Mohon tunggu...
Fadhlur Rahman Ahsas
Fadhlur Rahman Ahsas Mohon Tunggu... -

Fadhlur Rahman Ahsas Lahir Palangki 08 November 1986 Alumni Universitas Bung Hatta, Jurnalis dan Aktif di Forum Menulis puisi, cerpen, esai, resensi diberbagai media\r\nHp : 085274558898\r\nAlamat : Sekolah Al -Mukhlisin YMBI,Jl. Belimbing Raya Komp. Bojong Indah,Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyiek Romai

12 Februari 2014   20:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:53 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bukan Palangki bak kini, Palangkahan dahulunyo, bukan Muaro Bodi bak kini, Muaro Laweh dahulunyo”

Itulah Ungkapan yang tersirat sewaktu almarhum kakek, sembari menemani malamku dalam hikayah nagari kembar. Dahulu hampir semua orang yang diluar dua kenagarian ini, segan dan menghormati masyarakatkenagarian itu. Karena kepandaian dan kecerdikan pendahulunya terhadap pengaruh peradaban. Secara letak kenagarian itu berseberangan, yang di pisahkan oleh sungai yang membentang jernih membelai indah dua nagari,dan sungai itu pun menjadi fakta Tambo untuk kedua nagari tersebut. Sungai batang palangki yang bermakna Pelangkahan nenek moyang dulunya.“ Seadat sepusaka , sebungkus seperti nasi, sekerucut seperti gulai, seibat seperti sambal”. Bersatu dalam satu raga. Jika terusik satu, yang satunya merasa terusik juga. Kedua nagari itu jauh dari pembangunan dan kemajuan, namun, berbeda dengan sekarang lebih jauh berkembang dari dahulunya. Bahkan sebuah temapat pemberentian atau peristirahatan para musafir-musafir dalam rangka melepas lelah, seiring panggilan untuk bermunajad pada sang pencipta. Masjid Syuhadalah tempat temu janji pada pemilik jiwa. Masjid yang sangat luas halaman terhiasi hijaunya taman dan gemerciknya kilauan batu putih yang berasal dari sungai itu, bersamaitu juga masyarakat sangat bangga dikala mereka mengabari dari mana asal dan kampung mereka,dan masjid Syuhadalah Ikon kenagarian, karena dari sisi alam kedua nagari ini dikelilingi oleh bukit yang mejulur panjang mempunyai kekayaan flora dan fauna, dan masyarakatpun mengenal dengan nama Bukit Barisan, apalagi sisi sungai nan mengalir jernih memiliki beraneka ragam ikan, umumnya masyarakat menjala dan memancing sebagian dari aktifitas mereka. Sungguh rahmat dari-Nya, setiap tapian pun di huni oleh riak putaran kincir yang selalu menyirami kehidupan kedua nagari pada sawah dan ladang .

***

Kala ini matahari akan menarik kembali sinar-sinarnya dari taman, dan bulan akan memainkan di atas mahkota hijaunya perbukitan. Tak seperti biasa, masjid Syuhada penuh sesak. Terlihat rapat saf-bersaf dalam bentuk rombongan, memangkul di pundak mereka  sebuah keranda bercorak ukiran besi, berbalut kain beludru hitam yang bertulisan “Lailaha illallah”. Akupun ikut menyelinap masuk dalam saf-saf rombongan itu. Setiap langkah demi langkah kaki, gema tahlil berkumandang. Mulutku terbawa arus gema tahlil, bak aliran sungaiyang menurun, secepat itu langkah kaki melangkah, sekeras itu pula tahlil berkumandang.Sejenak hatiku bertanya-tanya, akan dibawa kemana bungkusan putih dalam keranda?.Ah, itu akan terjawab jika aku ikuti rombongan ini. Berangsur menjauh dari pekarangan masjid Syuhada, belok ke samping, lurus dan mendaki. Orang-orang berganti-gantian, bahkan ada yang bersikeras untuk memikulnya, terjadi perebutan antar masyarakat,  perhatianku fokus pada apa yang terjadi dengan keranda. “ Sebuah nilai gotoroyong yang tidak akan pernah pudar dalam adat nagari ini”, celetuk seorang lelaki yang telah memakan waktu hidup lebih separuh abad. Segera aku lerengkan penglihatanku sedikit ke atas, terlihat uban-uban tumbuh subur dikepalanya, keriput menjala hampir diwajahnya. Aku tersintak, mengapa beliau bisa menterjemahkan apa yang terbesir dalam pikirkanku. Kembali tatapankuluruskan ke arah rombongan pembawa keranda. Ah, aku pura-pura tidak menghiraukan celetuk lelaki tadi, sembari melihat tanjakan sangatlah tinggi dan berjurang, dibawah jurang berjejeran kotak-kotak hijau berjenjang, dan dikelilingi anak sungai nan berbatu jernih, sungguh suatu pemandangan asri tapi melelahkan. Langkah kakiku bergesar sedikit ke Barat, mendekati deretan pohon Palam yang rindang untuk terlindung dari panas terik matahari dan seraya untuk menjauhi lelaki tadi,sebaliknya ia malah semakin mendekatiku. Harapaku ia mungkin ingin berjalan diketeduhan deretan pohon ini, sama halnya denganku, apalagi ia sudah rentan di makan zaman.Seiring berjalan berdekatan denganya, aku awali percakapan singkat dengan satu pertanyaan.

“Siapakah gerangan yang terbalut kain putih dalam keranda itu. Dugaku hal ini tidak pernah terjadi,hampir kedua masyarakat nagari ikut belasungkawa, merasa sedih untuk ditinggalkan, apalagi yang terlihat pada rombongan depan, rebut-rebutan untuk memikul keranda itu?”. Seraya tatapan mataku menyoroti rombangan dari depan hingga kebelakang.

“ Tidaklah kau tahu, bahwa yang kau antar ini adalah seorang Pengulu, orang tua di nagari, tidak lain dan tidak bukan beliau Ayam seekor dua tali”, jawabnya dengan kata menurun.

Keningku seketika mengerut, selaksa ada yang tidak aku pahami pada kalimat terakhir ayam seekor dua tali. Aku coba menafsirkannya sendiri, apalah daya aku baru lulus Madrasah Aliyah. Kalimat itu bukan hal yang sepele, bukan sebuah rumus simetri dan juga bukan pasal-pasal pelajaran Tatanegara menurut Aristoteles.

“Aku baru berumur seumur jagung, dengan rendah hati, apa makna dari seonggok kalimat terakhir tadi?”. Tanyaku menatap ia tajam untuk merenggut suatu jawaban.

“ Sembunyikan mata kau dari pandangan seperti itu,apabila di dalam harimau, namun yang keluar kucing jua”. Ia terasa terusik, lalu aku lorohkan tatapanku walau agak sayu, karena aku sangat mafhum kata-kata itu.

“Ayam seekor dua tali maksudmu? itu adalah pada satu orang mempunyai dua jabatan” jelasnya

“Ya, pastilah beliau orang cerdik, pandai bermartabat, dan juga orang sakti !”

“Ssst!..jangan keras-keras, cukup hentikan perkataan itu lagi”, sambil cilingak-cilinguk melihati orang disekitarnya, lelaki hampir se-abad itu terlihat cemas.

Aku melemaskan langkahku, Spontan tubuhku menggigil, seperti orang yang belum makan sehari, tambah ia berbisik ke telinggaku lembut, tetapi mencekam, bulu romaku berdiri, darah membeku. Layak sebuah sugesti mistis membalut dalam satu bisikan “kualat kau buyung !”.  Pendakian kian menanjak, orang-orang masih saja kuat memikul keranda, tanpak bugar dan bersemangat, padahal keringat bercucuran bak mandi air hujan. Yakinku, ini adalah sebuah heroisme bentuk pengabdian rakyat kepada pemimpinnya, hingga akhir hayat. Salutku bertepuk dalam jiwa yang merongrong. Pastilah banyak macam dugaan dan prasangka kepada penghuni keranda itu., “allahualam bisawaf” ucapku. Sang pemilik jiwa ini mengetahui apa yang mereka ciptakan, apa yang mereka surukkan, dan apa yang mereka inginkan.

***

Tiba-tiba rombangan berhenti, sentakku ada apa yang membuat mereka berhenti, lalu  hilang dari pandanganku, kemana mereka dan keranda itu? tidak terlihat di atas pundak mereka, alangkah herannya, kemana lelaki yang hampir menginjak se-abad. Berlahan-lahan kutatapi sudut tempat ini, kupahami sisi demi isinya. Rupanya sekelilingku banyak gundukan berupa bongkahan tanah berwarna merah. Aneh sekali gundukan itu, simetrinya lebih panjang dan besar untuk manusia sekarang, dari ujung keujung bertengger batu bulat lonjong, lebih tepatnya ini sebuah pusara tafsirku. Hal yang tidak logika, sama sekali diluar kuasaku, apa ini sebuah imajinasi yang terlalu tinggi. Kakiku terasa mulai gemetar, tulang terasa mengilu, hawa sangat dingin, pori-poriku melebar, bulu roma kembali berdiri. kakiku kaku untuk bergerak, berat untuk dibawa berjalan. Berangsur kakiku menginjaki kayu sabiran nan rapuh, aku ambil kayu, sebagai penopang badan lunglai lagi misteri, tanganku menggenggam tulisan Arab Melayu yang ada pada kayu sabiran itu, aku eja satu huruf yang tak jelas bentuknya, alif atau huruf lam, penting aku bisa menyatukan uruf Arab Melayu itu dalam kalimatnya yaitu “ Lereng Capo”. Tanyaku dan bertanya lagi, semuanya asing dalam kata-kataku. “Mungkin sebuah konsep yang menterjemahkan tempat ini” desir dalam pikiranku. Tempat yang sempit sedapa, melereng di bukit di tumbuhi kebun karet dengan pohon tinggi menjulang dan sedikit berjurang yang di kelilingianak sungai yangjernih.

Aku sandarkan punggungku, di bawah pohon Palam, merenungi suasana alam, sambil menerawangkan pandangke tamasya pemandangan melalui celah-celah dahan, dari kejauhan terdengar kericik bergairah air parit kecil yang mengalir lincah dan menyenandungkan perjalannya, seiring dengan kicauan burung-burung berlindung di balik ranting, untuk merehatkan diriku sejenak.

“Keanehan dan keisterisan ini selalu menyelimuti daku wahai Tuhan” gerutuku sambil menikmati sungai dan sawah yang ada di bawah sana. Keanehan ini sedikit terobati melihat sungai nan sangatlah jernih, beda tipis dengan kejernihan kaca, begitu juga dengan onggokan sawah yang menghijau menyejukan mata. Sejatinya itu yang menemaniku menghadapi kesunyian misteri ini. Lamunanku menjelma hingga mencekam buta, sungai jernih, seketika berubah keruh, sekeruh-keruhnya, seperti di landa banjir besar, kulihat ke mudik hingga ke hulu, deras menurun warna kuning pekat. Semenit aku olengkan kepalaku, semuanya berubah histeris, apakah ini the end of story, akhir sebuah sejarah. Kuberdiri terperanga pundakku terasa berat dan membantingkan badanku terlempar di atas gundukan tanah merah itu, untung aku bisa mengelak dari benturan mara petaka, dari deras air menumbuk tiap dinding tanah, meremukkan lereng tebing itu, sawah menjadi gundukan tanah gersang, warna hijau lenyap tak berkata. “bruuurrr”. Badandku, aku sempurnakan kembali, kubalikan badan ke arah belakang dudukku, tak kusanggka lelaki lebih separuh abad itu kembali muncul, “ dimana aku ini? apa aku masih dalam dunia nyata?, sungguh aku keluar dari kelaziman? Jika benar kembalikan ketidak mustahilan ini!”, resah dan harapku pada lelaki itu.

“Tidaklah kau tahu, bahwa jiwamu berada dalam pusara Nyiek Romai, sekitarku ada barisan pemimpin. Sebaliknya, sekitarmu ada deretan pembangkang alias perusak. Apa yang terlihat itu adalah irasionalmu, yang akan menjadi sebuah pelajaran pada ranah ini, dan suatu gambaran, kelak kau akan mengetahui semuanya”, sambil jari telunjuknya menyoroti sketsa peristiwa-peristiwa itu. Yang terlihat sketsa dunia terusik oleh ingar-bingar keserakahan manusia, pemimpin bukan lagi memimpin, masyarakat berpacu ingin menjadi ekspatriat, bahkan segolongan masyarakat menghambakan diri untuk menjadi aristokrat. Layaknya orang bisa membeli orang secara fisik seperti budak, tetapi bisa membeli secara mental, karena bisa memperbudak pikiran masyarakat hanya melalui kekayaan dan kekuasaan. Itulah dampak sebuah efek mentuhankan uang dan kekusaan. “Apakah ini yang disebut orang menafkahi kesengsaraan dan penderitaan, lalat yang hidup dari hasil korupsi. Inilah tipe manusia yang paling rendah dan menjijikan, Sejatinya, mereka terus merusaki dan membolak-balikan surga negeri ini, sawah menjadi gundukan lubang besar yang tak berguna, sungai tak tahu alirnya, riak kincir tak bergerak, musnah semua, kelak anak negeri ini tak mengenal dengan nenek moyangnya lagi.jelasnyapadaku, kemudian lelaki itu memukul lembut pundakku dan berbisik kembali dengan hawa kalimat yang sangat hangat bergema dikupingku “hanyya ‘alassholah!, dirikan salatmu!” sembari mataku tertutup, gelap berkilat seperti petir dalam melewati sebuah lorong waktu.

***

Ternyata aku dalam dimensi berbeda, sebuah perjalanan buah tidur panjang walau hanya dalam waktu semalam. Tepat aku terbangun pada malam sunyi senyap, yang tertidur dalam surau habis isya, dekat bilik kamar garin angku Lebay, beliaulah yang membangunkanku untuk salat subuh, sama halnya seruan dalam buah tidurku. Jemaah akan berdatangan untuk melaksankan ibadah subuh. Lalu aku segera berwudu’ untuk melaksanakan salat sunah, berdoa minta ampunan dan petunjuk dari buah tidurku “ Wahai sang penguasa jagat raya ini, pemilik jiwa-jiwa berlumuran dosa ini, Engkau yang maha agung, lindungi kami dari fitnah dunia dan fitnah kubur, tempatkan pendahulu-pendahulu kami disisiMu, dan jauhkan kampung kami dari mara petaka dari tangan jahil-jahil kami, berikan kami baldatun toibatun wa robunkhofuur, perkenankan ya Robbi!. Itulah kandungan di sela doaku.

Di sela aku bermunajat, Angku Lebay segera menyampiri ke tempat duduk salatku, “ambo lihat wajah waang pucat, ada apa  dengan waang ? apakah waang ketemu dengan Sijundai dalam mimpi?” tanyanya sambil jemarinya bermain tasbih.

Bana Angku” jawabku lembut,  hingga seluruh isi mimpiku, aku limpahi pada Angku Lebay, ia hanya membalas dengan senyuman kecil sambil menganggukan kepala, sembari berucap,

waang harus ambil hikamah dari mimpi waang tadi, sepatutnya itu akan terjadi, bak pepatah, alam takambang manjadi guru, kita belajar dengan alam sekitar kita, sebab manusia engan untuk melihat, tuli akan nasehat, dan tertutup hati mereka, jika mereka tidak segera kembali padaNya.”

“semoga kita tidak termasuk golongan itu ya Ngku?”

“Insyaalah, selagi kita bajalan dengan alue jo patuik, untuk waang ketahui,dalam sejarah masyarakat, bahwa pusara Nyiek Romai Sampai sekarang menjadi mitos yang melekat, namun arek-arek lungga atau percaya tidak percaya. Kononjika masyarakat mungkar terhadap adat istiadat nagari, atau keluar dari alur dan patutnya dan tidak sesuai dengan adat nan kawi, biasanya pusara itu, akan memperlihatkan amarahnya ”.

“Terima kasih Angku, ambo permisi, Assalamualaikum!”, aku pun meninggalkan Angku Lebay, seiring pikiranku bergejolak untuk menyakinkan dalam hati, apa betul apa yang di ucapkan Angku Lebay. Sejujurnya aku tidak percaya dengan tafsir mimpi, segera aku berinisiatif untuk berjalan sendiri menuju tempat pusara itu, setiba disana, batu nisan besar bulat lonjong lari dari tempatnya, dan pusara itu retak seperti bongkahan yang berlubang. Aku balikkan badan kuuntai langkah seribu, aku tidak ingin menjadi saksi ghaib ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun