Mohon tunggu...
Fadhli Lukman
Fadhli Lukman Mohon Tunggu... -

Just ordinary simple person...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Jangan Minder Sama Bule

7 Desember 2015   08:14 Diperbarui: 7 Desember 2015   14:26 1855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ikut melibatkan diri dalam diskusi, “Sepertinya ini berkaitan dengan trauma historis; Kita lihat bangsa Barat datang ke Asia dan Afrika sebagai penjajah, dan Indonesia dijajah oleh Belanda.” Michael kembali setuju. Salah seorang peserta lainnya, Pak Hasan, mengungkap bahwa berdasarkan penelitian salah seorang pakar psikologi di UGM, ditemukan bahwa bekas-bekas psikologis dari penjajahan Belanda di Indonesia masih terlihat di sana sini. Misalnya, orang Indonesia cenderung menggunakan bahasa pasif. Sementara itu, jika kita belajar academic writing dalam bahasa Inggris, kita akan ditekan untuk sedapat mungkin menggunakan bahasa aktif. Menurutnya, bahkan hingga tataran penggunaan bahasa, masyarakat Indonesia itu ditekan untuk bersikap pasif.

Kita belum sampai pada sisi paling menarik dari diskusi tersebut, yaitu pengalaman pribadi Michael. Katanya, ia datang ke Indonesia pada tahun 1981. Berarti dia sudah hidup di Indonesia selama 34 tahun. Selama di Indonesia, ia telah berkunjung hampir ke seluruh provinsi. Dia bahkan hidup lebih lama dan menjajaki kaki di lebih banyak tempat di Indonesia daripada semua peserta kursus.

“Selama itu,” kata Michael, “saya melihat perubahan besar dari orang Indonesia.” Pada tahun 1980an, berteman dengan seorang bule adalah sebuah berkah. Punya teman bule adalah gengsi. Banyak orang kaya Indonesia yang berusaha menarik hati para bule untuk status sosial. Dalam sebuah acara perkawinan, mereka akan begitu senang jika ada bule yang hadir. “Mereka bahkan seolah hampir ‘menyembah’ saya!” Saya cukup termangu mendengar penuturan Michael. Sepertinya teman-teman di kelas juga demikian.

Michael melanjutkan ceritanya.

“Saya malu ketika itu. Padahal mereka itu adalah orang-orang kaya dan terhormat di sini. Saya ini apalah. Saya hanya seorang pegawai biasa. Saya hanyalah seorang karyawan yang mengais rejeki di sini. Dan mereka adalah orang-orang kaya, begitu antusias mengundang saya ke pernihakan mereka, dan bertindak seolah hampir menyembah saya. Saya malu.”

“Begitu juga ketika pertama kali datang ke Indonesia, seorang pembantu ditugaskan di rumah saya. Saya belum pernah punya pembantu. Selama ini saya melakukan segala sesuatunya sendirian. Dan sekarang saya punya pembantu. Saya dipanggil ‘Tuan’.”

Dari penuturan Michael, saya melihat bahwa rasa minder itu benar-benar ada. Rasa inferior itu benar-benar nyata di Indonesia. Saya kembali mengingat masa kecil. Saya tinggal di sebuah desa kecil di Sumatera Barat. Kebetulan tidak jauh dari rumah terdapat sebuah objek wisata yang cukup dikenal, namanya Puncak Lawang. Jadi, melihat bule tiba-tiba lewat di depan sekolah atau dekat lapangan bola tempat kami biasa bermain adalah hal yang lumrah.

Yang tidak lumrah adalah anak-anak ketika itu begitu antusias dengan kedatangan si bule, meskipun ia hanya lewat. Mereka meneriakinya begitu girang, seolah kedatangan malaikat. Suatu ketika teman saya berkata, “Mereka baik lo, coba saja kamu minta pulpen atau pensil, mereka pasti kasih.” Pulpen atau pensil ketika itu adalah barang berharga bagi seorang murid. Seringkali kami dimarahi orang tua dan guru ketika pulpen atau pensil kami hilang lagi dan lagi. Pulpen dan pensil digunakan sang teman sebagai cara untuk memuji si bule. Ketika kami dimarahi karena tidak punya pulpen, si bule ternyata memberikannya.

“Tapi sekarang tidak begitu lagi.” lanjut Michael. “Sekarang saya meilihat anak-anak bermain, saya lewat di sekitar mereka, lalu mereka berteriak, ‘F**k You, Mister!!’ Ya itu bukanlah sesuatu yang baik. Tapi paling tidak memperlihatkan bahwa anak-anak Indonesia tidak lagi merasa minder terhadap bule.”

Michael menutup ceritanya dengan sebuah nasihat, “If you do feel inferior right now, leave it now, or leave it in this room!” Lalu saya memotongnya, “I don’t have it!”

“You don’t? Good, don't feel inferior to anybody!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun