[Pagi ini saya diskusi dengan seorang teman tentang sebuah video yang membahas agenda orientasi mahasiswa baru di UIN Bandung dengan jargon 'arena bebas Tuhan' beberapa tahun lalu. Dari sejumlah topik yang kami bahas, yang paling mengganggu saya adalah ada persepsi publik bahwa seorang yang belajar agama for knowledge, untuk memuaskan hasrat keilmuan, untuk dikenal berpengetahuan, akan terbawa keluar dari jalan yang benar. Saya setuju dengan motif terakhir, bahwa orang yang belajar agama untuk dikenal orang lain, dihormati, dihargai sebagai orang berpengetahuan, akan terbawa kepada kesombongan. Tapi, benarkah seseorang tidak boleh belajar agama Islam dalam motif knowledge for knowledge?
Saya mau mulai dari istilah 'keluar dari jalan benar.' Yang dimaksud dengan istilah tersebut dalam hal ini jika dirunut ke belakang dalam diskusi tersebut merujuk kepada apa agenda-agenda sensasional mahasiswa UIN dalam orientasi mahasiswa baru seperti jargon 'area bebas Tuhan' atau 'Tuhan membusuk' yang heboh beberapa waktu yang lalu. Istilah tersebut juga merujuk kepada pemikiran-pemikiran liberal yang digaungkan oleh orang seperti Ulil Abshar Abdallah atau Musdah Mulia. Bukan hanya itu, istilah keluar dari jalan benar juga bermakna sesuatu yang tidak populer di mata publik. Tentu saja sangat sesuai dengan pola pikir umat Islam Indonesia belakangan ini yang latah dengan istilah-istilah kafir, sesat, dan penistaan agama.
Saya tidak akan membahas pemikiran Ulil Abshar Abdallah atau Musdah Mulia di sini karena akan menjadi sangat pelik dan rumit. Saya di sini hanya membela para mahasiswa dari klaim publik tersebut; klaim keluar dari jalan benar yang dalam hal ini dikaitkan dengan para mahasiswa yang mempelajari Islam di lingkungan institusi pendidikan Islam. Saya rasa ini berkenaan dengan stigma jelek yang terlanjur tersebar; stigma bahwa di UIN terjadi pemurtadan, di UIN diajarkan kesesatan, di UIN mahasiswa diajarkan untuk meninggalkan shalat atau tidak bertuhan. Menurut persepsi publik tersebut, yang sayangnya juga terkadang keluar dari mulut kaum terpelajar, belajar di UIN berpotensi mengeluarkan kita dari jalan yang benar. Sebab, di UIN, Islam tidak diajarkan untuk mendekatkan diri atau memupuk cinta kepada Allah, melainkan knowledge for knowledge.
Faktanya lebih kurang memang begitu, bahwa universitas berbeda dengan pesantren. Universitas adalah tempat belajar orang dewasa. Kesalehan individu tidak lagi concern utama. Sebagai orang dewasa, mahasiswa seharusnya bisa mengembangkan kesalehan pribadinya dengan cara masing-masing. Untuk itulah mengapa saya menilai fakultas-fakultas tertentu di UIN, Ushuluddin dan Syari'ah, hanya cocok dengan lulusan pesantren yang tidak lagi punya issue dengan kesalehan individu.
Mengapa demikian? Karena mereka telah mendapatkan materi pelajaran agama dalam motif pengembangan kesalehan individu tersebut. Bukan hanya sebagai pengetahuan kognitif, kehidupan pesantren telah menumbuhkan karakter inner mereka. Bahkan mereka telah mampu menjadi guru bagi masyarakat di masjid atau mushalla yang mengajarkan kesalehan individu ini.
Dengan demikian, mereka telah siap untuk terjun lebih dalam di fakultas Syari'ah dan Ushuluddin. Mereka telah siap berhadapan dengan ratusan atau ribuan literatur Islam yang telah ditulis selama berabad-abad. Mereka telah siap mempelajari semua aliran pemikiran Islam, dari yang paling kanan sampai yang paling kiri. Sederhananya, mereka belajar Islam knowledge for knowledge. Lantas, apakah mereka-mereka ini akan keluar dari jalan yang benar?
Saya tidak sepakat. Sama sekali tidak sepakat. Sebagai orang yang telah mampu mengembangkan kesalehan personal secara mandiri, apa yang mereka pelajari, sugguhpun knowledge for knowledge, justru semakin menambah kebijaksanaan mereka dalam beragama.
Lantas bagaimanakah dengan mahasiswa yang nyeleneh-nyeleneh di atas? Itu hanyalah kejadian sehari dua hari dalam 325 hari setahun, oleh beberapa orang yang haus sensasi, kemudian di blow up media, dimanfaatkan oleh orang yang tidak berpikiran terbuka dan memiliki kecenderungan klaim sepihak, disebar menjadi isu besar bahwa 'terjadi pemurtadan di UIN, UIN kampus sesat, UIN menjadi virus Islam dari dalam, dan sebagainya,' dan diterima oleh masyarakat yang tidak dewasa menghadapi peredaran isu dan stigma tersebut. Akibatnya, kejadian semacam itu dipercaya berlaku umum untuk semua mahasiswa UIN. Semacam 'karena nila setitik rusak susu sebelanga' atau lebih tepatnya 'satu titik hitam di tengah kertas putih' di tengah orang-orang yang lupa bahwa titik tersebut hanya seupil sari ukuran luasan kertas.
"Jika demikian, mengapa kita sering mendengar hal yang aneh-aneh dari para mahasiswa, lulusan, atau pengajar UIN tersebut?" kira-kira pertanyaan ini akan muncul. Saya ingin menjawabnya begini.
Itulah bedanya pelajar yang memang kajiannya agama. Ibarat pelajar kedokteran hewan, mereka harus berhubungan sama babi, atau dokter lain yang berhubungan dengan organ intim atau kelamin lawan jenis. Ini hal yang tabu, aneh, dan diluar kebiasaan. Lantas, apakah itu jelek?
Ada org yang ingin hidup sehat untuk dirinya sendiri, ada dokter yang ingin mempelajari organ tubuh manusia, penyakit-penyakitnya, dan bagaimana menyembuhkannya. Gitu juga. Ada org yang belajar agama untuk kesalehan pribadinya. Orang di posisi ini cukup puas dengan tahu rukun, syarat, dan hal-hal yang membatalkan shalat dan puasa, takaran zakat, dan kaifiat haji. Dalam sudut pandang komunal, ilmu-ilmu setingkat itu diajarkan kepada masyarakat lebih luas. Tapi pada sisi lain juga ada orang yang mempelajari hal-hal tabu dalam agama. Sebagian harus mempelajarI injil atau ajaran agama lainnya, harus belajar sejarah pemikiran Islam (yang membahas semua pemikiran dari yang paling kanan sampai paling kiri), kehidupan politik dan agama (yang dalam sejarah juga tidak lepas dari darah dan perang). Tentu saja mereka menemukan yang 'aneh'. Tapi, apakah 'aneh' keluar dari jalan benar? Jika demikian, tidak boleh dong mempelajari semua itu?
Kepada orang yang masih berpikiran tersebut, saya ingin menyatakan ini.
Pernah kah mbak-mbak dan mas-mas semua masuk ke perpustakaan literatur Islam? Itu ada ribuan buku tafsir, hadis, ushul Fiqh, kalam, yang ditulis selama berabad-abad. Haruskah semua itu dikubur jika org tidak boleh memenuhi hasrat ilmunya untuk mendalami tradisi yang sangat panjang itu? Memang Mas, Mbak, kalau untuk kesalehan persoalan, ngaji di langgar di kampung aja cukup. Tapi mengubur semua tradisi intelektual itu justru hanya akan mengubur Islam itu sendiri. Sejarah Nabi Muhammad sama sejarah Al-Quran itu gampang diacak sama orientalis nakal kenapa bisa? Karena kita org Islam sendiri kalah dalam dan kalah kuat mempelajarinya dari mereka. Ketika sejarah Nabi dan sejarah Al-Quran terkubur, otomatis Islam juga terkubur. Ketika kita sibuk bahas yang kecil-kecil seperti ukuran jilbab atau celana, kita lupa bahwa pondasi kita dalam keilmuan semakin lapuk. Jadi, tanpa Jenengan-jenengan sadari, org di UIN/IAIN itu sedang menjaga pondasi, menambal yang bolong, ngecat ulang yang lusuh; biar kita tetap bisa hidup di dalamnya memperhatikan kesalehan personal kita masing-masing.
Kita mungkin cukup dengan tau rukun-syarat shalat, tapi temen-temen di UIN itu membahas istilah shalat itu punya belasan makna dalam Al-Quran, bagaimana maknanya sebelum Al-Quran diturunkan, dan makna baru apa yang dibawa Al-Quran. Yang gitu-gitu mereka pelajari. Mereka juga belajar bahwa Al-Quran itu punya banyak ragam qira'at, cara baca yang berbeda dari yang biasa dikenal umum. Maaliki yaumiddin dibaca Malaka yaumaddin, misalnya. Aneh? Tentu saja terdengar aneh bagi publik, sebagaimana anehnya seorang cowok memegang kelamin cewek, kecuali jika ia dokter kelamin.
Jadi tidak bolehkah belajar Islam knowledge for knowledge? Tentu saja boleh. Lalu, apakah ada mahasiswa UIN/dosen yang mengatakan hal aneh-aneh? Ada. Tapi apakah dengan demikian otomatis salah? Jangan terburu-buru. Adakah yang nyeleneh? Ada. Ada, seperti dokter yang malpraktik atau ikut mafia penjualan obat. Tapi sekali lagi, apakah belajar Islam knowledge for knowledge akan mengeluarkan kita dari jalan benar. Tidak.[]
Sumber gambar:Â smallbusinessmoneymastery.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H