Juga dimuat di qureta
[caption caption="foto: west-info.eu"][/caption]
Belakangan isu LGBT, akronim dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender, mencuat di media sosial. Menariknya, di tv tidak demikian. Entah karena akhir-akhir ini saya tidak banyak menonton tv, saya tidak melihat ada berita atau dialog seputar isu ini. Jika ini benar, itu berarti media internet menjadi wadah bagi isu LGBT.
Untuk Indonesia, LGBTÂ adalah isu yang sangat sensitif. Isu ini mendulang perdebatan. Ada tiga kubu yang bermain. Pertama, kelompok pendukung. Kelompok ini berlindung pada HAM dan bertameng argumentasi saintifik yang menyebutkan bahwa orientasi seksual sejenis juga sama normalnya dengan orientasi heteroseksual.
Sebagian manusia memang dilahirkan dengan kecenderungan homoseksual. Dengan demikian. ia adalah sesuatu yang normal, dan ia hanyalah bagian dari keragaman manusia di dunia ini. Dengan demikian, eksistensi dan hak-hak mereka harus dipenuhi. Tidak boleh ada diskriminasi.
Kelompok kedua sebaliknya, penentang. Kelompok ini menggunakan argumen agama bahwa tidak ada satu agama pun yang merestui hubungan seks sejenis. Cerita Luth dan pertentangan kaumnya dijadikan kisah teladan, bahwa perilaku menyimpang homoseksual berujung kepada azab.
Isu Aids dikemukakan, bahwa mayoritas kasus Aids berasal dari hubungan seks sejenis. Oleh sebab itu, menurut kelompok kedua ini, LGBT harus diberantas. Mereka harus diusir.
Kelompok ketiga berada di tengah. Kelompok ini tidak menerima teori yang menormalkan LGBT. Akan tetapi, mereka masih menerima LGBT sebagai realitas. Kelompok ini tidak keras seperti kelompok kedua yang menuntut pengusiran. Kelompok ketiga meyakini, ada cara untuk mengatasi ini, seperti terapi.
Kelompok ketiga tidak banyak. Mungkin karena pola pikir hitam-putih yang mendarah-daging. Sedikit suara positif terhadap LGBT, kelompok kedua menganggapnya sebagai pendukung dan oleh sebab itu berada di kelompok pertama.
Secara pribadi, saya berada di kelompok ketiga. Saya tidak sepakat dengan ide menjustifikasi LGBT. Saya berkeyakinan bahwa orientasi seksual sejenis bisa diterapi. Bagaimanapun, sebagai manusia, mereka tetaplah manusia. Namun begitu, untuk apa menolak ide tidak normal atau penyimpangan?
Bukankah normal dan tidak normal juga bagian dari keragaman manusia. Sebagian manusia dilahirkan cacat; sebagian lainnya menyandang difabel (different abilities). Semua itu tidak mengurangi harkat mereka sebagai manusia.
Dengan demikian, hak-hak manusiawi mereka harus dipenuhi. Mereka juga harus diberikan hak pendidikan dan kesehatan, umpamanya. Itulah ide dari sekolah inklusi. Begitu pula kiranya kita menyikapi LGBT. Bagaimana pun juga, anak yang dilahirkan cacat, autis, dan kekurangan lainnya tetap berada di kategori ‘tidak normal.’
Kecenderungan seksual sejenis juga sama. Tidak perlu berkeras hati menempatkan mereka menjadi ‘normal’. Satu-satunya yang harus kita perhatikan adalah bahwa ketidaknormalan tersebut bukan berarti mereka berhak direndahkan, dihina, diusir, atau dibunuh. Sebagaimana anak autisme perlu dididik, begitu pula LGBT perlu diterapi.
Mengapa saya menolak menjustifikasi kenormalan LGBT? Menurut kelompok pendukung, kode nilai berubah sepanjang zaman. Perkembangan di banyak hal, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, membawa kita pada perubahan. Homoseksualitas yang dulu disebut kriminal dan dihukum, sebagaimana Alan Turing si penemu komputer, sekarang tidak mesti seperti itu.
Tanggapan saya, bahwasanya kita bisa mengubah kode nilai dengan alasan-alasan tertentu, kita juga bisa mempertahankan nilai-nilai tertentu dengan alasan-alasan tertentu pula. Berikut alasan saya menolak justifikasi kenormalan LGBT di Indonesia.
Pertama, ketika tren selfie dan upload foto di media sosial mencuat, kita melihat artikel-artikel kecil yang beredar di internet menyebut bahwa selfie duckfacetermasuk kepada kategori kelainan psikis. Tentu saja ini hanya hal yang sederhana. Tidak ada yang dirugikan dan diganggu.
Foto selfie sambil memonyongkan bibir, emang apa salahnya? Tapi apa lacur, ini tetap disebut sebagai kelainan psikis. Jika demikian dengan hal sesederhana selfie duckface, bagaimana dengan kecenderungan seks sejenis?
Kedua, ide lokalitas juga menolak menjustifikasi LGBT. Dalam Islam, ide lokalitas ini dijelaskan dengan konsep Islam Nusantara. Sejumlah pakar pemikiran Islam di Indonesia menyebut Islam Nusantara merupakan perpaduan ajaran prinsip dalam Islam dengan lokalitas budaya Nusantara yang tidak bertentangan.
Sebagaimana aspek kultur Arab secara sosiologis mewarnai berislamnya orang-orang Timur Tengah, maka kultur Nusantara juga menjadi kategori sosiologis yang tersendiri. Ide lokalitas ini merupakan antitesis dari ide globalisasi yang berupaya menepikan yang lokal dan mengedepankan yang global.
Ide, konsep, dan nilai dalam kultur wilayah tertentu diklaim lebih utama dan oleh sebab itu perlu dilekatkan pada wilayah lainnya. Akibatnya, terjadilah bentrok antar nilai. Pada akhirnya muncul kekalutan, kesuraman, dan ketidakjelasan di wilayah recipient. Inilah yang ditentang oleh Islam Nusantara.
Dengan demikian, konsep Islam Nusantara yang menolak aspek-aspek kultur Timur Tengah untuk diimpor ke Indonesia karena disebut tidak sesuai dan relevan dengan nilai kenusantaraan, secara simetris juga semestinya menolak ide-ide apapun juga di luar sana yang juga tidak relevan. Artinya, bagi saya, konsep Islam Nusantara menolak menjustifikasi kenormalan LGBT sebagaimana ia menolak aplikasi khilafah.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H