Permasalahan awal yang terjadi terkait dengan adanya impor minyak kelapa sawit ke Uni Eropa  ini menyebabkan adanya regulasi hukum dari perdagangan internasional yang sedikit rumit dan cenderung bermasalah. Hal ini mulai terjadi ketika adanya MFN (Most Favoured Nation) sebagai hukum dalam suatu perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh dua negara berkaitan dengan resiko dan juga konsekuensi dalam suatu perdagangan diimplementasikan kepada pihak lain didalam perjanjian tersebut.
Isi di dalam hukum MFN yang dilakukan oleh Indonesia dan juga Uni Eropa yaitu berkaitan dengan pengaturan CPO (Crude Palm Oil) dengan ketentuan adanya World Trade Organization. Isi dari hukum tersebut yaitu berkaitan dengan Uni Eropa yang mengeluarkan kebijakan mengenai biofuel yang berasal dari minyak kelapa sawit yang kemudian disebut dengan Renewable Energy Directive (RED), juga membahas mengenai klasifikasi jenis CPO yang beresiko tinggi. Kebijakan tersebut mengakibatkan tuduhan bahwa impor  kelapa sawit yang dilakukan oleh Indonesia beresiko tinggi dalam adanya kerusakan lingkungan. Akibat proses produksi dari CPO tersebut standarisasi ISPO dari Indonesia dinyatakan melanggar hukum dan perjanjian yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa. Padahal RED tersebut yang dikeluarkan tentunya juga masih dapat dikaji ulang karena sangat bentrok dengan peraturan lainnya yang diikuti oleh seluruh negara. Secara hukum internasional tentu saja produksi CPO dari Indonesia sudah sesuai sertifikasi internasional dan sesuai dengan mandat yang telah diberikan oleh WTO, akan tetapi melanggar isi hukum dari peraturan Uni Eropa, tentu saja ini menjadi permasalahan dan melanggar hukum Uni Eropa.
Adapun beberapa mekanisme yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan hukum, khususnya ketentuan dari WTO itu sendiri. Salah satu hal yang dilakukan oleh WTO dalam mengatasi hal tersebut ialah dengan mengatur adanya mekanisme dari penyelesaian sengketa dagang yang tertuang didalam Understanding on Rules and Prodecures of Disputes Settlement atau DSU dan direalisasikan dalam DSB atau yang dikenal dengan istilah Dispute Settlement Body. Adapun beberapa tugas yang  dilakukan oleh DSB yaitu pertama, menguraikan aturan - aturan yang tertuang di dalam WTO untuk menafsirkan ketentuan berdasarkan adanya hukum kebiasaan internasional secara publik. Tugas kedua yaitu berkaitan dengan memberikan jaminan atas solusi positif dan juga dapat diterima dari seluruh pihak dengan melaksanakan konsistensinya terhadap adanya substansi dari perjanjian yang sudah tertuang didalam WTO. Dengan adanya SP ini tentunya memberikan mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan adanya negosiasi dari permasalahan yang  terjadi.
Berdasarkan permasalahan perdagangan internasional yang terjadi antara Indonesia dengan Uni Eropa tentunya terdapat beberapa hal yang perlu disampaikan oleh penulis. Pertama yaitu berkaitan dengan adanya regulasi di dalam hukum internasional yang mengatur antara dua negara ataupun antara lembaga suatu benua jika terjadi adanya sengketa ataupun permasalahan diluar hukum perdagangan internasional yang ditulis WTO. Hal kedua adalah WTO tentu saja berupaya untuk melakukan kajian ulang terhadap beberapa  hukum -  hukum dan juga perjanjian perdagangan internasional di anggota WTO mendalami dan juga mengkaji berkaitan dengan peraturan - peraturan yang diberlakukan, sebagai upaya untuk menanggulangi adanya bentrok perjanjian ataupun bentrok isi hukumnya tidak sesuai dengan mandat ataupun ketentuan - ketentuan yang sudah di canangkan oleh WTO sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk menanggulangi adanya permasalahan yang terjadi dan juga meminimalisir permasalahan misallkan seperti adanya impor minyak kelapa sawit Indonesia dengan Uni Eropa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H