Mohon tunggu...
Fadilatul Ilmi
Fadilatul Ilmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyambut Program “Wajib Militer” Indonesia, Negara Sudah Siapkah?

14 Oktober 2015   10:45 Diperbarui: 4 April 2017   16:27 18282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar: www.merdeka.com)

Senin 19 Oktober 2015, pendaftaran program Bela Negara baru akan dibuka. Sebanyak 4.500 kader pembina Bela Negara di 45 kabupaten/kota seluruh Indonesia akan dibentuk dan hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia, 100 juta jiwa dengan usia di bawah 50 tahun ditargetkan ikut program tersebut.

Masyarakat sipil yang ikut dalam program tersebut akan dilatih selama sebulan. Dikatakan bahwa pelatihan difokuskan pada revolusi mental dari materi bela negara yang diberikan, meliputi: pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista TNI, dan ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara. Pelatihan fisik tidak terlalu dibebankan, melainkan baris berbaris saja. Usai mendapat latihan, mereka akan mendapat sebuah kartu anggota Bela Negara. Lucunya, kartu itu tidak mempunyai nilai khusus bagi warga yang pernah mengikuti pelatihan Bela Negara. Lantas untuk apa? Penanda? Atau cinderamata semata? Entahlah.

Pemerintah menilai program ini hanya sebagai upaya pembentukan kader bela negara dan gagasan pemerintah untuk mempersiapkan rakyat menghadapi dua bentuk ancaman, yakni ancaman militer dan nirmiliter, didasarkan Pasal 27 UUD 1945 dan UU Pertahanan Nomor 3 Tahun 2002. Pun demikian, pro kontra pasti tetap akan muncul dari berbagai kalangan.

Revolusi mental berikut kesiapan dalam pelaksanaan terkait bela negara jelas menjadi alasan didukungnya program tersebut. Mengingat kondisi pemerintah sendiri ‘dihuni’ oleh banyak kepentingan yang belum tentu menginginkan Indonesia tetap berdiri kokoh, dikhawatirkan akan menjadi celah ancaman tersendiri. Bahkan program ini dianggap sebagai pengalihan isu nasional lain yang sedang terjadi di Indonesia, seperti pelemahan kekuatan KPK oleh DPR, atau bahkan hanya untuk memutar kas negara saja.

Masalah kesiapan juga harus diperhatikan. Sarana pelatihan yang dimiliki Badiklat (Badan Pendidikan dan Pelatihan) Kemenhan, harus dipastikan mampu menampung 833 ribu orang perbulan jika ditargetkan 100 juta orang dalam 10 tahun. Sosialisai juga seharusnya dilakukan secara massive, mengingat program tersebut untuk seluruh warga Indonesia di bawah usia 50 tahun, yang boleh jadi masih berpikiran negatif terhadap program tersebut, terutama mengenai konsep bela negara yang bukan berarti wajib militer. Jangan sampai, program yang akan mulai dijalankan dalam beberapa bulan lagi tersebut, tidak memiliki infrastruktur yang sesuai sehingga program terkesan dilaksanakan dengan seadanya atau bahkan seolah-olah diada-adakan saja, dan tentu jangan sampai masyarakatnya sendiri tidak mengeti apa yang harus mereka ikuti, lakukan dan apa yang dapat mereka peroleh.

Ditinjau dari sisi penyediaan fasilitas dan sosialisasi saja tentu terlihat akan berdampak luar biasa besar pada anggaran, yang bahkan sampai saat ini pembicaraan lebih rinci mengenai anggaran antara pemerintah dengan DPR belum dilakukan. Jelas, menjadi kontra dari sisi lainnya.

Usulan program bela negara yang diajukan Kemenhan tersebut sedikit banyak membuat kiranya penulis tertarik membahas pula topik mengenai wajib militer.

PROGRAM WAJIB MILITER

Luasnya wilayah Indonesia, ditambah lautan yang mengelilinginya jelas membuat Indonesia menjadi sangat rawan terhadap serangan luar. Keamanan negara seperti yang diamanatkan UUD 1945 memang bukan hanya urusan tentara saja, melainkan seluruh rakyat Indonesia walaupun sebatas komponen cadangan sistem pertahanannya.

Idealnya sebuah negara memiliki 0,4%  dari jumlah penduduknya untuk alat kelengkapan negara. Sementara jumlah personel kelengkapan negara Indonesia tidak mencapai angka 1 juta melainkan 413 ribu personel yang terdiri dari 317 ribu personel TNI AD, 82 ribu personel TNI AL, serta 34 ribu personel TNI AU. Tetap saja, apa wajib militer bisa dijadikan solusi terkait fakta tersebut?

(Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Wajib_militer)

Terlihat cukup banyak negara yang menjalankan program wajib militer. Bahkan, negara tetangga Indonesia, Singapura, juga ikut melaksanakan program wajib militer, pun Malaysia, walaupun di sana disebut Program Latihan Khidmad Negara (PLKN) dan tidak se-“wajib militer” yang seharusnya. Sedikit informasi bahwa program Bela Negara dalam bentuk wajib militer sebenarnya pernah diterapkan Indonesia di era tahun 1990an. Salah satu program yang diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 1992 adalah alumni STPDN/IPDN angkatan pertama yang menjalani wajib militer selama dua tahun. Para alumni STPDN/IPDN tersebut, setelah menjalani pendidikan di kampusnya, dilanjutkan dengan pendidikan pada Sekolah Calon Perwira (Secapa) di Bandung dan kemudian ditugaskan selama dua tahun di teritorial TNI. Program wajib militer tersebut kemudian dihentikan pada tahun 1993 karena saat itu ada kebijakan baru terkait wajib militer.

Program wajib militer boleh dikatakan tidak praktis. Tentara cadangan yang dilatih hanya sekitar 30 hari, mungkin hanya sempat untuk latihan baris berbaris. Umumnya, mereka hanya mendapat uang saku. Padahal, waktu tersebut mempengaruhi produktivitas mereka dalam kegiatan masing-masing, yang jelas merugikan. Jumlah dana APBN untuk bidang pertahanan hanya 0,77 % dari total seluruh APBN (data statistik). Ini hanya untuk cukup untuk membiayai komponen utama saja bahkan dirasa masih kurang karena jumlah dana yang pantas untuk membiayai seluruh personel ini adalah 2% total APBN. Dibanding mengadakan program wajib militer, penguatan pertahanan melalui anggaran APBN, seperti untuk penambahan Alusista atau evaluasi sistem keamanan yang telah ada bisa menjadi solusi.

Sikap bela negara memang sangat penting dimiliki bagi setiap warga suatu negara dan harus ditumbuhkan berdasarkan pada identitas negara tersebut. Sikap bela negara, tidak hanya berarti mau dan mampu mempertahankan negara. Bukan berarti pula tidak mempertahankan negara berarti tidak memiliki sifat nasionalis. Nasionalisme tidak sesempit demikian. Program-program yang dibuat untuk menumbuhkan sikap bela negara harus benar-benar dievaluasi dari berbagai aspek. Tidak hanya melulu memikirkan tujuan, tapi proses dan pelaksanaan juga penting, bahkan persiapannya lebih penting lagi. Pro dan kontra dalam program yang diajukan memang hampir mustahil tidak bermunculan, tapi semoga saja program yang diajukan dan dibuat pemerintah memang sudah berdasarkan pemikiran-pemikiran yang terbaik. (FI)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun