Mohon tunggu...
Fadhli Lukman
Fadhli Lukman Mohon Tunggu... -

Just ordinary simple person...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Remehkan Aturan Rambut Siswa!

2 Januari 2016   09:01 Diperbarui: 2 Januari 2016   09:01 4031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Juga dimuat di mediasantri dan wordpress

 

Kembali ke beberapa tahun yang lalu, saya teringat dengan sebuah pelatihan bagi guru-guru madrasah. Hal ini mengikuti kebijakan madrasah tempat saya dulu belajar dan ketika itu mengajar, Madrasah Sumatera Thawalib Parabek, untuk mengadopsi Multiple Intelligence System (MIS) dalam kegiatan belajar-mengajar. Metode ini mengingkari status quo yang hanya menilai dan menghargai sisi kognitif dari peserta ajar. Dengan kata lain, sejauh ini sekolah-sekolah cenderung hanya menghargai siswa paling pintar dalam matematika, fisika, Bahasa Inggris, dan mata pelajaran lainnya. Adapun MIS berpijak kepada perbedaan potensi yang dimiliki setiap siswa, dan tidak ada yang salah dengan perbedaan. Oleh sebab itu, tidak ada kata ‘bodoh’; mungkin sebagian siswa fast learner, tapi yang lain slow learner; mungkin sebagian siswa pintar dengan angka, sementara sebagian lainnya mahir dengan kata-kata; mungkin beberapa siswa tidak bisa belajar diam duduk di atas kursi, sementara lainnya bisa belajar sendiri dalam kesenyapan.

Dalam pelatihan tersebut disebutkan bahwa materi ajar akan gampang dipahami oleh para siswa jika otak mereka berada pada gelombang alfa. Apapun itu istilahnya, yang saya juga tidak begitu paham, otak dengan gelombang alfa adalah keadaan ketika otak masih segar dan siap menerima informasi apapun. Gampangnya, gelombang alfa mungkin bisa digambarkan dengan kondisi otak di pagi hari, selesai mandi, fresh, dengan catatan tidak ada beban pikiran. Ketika itulah, apapun yang diajarkan kepada siswa akan efektif. Semakin banyak tekanan, semakin tidak mendukung lingkungan, semakin tidak baik hubungan guru-murid, makasemakin jauh otak dari posisi gelombang alfa, dan semakin susah informasi masuk ke otak siswa. Jika Anda pernah melihat guru/trainer melakukan brain storming, meminta berdiri, merentangkan tangan, menarik nafas yang dalam dan melepaskannya secara perlahan, itu adalah strategi-stretegi untuk mengembalikan otak ke gelombang alfa.

Selain guru harus berusaha menempatkan siswa pada gelombang alfa, guru juga harus berhasil mengatasi hal-hal distruktif, diantaranya otak reptil. Apa pula itu otak reptil? Otak reptil adalah bagian otak manusia yang menumbuh-dan-kendalikan daya berontak manusia. Ini bukan sesuatu yang jahat, karena manusia memang memiliki segudang paradoks, antara sifat alami yang lembut dan penuh empati pada satu sisi tetapi memiliki potensi perlawanan pada sisi lain. Kedua sisi, kelembutan dan perlawanan, dibutuhkan dalam hidup; tergantung situasi apa yang dihadapi.

Dalam konteks proses belajar mengajar, jika seorang murid melakukan perlawanan atau pembangkangan terhadap guru, maka ketika itu otak reptilnya sedang bekerja. Entah bagaimana hubungannya dengan gelombang alfa tadi, yang pasti, ketika otak reptil bekerja, otak tidak pada posisi alfa. Artinya, ketika ada resistensi dari siswa terhadap guru, materi ajar tidak akan bisa ia mengerti. Bukan hanya pada siswa, jika suatu ketika dalam proses belajar-mengajar otak reptil guru bekerja, maka tidak akan bisa ia memberikan pengajaran yang baik bagi siswa. Lebih parah lagi ketika keduanya beradu kuat dengan otak reptil masing-masing, tidak ada pendidikan, yang ada hanyalah saling melawan.

Dengan adanya kedua potensi ini, maka guru bisa memaksimalkan waktu dalam pengajarannya dengan mengondisikan siswa pada gelombang alfa dan menundukkan otak reptilnya. Namun begitu, hal sebaliknya juga bisa terjadi. Hal-hal tertentu akan sangat mungkin merangsang bekerjanya otak reptil siswa. Misalnya ketika siswa melihat gurunya tidak adil terhadap siswa; lunak ke beberapa siswa dan keras pada sebagian lainnya; ketika mereka melihat gurunya tidak disiplin waktu, sementara siswa yang datang terlambat dihukum menyiram bunga; ketika ada peraturan ketat tentang ukuran rambut siswa laki-laki, sementara guru bebas-bebas aja tuh. Ketika itu terjadi, kegiatan belajar-mengajar sia-sia. Saya ingat sekali, ketika itu trainer-nya berkata, “Jangan pernah pancing otak reptil anak!”

Contoh yang paling menarik bagi saya terkait pernyataan tersebut adalah peraturan rambut. Mungkin ini tidak asing. Siapapun di Indonesia ini tahu, bahwa siswa laki-laki tidak boleh memiliki rambut gondrong. Bukan, gondrong terlalu jauh, mungkin dibahasakan ‘panjang’ aja, meskipun kata ini masih sangat abu. Beberapa sekolah mungkin sangat ketat, “Ukuran rambut siswa laki-laki adalah 1/5 cm di bawah, 1 cm di pinggir, dan 3 cm di atas.” Apakah ini sekolah militer? Bukan. Sekolah sipil biasa. Termasuk madrasah tempat saya belajar, tentu saja. Tapi itu titik ekstrimnya, saya kira. Masing-masing sekolah memiliki modelnya masing-masing. Beberapa ketat dan pendek, beberapa lainnya cukup longgar.

Mengapa peraturan ini menarik? Saya tidak melihat aturan lain yang menyentuh semua kategori siswa, baik siswa pintar, bodoh (menggunakan paradigma status quo), disiplin, telatan, rapi, urakan, atau patuh dan pembangkan, selain aturan rambut ini. Kasus PR mungkin hanya siswa-siwa urakan dan tidak disiplin yang menjadi masalah. Masalah telat? Yang tidak disiplin tentu saja. Siswa patuh tidak akan bermasalah dengan kedua contoh pelanggaran di atas. Kasus aksesori baju yang tidak lengkap atau berlebihan? Hanya menyentuh siswa urakan. Yang pintar, disiplin, rapi? No problem. Tapi kasus rambut, ini berlaku umum. Baik yang pintar, yang patuh, atau yang urakan dan pembangkang, semua kena, secara umum.

Saya mengajukan pertanyaan, mengapa harus ada peraturan tentang rambut ini, bahkan hingga batasan yang ekstrim? Kerapian? Secara mungkin sekilas begitu. Murid seharusnya tampil rapi. Akan tetapi, mengapa rambut siswa yang cenderung rapi, tidak bisa disebut panjang, meskipun juga tidak pendek, tetap saja dihukum potong secara sembarangan (terutama menjelang ujian, peraturannya semakin ketat)? Kepatuhan? Bisa jadi. Siswa yang patuh seharusnya mengikuti peraturan yang ditetapkan sekolah, termasuk masalah rambut. Jika demikian, mengapa harus rambut? Ada banyak kriteria lain yang bisa dijadikan tolok ukur selain rambut. Lagi pula, sekolah bukan mencetak orang patuh. Sekolah ada untuk memaksimalkan potensi manusia. Ketika peraturan rambut diberlakukan dengan begitu ketat, dengan alasan yang tidak masuk akal, maka yang diajarkan di sini hanyalah kepatuhan buta. Bukan itu maksud dari sebuah sekolah. Sekolah bukan barak prajurit.

Terkait dengan gelombang alfa dan otak reptil di atas, saya mengkhawatirkan bahwa peraturan rambut ini tidak ada fungsinya selain untuk merangsang pertumbuhan otak reptil siswa. Mungkin guru berniat baik, untuk membiasakan hidup rapi dan mengajarkan makna kepatuhan, akan tetapi ‘konsep kerapian’ dan ‘kepatuhan’ sendiri dicederai, dan yang ada hanyalah merangsang aktifnya otak reptil siswa. Lebih berbahaya lagi, peraturan ini bukan hanya memiliki efek kecil bagi sebagian siswa, melainkan pada siswa secara umum. Dengan demikian, peraturan rambut justru menjadi instrumen yang menghalangi efektifnya proses belajar-mengajar. Peraturan rambut justru menciptakan situasi yang tidak mendukung untuk pendidikan. Peraturan rambut hanya memaksimalkan potensi kebengalan siswa.

Mengenai kepatuhan buta, peraturan rambut ini memiliki efek yang lebih permanen dalam pertumbuhan mental siswa. Ketika mereka melihat rambut mereka rapi, tapi masih dipotong sembarangan, dengan alasan kepatuhan, artinya mereka dipaksa untuk menerima sesuatu yang bagi mereka tidak masuk akal. Dengan demikian, siswa diajarkan untuk bereaksi terhadap sesuatu meskipun mereka tidak memahaminya. Jika siswa tumbuh dengan mental seperti ini, mereka tidak akan mampu menjadi pemimpin di esok hari. Pemimpin tidak bisa bertindak sembarangan; ia harus menyadari betul dengan apa yang ia putuskan. Mereka juga akan dengan gampang dipengaruhi dan diadu-domba. Semua karena mereka telah dipaksa semenjak dini untuk bertindak dan bereaksi melawan kesadaran diri sendiri. Saya khawatir, kita harus membayar mahal di masa depan terhadap peraturan yang kita anggap ‘sepele’ ini. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun