakan atau termasuk pendapat imam malik dan imam ahmad bin hanbal. Dan pendapat Imam Syafi’I menetapkan bahwa orang orang berperilaku atau bersama dengan kumpulan homoseksual dan lesbian wajib dibunuh sebagaimana keterangan dalam sebuah hadist.”

Kemudian dalam perspektif hukum pidana islam menetapkan bahwa sanksi bagi pelaku yang melakukan sodomi sangatlah keras. Asy-syaukani yang dikutip oleh Sayyid Sabiq Mengatakan sebagai berikut :

“Sanksi tegas berlaku kepada pelaku tindak pidana keji dan sadis berupa kepada hukuman yang benar-benar menimbulkan efek jera pada setiap pelakunya. Selain itu pemeberian sanksi yang tegas dapat melenyapkan nafsu yang bejat bagi diri pelaku. Dengan demikian, jenis hukuman ini tepat dijatuhkan pada masyarakat  yang sebelumnya tidak ada di muka bumi. Hukuman mereka sekeras hukuman Allah dimana mereka layaknya dihancurkan oleh-Nya. Baik itu mereka yang masih perawan bahkan yang sudah janda. Agama islam menetapkan hukuman yang keras ini mengingat bahwa pengaruh buruk dan mudharat yang dimiliki bagi kehidupan manusia secara individu maupun masyarakat.”

Menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukuman mati adalah sebagai ta’zir dapat diberlakukan sebagai siyasah (Pertimbangan Politik Negara) bagi pelaku jarimah yang sangat keji dan dilakukan berulang-ulang serta dengan pertimbangan dari maslahat umum seperti perilaku sodomi, pembunuhan terhadap orang muslim, menghina rasulullah, mencuri berulang kali, merampok bahkan bagi orang yang melakukan perselingkuhan.

Kalangan ulama Syafi’iyah ada yang berpendapat bahwa pelaku sodomi harus dihukum dengan hukuman mati ta’zir, tanpa harus dibedakan antara pelaku yang sudah menikah atau belum menikah. Hal  ini merupakan pendapat dari kebanyakan ulama Syafi’iyah. Kemudian pendapat mayoritas mereka tetap ada yang tidak mengakui adanya hukuman ta’zir sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut :

“Ulama pada kalangan Syafi’iyah dan tokoh tokoh besar ulama kalangan malikiyah tidak membolehkan diperlakukannya hukuman ta’zir atau pun hukuman mati. Mereka cenderung lebih memilih memperlama masa penahanan (pidana penjara seumur hidup) bagi pelaku yang melakukan kejahatan yang tidak ditentukan kriminalitasnya tidak menyebar di dalam masyarakat”

Sehingga pada dasarnya semua fuqoha berpendapat bahwa perilaku menyimpang homoseks dan pernikahan sesama jenis sangatlah diharamkan. Dengan mengacu pada literatur fiqh. Kemudian dapat pula diungkapkan dalam teks-teks agama yang telah mengharamkannya. Jika salah satu fuqoha berbeda pendapat terhadap hukuman atau ganjaran yang diberlakukan kepada pelaku berdasarkan yang di golong kan. Entah itu jarimah hudud atau ta’zir hal ini masih menjadi suatu masalah untuk meninjau kembali fenomena homoseksual ini. Karena masalah ini sangatlah tabu dan perlu sekali peneliti yang dapat membuka atau membongkar wilayah tabu homoseksual.

Pernikahan sesama jenis memang sangat diharamkan dalam agama islam dan melanggar ketentuan hukum islam serta maqashid al-syari’ah yang dapat mengancam eksistensi suatu kebutuhan esensial dalam kehidupan manusia bahkan kehidupan masyarakat. Dengan adanya fenomena pernikahan sesama jenis seperti pernikahan gay, lesbian atau yang lain sebagainya maka eksistensi agama islam menjadi tidak terjaga (hifzh al-din), serta tidak dapat terjaganya kelangsungan keturunan manusia (hifzh al-nasl) yang akan meruntuhkan sistem keluarga serta masyarakat, dikarenakan hubungan sesama jenis tidak dapat menghasilkan reproduksi yang sehat. Kemudian pernikahan sesama jenis ini dapat bertentangan dengan (hifzh al-nafs) karena dapat mengancam jiwa manusia yang seharusnya, dilindungi sebab hubungan seksual sesama jenis dapat menularkan penyakit berbahaya seperti HIV AIDS. Hal lainnya yaitu pernikahan sesama jenis tidak dapat terpenuhinya kemaslahatan manusia berupa perlindungan akal (hifz al’aql) karena hubungan sesama manusia menjadi buruk terutama dapat menghilangkan semangat kerja dalam akal. Pernikahan sesama jenis juga dapat mengabaikan dari perlindungan kehormatan (hifzh al-‘irdh) yang berakibat rusaknya harkat dan martabat seorang manusia baik itu dihadapan Allah sebagai tuhan-Nya  maupun dihadapan sesama manusia. karena perilaku homoseksual ini merupakan suatu perbuatan yang tidak patut untuk dilakukan serta perbuatan keji dan masuk dalam golongan dosa yang besar sebagaimana orang yang berzina. Sehingga akhirnya, melegalkan pernikahan sesama jenis dipandang lebih berat dosanya Karena menganggap suatu perkara yang sudah jelas hukum keharamannya.

Fadilla Amalia/101190203/HKIG/IAIN PONOROGO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun