Mohon tunggu...
Fadiatur Rahmi
Fadiatur Rahmi Mohon Tunggu... -

Seorang perempuan Aceh kelahiran Kota wisata Sabang. Sedari kecil sampai sekarang ia percaya bahwa Kakek buyutnya berasal dari India. saat ini tinggal dan menetap di Banda Aceh menggeluti hobinya cuap-cuap untuk memenuhi sistem kredit satuan sembari terkadang menarikan jemarinya diatas tuts-tuts keyboard hingga melarikan diri pada game-game asyik yang begitu mengusik untuk ditelisik.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Mal-Jurnalism Di Dunia Media

28 Maret 2016   21:06 Diperbarui: 28 Maret 2016   21:06 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamu’alaikum dan Salam Sejahtera untuk seluruh wartawan ataupun jurnalis di mana pun berada. Semoga Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan anda semua dengan kesehatan dan kekuatan dalam menjalankan tugas mulia. Disela rutinitas anda, perkenankan sejenak saya menyapa anda-anda semua hanya sekedar untuk berbagi apa yang saya dan mungkin juga beberapa orang lain rasa.

Akhir-akhir ini media berita bukan barang langka dan bukan fenomena baru di jagad raya. Perkembangan teknologi informasi menjadikan media yang dapat diakses hanya dengan bermodalkan kuota internet. Hal ini semakin menambah marak karena pendirian sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ini terbilang cukup mudah.

Menjamurnya media tentu saja seharusnya menjadi angin segar bagi perkembangan informasi hari ini. Banyaknya informan (dalam hal ini wartawan) tentu saja akan berdampak bagi mudahnya semua informasi di dapatkan oleh kami sebagai orang-orang awam. Tidak lagi perlu menunggu besok pagi untuk mengetahui peristiwa yang terjadi sore ini, karena selang beberapa menit informasi tersebut telah hadir di depan mata.

Untuk segala hal itu, saya pribadi berterimakasih kepada wartawan yang tanpa lelah bekerja untuk membuka wawasan dan cakrawala masyarakat terhadap segala hal yang terjadi di sekitar kita. Namun, akhir-akhir ini saya mulai miris ketika membaca berita-berita yang disajikan oleh media, baik itu media lokal maupun media kaliber nasional.

Coba anda perhatikan baik-baik, tidakkah hati nurani anda sebagai manusia juga ikut merasakannya? Berita yang dikabarkan oleh beberapa media sarat akan kepentingan individu atau kelompok tertentu, terutama dalam dunia perpolitikan di negeri ini. Media yang seharusnya netral juga semakin timpang mengabarkan persoalan dengan mencari-cari kesalahan bakal calon pimpinan daerah tertentu yang menjadi lawan politiknya pemilik perusahaan media atau lawan politiknya seorang politisi yang bersedia membayar para wartawan yang berkerja di media tersebut. Sehingga hal ini, menyebabkan masyarakat memperoleh berita yang kurang akurat.

Pun begitu, para politisi juga seakan berlomba membayar media-media untuk menaikkan namanya dan menjatuhkan lawannya. Saya merasa media yang seperti ini saat ini tak ubahnya seperti seorang pekerja seks komersial yang rela melakukan gaya apapun asalkan dibayar. Maaf, jika kata-kata saya ini terkesan vulgar. Tetapi, begitulah kenyataannya yang saya lihat, saya baca dan saya rasa.

Saya tidak begitu tahu dan juga tidak hafal isi-isi dari kode etik jurnalistik, tetapi wahai para wartawan yang terhormat, saya ingin bertanya apakah menyajikan berita hanya untuk kepentingan diri pribadi dan kelompok tertentu seperti itu tidak melanggar kode etik profesi anda?

Saya jadi ingat, dalam dunia kedokteran kita mengenal adanya mal-praktek jika ada oknum dokter yang melanggar kode etiknya atau juga jika ada oknum tenaga medis yang melakukan kesalahan diagnosa terhadap pasien. Nach, lalu sebutan apa yang pantas bagi oknum wartawan dalam menjalankan tugasnya melakukan seperti yang saya sebutkan diatas? Belum lagi, akibat dari tumbuh suburnya media menjadikan banyak orang-orang yang bukan berlatar belakang pendidikan jurnalistik menjadi wartawan hanya karena “pintar” menulis. ini justru menambah deretan panjang kasus “mal-jurnalism”, sebut saja begitu karena mal-praktek telah digunakan dalam dunia medis.

Wahai para punggawa media, kasihanilah kami para pembaca yang menjadi bingung dan terkadang sampai memiliki mindset yang timpang hanya karena menikmati hidangan berita yang anda-anda sajikan. Bagaimana bisa hanya demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah anda menggadaikan idealisme anda yang sayangnya idealisme tersebut benar-benar tak pernah anda tebus lagi?

Baiklah, jika mengabarkan berita apapun adalah hak anda, dan kami tak boleh komentar atau pun komplain, jika merasa tak suka cukup tak usah baca mungkin kilah anda. Tetapi, coba renungkan sejenak, sebagai suami, ayah, istri, ibu dan anak, apakah anda rela menafkahi keluarga anda dari hasil “menjual diri” tersebut?

Terakhir, saran saya tetaplah menjadi jurnalis yang kritis, menghadirkan berita yang netral tanpa berpihak kemana pun. Hormatilah profesi anda sendiri, karena ketika anda sudah tak lagi menghormatinya, bagaimana orang lain akan menghormati anda? Wartawan itu profesi yang berwibawa bahkan dunia ada pada ujung pena anda. Selamat bekerja dan teruslah berkarya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun