Adakah yang masih asing dengan Bedhaya Ketawang? Bedhaya Ketawang merupakan tarian suci selama 23 tahun yang dibawakan oleh perempuan perempuan yang belum menikah sekitar usia 17-25 tahun. Bedhaya Ketawang merupakan varian pusaka milik Keraton Kasunanan Surakarta yang hanya bisa ditampilkan saat perayaan tinggalan Jamenengan Raja Keraton atau pengingat kenaikan tahta Raja Pakubuwono. Sembilan penari disiapkan untuk membawakan tarian yang diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo atau raja Mataram pada tahun 1613 hingga 1645. Saat menari, para penari menggenakan busana pengantin perempuan Jawa, yaitu Dodot Ageng atau biasa disebut basahan riasan dan hiasan dari ujung kepala hingga kaki. Mereka menari saat Raja Pakubuwono ke-13 duduk di Singgasana.
Dikenal sebagai tarian khas milik keraton Surakarta, tarian ini termasuk tarian paling sakral. Digolongkan sebagai meditasi, tarian ini mengantar kita pada suatu arah kedamaian dan ketenangan. Mengingat tarian ini hanya boleh dibawakan pada upacara kenaikan tahta, Bedhaya Ketawang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi di keraton. Para penari pilihan tak sadar mahir membawakan Bedhaya Ketawang dengan memperhatikan ikatan batin yang kuat agar tidak mengurangi makna tarian itu sendiri. Setiap penari memberikan kesan rasa bahagia karena menjadi bagian dari Bedhaya Ketawang dan menjadi suatu kehormatan karena dapat menari di depan Raja Pakubuwono.
Dalam maknanya, Bedhaya Ketawang memisahkan pertapaan Panembahan Senopati yang bertemu dan bercinta dengan Ratu Kencana Sari atau yang lebih dikenal dengan nama Ratu Kidul sembilan penari. Bedhaya Ketawang menggambarkan sembilan lubang dalam tubuh manusia yang harus dijaga emosinya dalam pertunjukan. Dalam syarat mengikuti tarian ini adalah dalam keadaan tidak mens. Makna lain yang dapat kita temukan adalah bentuk rambut depan yang membentuk lafadzh Allah. Penari Bedhaya Ketawang dianggap sebagai Bedhaya yang tertua dan tari ini dijadikan kiblat dari tari Bedhaya yang lain yang lebih muda. Pola lantai mengelilingi raja di sisi kanan dan kiri, ada peraturan bahwa menguasai pakem joged Hasta Sawandha, serta ketentuan disaat menari dalam upacara Jumenengan, tinggalan dhalem dengan keadaan susi, bersih, serta ritual yang sebelumnya dilaksanakan adalah mandi kembang tujuh rupa, puasa mutih, senin dan kamis dan semedi yang sekarang meditasi. Diskursus memiliki argumen serta historis sehingga bahasa berkembang membentuk makna pada kondisi material dan historis yang spesifik.
Penari Bedhaya tidak hanya sekedar menari melainkan sudah pada tahapan menari yang menyatu Manunggaling Kawula lan Gusti sehingga dapat sampurna menyatu manusia dan alam serta manusia. Bedhaya Ketawang mengandung nilai pada pendidikan keagamaan yaitu religius, mengenalkan manusia darimana asalnya dan nanti kembali lagi. Tarian ini memberikan pendidikan untuk seorang wanita yang beretika baik, berhati bersih dan baik, dekat dengan Sang Pencipta. Nilai moralitas juga diberikan dari laku prehatin dengan mengolah jiwa dengan puasa senin-kamis, puasa mutih dannmenanamkan pendidikan untuk dapat menghargai dirinya, mengharumkan nama baik dirinya, keluarga, bangsa dan negara.
Diskursus dalam penari Bedhaya Ketawang adalah memberikan nilai pendidikan karakter sebagai manusia Jawa dan khususnya sebagai wanita Jawa. Nilai yang religius pada diri penari sewajarnya dipupuk dan dikembangkan terus untuk dapat menyatukan Jiwa para penari. Dalam menarinya pun harus sudah pada tahapan Manunggaling Kawula lan Gusti serta mementingkan kehidupan yang dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat dengan kebersamaan, kekompakan, dan terpenting tahapan rasa menuju ketenagan jiwa. Manunggaling Kawula lan Gusti disini berarti membiarkan Allah bekerja mengurus ciptaannya dan kita yang menjadi salah satu instrumen ketika mengurus alam semesta.
 Dengan demikian, Bedhaya Ketawang dianggap seni tari yang digunakan untuk melestarikan dan mempromosikan nilai corak keyakinan agama Islam. Melalui kompleksitas dan detail yang dimilikinya sehingga mampu menarik aspirasi muda baru untuk terus menjadi bagian dari Bedhaya Ketawang. Bedhaya Ketawang tidak boleh hilang dan harus tetap dilestarikan. Diharapkan para generasi muda mempelajari tarian Bedhaya Ketawang. Para penari juga diharapkan mematuhi syarat Bedhaya Ketawang dalam keraton dan mengamalkan setiap makna agar apa yang dia lakukan dalam gerak tari tersampaikan dengan jelas.
Oleh karena itu, walaupun hanya dipentaskan selama 23 tahun sekali, Bedhaya Ketawang masih lestari karena keturunan keraton Surakarta masih memiliki 35 silsilah keturunan raja yang hidup, namun memang para anak perempuannya melarikan diri dan keluar dari struktur keraton. Ciri khasnya dengan menganut ajaran Islam pun kerap menjadi sebuah kelestarian dengan ajaran Mayoritas masyarakat Indonesia. Gerakan tarian ini adalah bentuk sembahan, yaitu menyatukan Allah dan Rasulullah dalam shalawat nabi yang dibacakan 3 kali. Aturan simbol keIslaman mulai terdapat pada penyuunan atau harapan permohonan kepada Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H