Bukankah normal dan tidak normal juga bagian dari keragaman manusia. Sebagian manusia dilahirkan cacat; sebagian lainnya menyandang difabel (different abilities). Semua itu tidak mengurangi harkat mereka sebagai manusia.
Dengan demikian, hak-hak manusiawi mereka harus dipenuhi. Mereka juga harus diberikan hak pendidikan dan kesehatan, umpamanya. Itulah ide dari sekolah inklusi. Begitu pula kiranya kita menyikapi LGBT. Bagaimana pun juga, anak yang dilahirkan cacat, autis, dan kekurangan lainnya tetap berada di kategori ‘tidak normal.’
Kecenderungan seksual sejenis juga sama. Tidak perlu berkeras hati menempatkan mereka menjadi ‘normal’. Satu-satunya yang harus kita perhatikan adalah bahwa ketidaknormalan tersebut bukan berarti mereka berhak direndahkan, dihina, diusir, atau dibunuh. Sebagaimana anak autisme perlu dididik, begitu pula LGBT perlu diterapi.
Mengapa saya menolak menjustifikasi kenormalan LGBT? Menurut kelompok pendukung, kode nilai berubah sepanjang zaman. Perkembangan di banyak hal, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, membawa kita pada perubahan. Homoseksualitas yang dulu disebut kriminal dan dihukum, sebagaimana Alan Turing si penemu komputer, sekarang tidak mesti seperti itu.
Tanggapan saya, bahwasanya kita bisa mengubah kode nilai dengan alasan-alasan tertentu, kita juga bisa mempertahankan nilai-nilai tertentu dengan alasan-alasan tertentu pula. Berikut alasan saya menolak justifikasi kenormalan LGBT di Indonesia.
Pertama, ketika tren selfie dan upload foto di media sosial mencuat, kita melihat artikel-artikel kecil yang beredar di internet menyebut bahwa selfie duckfacetermasuk kepada kategori kelainan psikis. Tentu saja ini hanya hal yang sederhana. Tidak ada yang dirugikan dan diganggu.
Foto selfie sambil memonyongkan bibir, emang apa salahnya? Tapi apa lacur, ini tetap disebut sebagai kelainan psikis. Jika demikian dengan hal sesederhana selfie duckface, bagaimana dengan kecenderungan seks sejenis?
Kedua, ide lokalitas juga menolak menjustifikasi LGBT. Dalam Islam, ide lokalitas ini dijelaskan dengan konsep Islam Nusantara. Sejumlah pakar pemikiran Islam di Indonesia menyebut Islam Nusantara merupakan perpaduan ajaran prinsip dalam Islam dengan lokalitas budaya Nusantara yang tidak bertentangan.
Sebagaimana aspek kultur Arab secara sosiologis mewarnai berislamnya orang-orang Timur Tengah, maka kultur Nusantara juga menjadi kategori sosiologis yang tersendiri. Ide lokalitas ini merupakan antitesis dari ide globalisasi yang berupaya menepikan yang lokal dan mengedepankan yang global.
Ide, konsep, dan nilai dalam kultur wilayah tertentu diklaim lebih utama dan oleh sebab itu perlu dilekatkan pada wilayah lainnya. Akibatnya, terjadilah bentrok antar nilai. Pada akhirnya muncul kekalutan, kesuraman, dan ketidakjelasan di wilayah recipient. Inilah yang ditentang oleh Islam Nusantara.
Dengan demikian, konsep Islam Nusantara yang menolak aspek-aspek kultur Timur Tengah untuk diimpor ke Indonesia karena disebut tidak sesuai dan relevan dengan nilai kenusantaraan, secara simetris juga semestinya menolak ide-ide apapun juga di luar sana yang juga tidak relevan. Artinya, bagi saya, konsep Islam Nusantara menolak menjustifikasi kenormalan LGBT sebagaimana ia menolak aplikasi khilafah.[]