Mohon tunggu...
Fadila AsySyafina
Fadila AsySyafina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK): Realitanya Bagaimana?

19 Mei 2023   20:51 Diperbarui: 19 Mei 2023   20:51 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imbas dari disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat istilah guru 'honorer' sudah tidak dikenal lagi. Istilah tersebut digantikan dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sendiri merupakan program rekrutmen pegawai pemerintahan dengan mekanisme adanya kontrak kerja dengan kurun waktu tertentu. Program ini memang memberi kesempatan bagi guru honorer yang sudah berpuluh-puluh tahun mengabdi untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), hal ini dinilai menguntungkan bagi guru honorer karena PPPK mengatur tentang hak-hak yang berupa gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan berupa jaminan kesehatan dan sebagainya, juga pengembangan kompetensi. Guru honorer yang mendaftar rekrutmen PPPK harus bersedia ditempatkan di tempat mengajar yang berbeda dari sebelumnya. Pada hakikatnya, program ini bertujuan untuk menambah jumlah pegawai pemerintah dengan penilaian objektif, yaitu melihat kompetensi dan kemampuan. Namun pada realitannya sudahkah program ini benar-benar menilai rekrutmen secara objektif, sudahkah program ini memberi keadilan bagi guru-guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun?

Seperti yang sudah dijelaskan diawal bahwa proses rekrutmen PPPK ini harusnya menilai dengan objektif sesuai kompetensi atau kemampuan. Nyatanya, banyak sekali pelanggaran yang terjadi di Indonesia. Dilansir dari beberapa platform media berita, di Kabupaten Ponorogo Jawa Timur terdapat kasus praktik calo PPPK dengan melibatkan 30 orang yang salah satunya adalah Panitia Seleksi Nasional (Panselnas) PPPK itu sendiri, dibantu dengan salah satu koordinator PPPK. Kasus tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kasus praktik calo PPPK di Indonesia, tentu hal ini menunjukkan bahwa pedoman dalam rekrutmen PPPK yang objektif masih rendah, dan malah digunakan sebagai ajang korupsi, kolusi dan nepotisme.

Lagi, banyak kasus ketidakadilan imbas dari praktik calo yang dialami oleh guru honorer lolos rekrutmen PPPK. Guru tersebut akhirnya lolos rekrutmen PPPK setelah berpuluh-puluh tahun mengabdi mengajar sebagai guru honorer dengan kemampuannya sendiri, tanpa menggunakan praktik calo. Namun setelah pengumuman kelolosan PPPK mucul, betapa terkejutnya guru tersebut karena mendapat penempatan yang jauh dari domisilinya saat ini. Padahal di tempat penempatan tersebut sedang tidak darurat untuk menerima seorang guru tambahan. Guru ini mengaku, tempat tersebut tidak terdapat dalam pilihannya saat mendaftar dalam rekrutmen PPPK. Kasus ini merupakan imbas dari praktik calo dikarenakan untuk bisa mendapat penempatan sesuai doimisili, guru tersebut mengaku harus 'melobi' dengan memberikan sejumlah uang ke beberapa petugas. Mirisnya kegiatan 'melobi' tersebut sudah menjadi sebuah tradisi. Ketidak adilan sungguh masih samar terlihat pada realita rekrutmen PPPK ini.

Pada awal dirumuskan, program PPPK ini membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia terlebih guru honorer yang sudah berpuluh-puluh tahun bekerja. Karena memang pada substansinya, program ini memberikan kesejahterahan melalui hak-hak PPPK. Namun, realitanya program ini belum dijalankan sesuai pedoman dan program ini belum memberikan kesejahterahan bagi orang-orang yang layak disejahterakan. Pemerintah diharap bertindak tegas terhadap orang-orang yang terlibat dalam praktik calo dan melakukan evaluasi atau meninjau ulang apakah program PPPK ini menjadi sarana untuk memajukan Indonesia atau malah menjadi sarana empuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme agar kedepannya dapat melakukan perbaikan dalam sistem rekrutmen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun