Sejak orang mulai beramai-ramai membincang sastra Indonesia sebagai suatu jurusan yang amat menarik yang datang dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, saya juga tidak mau kalah menceritakan indahnya ekosistem di alam sastra Indonesia. Walaupun, orang-orang yang berbincang itu tidak lain dan tidak bukan adalah teman-teman sebangsa, setanah air, sejurusan saya yang mengharap nilai terbaik di mata kuliah Penulisan Kreatif.
Sastra Indonesia seiring pergantian zaman kian mengalami evolusi yang substansial. Jadi pada dasarnya jurusan sastra Indonesia adalah jurusan yang tidak pernah tidur. Kami selalu sibuk membincang segala sesuatu, tanpa diminta. Dari Nuruddin ar-Raniri hingga Tere Liye, semua kita telaah karyanya.Â
Mau mencari asal-usul kata? jurusan sastra Indonesia adalah pisau paling tajam untuk membelah permasalahan dan kepentingan linguistik. Mau membaca diary seseorang pada abad ke 17 lalu (manuskrip)? atau membaca rajah untuk menyantet orang? semua ada di Sastra Indonesia. Namun, saya sebagai salah seorang mahasiswa jurusan ini sudah khatam betul dengan pertanyaan sejenis;
"Lulus mau jadi apa?"
"Sastra Indonesia belajar titik, koma sama puisi, ya?"
Akan tetapi, pertanyaan ini akan selalu menarik untuk dijawab. Karena setiap mata kuliah jurusan Sastra Indonesia punya jawaban yang akan membungkam si penanya pertanyaan menjengkelkan sejenis ini dengan ketidaktahuan akan jawaban yang kami berikan. Salah satu mata kuliah yang paling menarik di jurusan Sastra Indonesia adalah Bahasa Isyarat.Â
Saya masih ingat bagaimana kegirangan teman-teman saya pada saat sesi pengenalan jurusan kala ospek fakultas tahun lalu ketika dosen mengungumkan kami akan mendapatkan mata kuliah Bahasa Isyarat. Kami membayangkan betapa menyenangkannya belajar Bahasa Isyarat.
Dan kenyataannya, pembelajaran Bahasa Isyarat adalah yang paling seru!
Mempelajari Bahasa Isyarat di jurusan Sastra Indonesia tidak hanya berkaitan dengan isu inklusivitas tetapi membawa kita pada pemahaman mendalam mengenai keberagaman manusia dan kekayaan Bahasa.Â
Selama satu semester kami difasilitasi oleh dua dosen super yang sangat baik hati dan ahli dalam bidang Bahasa Isyarat, Ibu Silva Isma dan Pak Iwan. Pak Iwan adalah seorang dosen penyandang tuli yang dengan penuh kesabaran mengajari kami yang kaku menggerakkan tangan  dengan mimik wajah yang tidak kalah kaku.
Suatu kesempatan yang sangat menarik untuk menaungi lautan Sastra Indonesia menggunakan kapal bernama mata kuliah Bahasa Isyarat. Bahasa Isyarat memperkaya keberagaman manusia. Di dalam gerakan-gerakan itu terdapat kehidupan, cerita, dan emosi yang melampaui batasan fonetik.Â
Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa Isyarat tidak hanya tentang mendengar tanpa suara, tetapi juga tentang membuka pikiran kita pada keindahan komunikasi tanpa kata-kata, suatu perjalanan yang membawa kita ke dalam keanggunan ekspresi manusia yang tidak terbatas.
Pembelajaran Bahasa Isyarat dapat dikatakan sebagai mata kuliah favorit, diantaranya karena pembelajaran ini cukup 'langka' dan berdiri pada isu yang sangat penting, inklusivitas.Â
Selain itu hikmah yang kita dapatkan juga tidak kalah emas, bahwasanya dengan mempelajari Bahasa Isyarat, kami juga membantu komunitas tuli untuk dapat mengekspresikan diri dengan bebas, merasa didengar dan membangun jaringan yang lebih besar.Â
Menjadi mahasiswa jurusan sastra Indonesia yang berkesempatan mempelajari Bahasa Isyarat telah memberikan pelajaran bahwasanya Bahasa Isyarat membebaskan kita dari keterbatasan kata-kata, membuktikan bahwa kekayaan komunikasi manusia dapat diungkapkan dalam berbagai bentuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H