Mohon tunggu...
Fadia Dwi Novri
Fadia Dwi Novri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Menonton film dan mendengarkan musik menjadi pilihan saya setiap ada waktu luang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ancaman Independensi Media: Keberpihakan Media pada Pilpres Tahun 2019

2 Desember 2024   01:44 Diperbarui: 2 Desember 2024   01:46 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media massa penting bagi manusia untuk mendapatkan informasi. Penting bagi media menjaga netralitas dan independensi (Darmanto, 2015). Berdasarkan data Digital News Report 2021, melaporkan tingkat kepercayaan pada media berita secara keseluruhan yaitu hanya 39 persen (Newman et al., 2021). Melalui data tersebut dapat terlihat kepercayaan masyarakat kepada media cukup kecil. Ketidakpercayaan terhadap media bisa ditimbulkan karena media berita di Indonesia sudah tidak lagi objektif dan bias. Apalagi, masyarakat semakin skeptis dengan adanya media berita yang terang terangan menunjukkan keberpihakan pada kelompok tertentu.

Menurut perspektif sosial-materialis, berkaitan dengan pandangan kritis tentang kepemilikan dan kontrol media, yang pada akhirnya membentuk ideologi dominan yang disebarkan dan didukung oleh media. Sehingga dalam beberapa kasus, perspektif ini tumpang tindih dengan teori normatif. Berdasarkan teori normatif media, di dalamnya terdapat beberapa arah aturan baik dari dalam media maupun melalui tekanan dari luar mengenai bagaimana media semestinya bertindak (McQuail, 2010). Pemerintah tidak diperbolehkan mengendalikan media dalam penyampaian informasi kepada masyarakat, apalagi mengatasnamakan kepentingan pemerintahan dan masyarakat. Media dibebaskan dalam meredaksikan segala informasi yang tidak sejalan dengan kepentingan tertentu (Karman, 2014). Maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan media memiliki kebebasannya dalam bermedia selama masih menjaga tanggung jawabnya untuk kepentingan masyarakat, sehingga media sudah sepantasnya memisahkan diri dalam setiap sistem kepentingan di pemerintahan.

Media massa tidak hanya berfungsi sebagai penyedia informasi kepada masyarakat, tetapi juga sebagai pembentuk opini publik mengenai sebuah isu yang ada di politik (Napitupulu, 2023). Sebab pada dasarnya jurnalis bagaikan jembatan antara pemerintah dengan rakyat. Peran media massa dalam pemilu adalah sebagai sarana dalam penyaluran informasi politik kepada masyarakat, dengan informasi tersebut media membentuk opini publik tentang siapa yang layak dipilih, berdasarkan bagaimana track record-nya dan kebijakan yang akan dijalankan nantinya, yang pada akhirnya dapat memengaruhi persepsi masyarakat. Peran media massa juga sangat penting bagi masyarakat sehingga suaranya bisa didengar dan menjadi bahan pertimbangan bagi calon yang nantinya akan dipilih oleh masyarakat, sekaligus untuk mengetahui pada umumnya apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Maka dari itu, penting   untuk   terus   memantau dan mengevaluasi media massa agar tidak hanya mencapai perannya semata, tetapi perlu juga mempertahankan ciri media yang netral dan independen.

Pada Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik menjelaskan bahwa wartawan Indonesia perlu bersikap independen. Independen memiliki arti pemberitaan atau fakta yang tidak melalui campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak eksternal dan internal yang di dalamnya termasuk pemilik perusahaan, dengan tujuan untuk menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Membutuhkan standar etika yang tinggi dalam jurnalisme dalam praktik penyiaran informasi politik Selain itu, media massa juga harus memperhatikan dampak psikologis dari liputan politik mereka terhadap pemilih. Terutama dalam konteks Pemilu yang memiliki tingkat kontroversial politik yang tinggi, liputan yang berlebihan tentang konflik politik dapat meningkatkan tingkat   ketegangan dan kecemasan  di masyarakat.

Independensi media memang bukan hal mudah untuk dilaksanakan. Tetapi bukan berarti media bisa dengan seenaknya mencoreng demokrasi melalui berita yang ‘dipesan’. Maksudnya di sini adalah penyiaran media dapat diarahkan atau dibatasi sesuai dengan kepentingan politik. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh para pemodal atau pemilik media. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan praktik oligarki dalam kepemilikan media di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dahlia & Permana (2019) pada Pemilihan Umum Presiden pada tahun 2019, terutama dalam mendukung pasangan calon Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Salah satu tokoh politisi sekaligus oligarki, Hary Tanoesoedibjo pemilik MNC Media dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo), menjadi penyumbang dana kampanye terbesar dengan total mencapai Rp 31,39 miliar. Dampak dari hal yang dilakukannya, pihaknya tidak hanya menurunkan integritas dari perusahaan pers miliknya, tetapi juga melanggar Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang menjelaskan bahwa Pers harus bebas dari pembredelan, pelarangan, dan represi agar hak publik atas informasi terjamin..

Kasus ini juga berdampak pada pelanggaran kode etik jurnalistik. Hary Tanoesoedibdjo yang pada pilpres 2019 menjabat sebagai tim sukses paslon 01 memanfaatkan media yang dimana hal ini melanggar kode etik jurnalis. Liputan yang dihasilkan melalui pemberitaan pemilu oleh MNC Group memiliki pola terstruktur dengan membawa topik mengenai politisi yang berupaya saling menyerang satu sama lain dan juga berita kriminal yang melawan aparat, agar membentuk skenario yang mirip di antara keduanya (Rachmah Istighfarin & Yuliani, 2020).  Dalam melaksanakan agenda politik yang dituju, dilakukan juga pemanfaatan perluasan jaringan media MNC Group, seperti GlobalTV, MNC, RCTI, KoranSindo, Okezone.com, SindoNews.com, Global Radio, MNC Vision, RDI, dan MNC 104.6 FM Trijaya. Dengan memperluas jaringan maka ruang gerak untuk memperoleh informasi di luar lingkup MNC Group akan semakin sempit.

Pelaksanaan kampanye pemilu dilakukan sebagai upaya mempersuasi masyarakat agar dapat memilih pemimpin yang partai itu calonkan. Sesuai dengan Pasal 1 Nomor 23 Tahun 2018 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Tentang Kampanye Pemilihan Umum yang berbunyi “Kampanye Pemilu yang selanjutnya disebut Kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu.” Namun, KPU seperti tidak menegaskan di dalam peraturannya untuk melarang penggunaan media massa para calon pemilu untuk mengkampanyekan segala kepentingan politik mereka. Padahal hal ini bisa menjadi suatu tindakan preventif untuk mengurangi potensi agar para tim kampanye tidak melakukan money politics dengan para pemilik media.

Kata independen memang implementasinya cukup rumit. Bahkan bisa dikatakan tidak banyak media yang benar-benar independen. Namun, keberpihakan itu hendaknya ditujukan kepada kebenaran dan masyarakat bukan pada pemilik media. Pemilik media juga memiliki hak atas medianya, tetapi mereka seharusnya menyadari segala aturan yang ada dalam pers dan pada tujuan praktiknya tidak hanya mementingkan kepentingan pribadi maupun kelompok. Media besar yang memiliki afiliasi politik serta punya dukungan dalam pencalonan presiden ketika pemilu juga  perlu ditindak lanjuti. Kebijakan dari Dewan Pers dalam memberikan ‘papan peringatan’ bagi wartawan, menjadi instrumen penting mewujudkan netralitas pada pemilu. KPI memperkuat hukum agar dapat bertindak lebih tegas dan jelas dalam menjaga kualitas penyiaran. Maka dari itu, diperlukan regulasi yang kuat dalam menumbuhkan independensi media melalui kerja sama antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

DAFTAR PUSTAKA

Dahlia, R. R., & Permana, P. A. (2019). Oligarki Media dalam Pemilihan Umum Presiden 2019. Poros Politik, 3(3), 1–7. https://doi.org/10.32938/jppol.v3i3.1892

Darmanto. (2015). Urgensi Perubahan Kebijakan Untuk Penegakkan Independensi Media Di Indonesia. Jurnal Komunikasi, 10(1), 29–39. https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol10.iss1.art4

Karman. (2014). Monopoli Kepemilikan Media & Lenyapnya Hak Publik. Masyarakat Telematika Dan Informasi, 5(1), 69–84.

McQuail, D. (2010). Reading McQuail’s Mass Communication Theory - Classroom Companion. Sage (6th ed.).

Napitupulu, A. W. R. (2023). Analisis Peran Media Massa Dalam Pemilu: Implikasi Terhadap Proses Demokrasi. Literacy Notes, 1(2), 1–11.

Newman, N., Fletcher, R., Schulz, A., Andı, S., Robertson, C. T., & Nielsen, R. K. (2021). Analysis by Country and Market Asia Pacific. In Reuters Institute Digital News Report (10th ed., p. 73). Oxford OX2 6PS: Reuters Institute for the Study of Journalism. https://doi.org/10.60625/risj-7khr-zj06

Rachmah Istighfarin, F., & Yuliani, M. (2020). Komodifikasi Keberpihakan Politik Media (Analisa Ekonomi-Politik MNC Media Group). Media and Communication Science, 3(3), 6. https://doi.org/https://doi.org/10.29303/jcommsci.v3i3.84

Republik Indonesia. 2018. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 973. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166. Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun