Semakin berekembangnya zaman, konsep pembagian dan peran suami istri dalam rumah tangga semakin berubah. Dalam konsep tradisional, pembagian peran ini sangatlah terlihat jelas. Urusan rumah tangga serta pengasuhan akan menjadi kewajiban dan tanggun jawab dari istri, sedangkan urusan materi dan nafkah akan menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami. Hal ini sangatlah berbeda dengan keadaan saat ini yang mulai mengaburkan pembagian peran tersebut. Lestari (2012) menyebutkan bahwa pasangan cenderung sama-sama bekerja sehingga membutuhkan keluwesan dalam berbagi peran ataupun pertukaran, baik dalam hal mencari nafkah ataupun domestik rumah tangga.
Hal ini berkaitan juga dengan meningkatkan kesetaraan gender dan peranan perempuan dalam bidang karir dan usaha sesuai keinginan dan keahlian masing-masing. Namun, hal ini masih menjadi masalah baru karena kurangnya keadilan gender, baik berupa kesehatan, pendidikan, ataupun akses ekonomi bagi Perempuan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, 2017). Hal yang sama diungkapkan oleh penelitian standpoint theory yang dilakukan oleh Fatwasuci & Irwansyah (2021) yang mengulik berbagai jurnal yang menunjukkan bahwa sebenarnya peran yang dilakukan oleh perempuan hampir sama dengan laki-laki, namun perempuan belum mendapatkan kesejahteraan yang sama dibanding laki-laki. Peningkatan kesetaraan gender dan karir pada perempuan hanya menjadi beban baru sehingga perempuan mengalami peran ganda (double burden) dalam kehidupan berkeluarga. Sehingga, diperlukannya keseimbangan peran dalam rumah tangga untuk mengatasi masalah double burden pada perempuan ini.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, pada zaman sekarang peran perempuan tidak lagi hanya mengurus berbagai urusan rumah tangga dan mempermasalahkan permasalahan keterbatasan dalam geraknya. Di masa yang sudah lebih aware terhadap kesetaraan gender dan perubahan sosial yang terjadi, ibu-ibu sudah mulai berani keluar rumah untuk mencari nafkah. Perubahan ini tentunya sangat membantu dalam faktor perekonomian keluarga, terutama keluarga yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah (Triana & Krisnani, 2018). Kebutuhan yang semakin meningkat dan tidak mencukupinya penghasilan  membuat perempuan mencari alternatif lain untuk menambah penghasilan keluarga.
Kemampuan untuk mencari tambahan penghasilan bagi perempuan juga dianggap sebagai salah satu usaha untuk membangun kesejahteraan keluarga. Meskipun tingkat perekonomian keluarga masih didominasi oleh laki-laki, perempuan yang memiliki karir dan penghasilan sendiri tidak lagi jadi masalah dalam fungsi dan peran gender. Bahkan, Hanum (2017) mengungkapkan bahwa istri yang bekerja merupakan salah satu peran yang membantu peningkatan kesejateraan keluarga dengan tidak memberatkan beban mencari nafkah pada kemampuan suami. Keadaan perekonomian yang stabil dalam sebuah keluarga seringkali dikaitkan dengan stabilitas keadaan rumah tangga. Hal ini digambarkan dengan terpenuhinya hampir semua aspek kebutuhan dalam kehidupan berkeluarga.
Double burden yang dilakukan oleh perempuan juga ternyata membantu membangun perekonomian nasional sebagai penguatan kesetaraan gender di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Bayumi, dkk (2022) mengungkapkan bahwa peran perempuan yang berani untuk terjun ke dunia kerja sangat berarti dalam menaikkan perekonomian secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya jumlah laki-laki di Indonesia yang dianggap memiliki tanggung jawab penuh dalam mencari nafkah tiap tahunnya. Usaha yang dibuka oleh perempuan untuk membantu memenuhi kebutuhan dan perekonomian keluarga secara langsung juga ikut membantu meningkatkan tingkat perekonomian nasional.
Selain membantu dalam perekonomian, perempuan  juga perlu untuk membentuk relasi dan kemampuan aktualisasi diri mereka (Samsidar, 2019).  Kebanyakan dari perempuan juga memilih untuk bekerja dikarenakan kebutuhan sosial relasional yang cukup tinggi. Perempuan juga ingin merasakan penerimaan sosial dan dapat bergaul dengan lingkungan masyarakat. Memiliki kegiatan di luar rumah, dapat bercengkrama dengan rekan kerja, dan melihat lingkungan pekerjaan yang baru juga menjadi hiburan tersendiri bagi perempuan.
Hal ini tentu akan berkaitan juga dengan kemampuan aktualisasi hidup perempuan di keluarga. Bekerja menjadi salah satu cara yang ditempuh oleh perempuan untuk menemukan makna dan tujuan hidup mereka. Kesempatan kerja yang diberikan menjadi wadah bagi perempuan untuk mengembangkan diri, berbagi ilmu dan pengalaman, serta meraih prestasi. Banyak skill yang selama ini dibatasi untuk perempuan telah menjadi sesuatu yang juga dikuasai perempuan untuk meningkatkan pencapaian ataupun kepuasan pada diri perempuan.
Namun, dalam pelaksanaanya, kebebasan perempuan yang sudah berkeluarga untuk berkarir memang masih menunjukkan beberapa permasalahan. Ramadani (2016) mengungkapkan bahwa kendala perempuan yang memiliki pekerjaan akan mengalami kendala internal dan kendala eksternal dalam menjalankan perannya. Kendala internal yang dirasakan perempuan tentu saja berkaitan dengan kondisi internal perempuan, seperti lelah fisik, lelah mental, rasa jenuh, dan malas dengan keseharian. Sedangkan kendala eksternal yang dirasakan dapat berupa keterbatasan dan kurangnya kemampuan mengatur waktu.
Hal ini tentu saja bukan terjadi tanpa sebab. Diluar pekerjaan dan karir mereka, perempuan masih memiliki tanggung jawab untuk mengurus kehidupan rumah tangga. Seringkali perempuan mengalami kesulitan untuk tetap memegang perannya sebagai istri, ibu, ataupun pekerja dan menjaga keseimbangan peran mereka (Aini, 2016). Sehabis pulang bekerja, perempuan masih harus mengurus kebutuhan suami dan mengasuh anak yang bisa menjadi boomerang sendiri bagi perempuan. Perempuan juga bisa menjadi blunder dan tidak menjalankan peran secara maksimal akibat keterbatasan waktu yang dimiliki mereka.
Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Akbar & Kartika (2016) yang mengungkapkan bahwa ibu yang bekerja memiliki resiko mengalami konflik peran ganda yang tinggi. Selain itu, penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa ketika konflik peran ganda ini tinggi, maka keberfungsian keluarga menjadi ikutan tinggi. Hal ini disebabkan kewajiban dan keinginan ibu yang bekerja untuk tetap menjalankan tugasnya secara bersamaan sehingga tidak sadar mengalami permasalahan pada dirinya dalam menjalankan peran ganda (double burden).
Perempuan dengan double burden juga rentan mengalami stres lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh beban pekerjaan lebih banyak yang harus dipikul oleh perempuan double burden ini. Tziner & Sharoni (2018) juga mengungkapkan terdapat korelasi positif antara tingkat stress yang terjadi pada perempuan peran ganda dengan perilaku profesionalitas. Hal ini semakin banyak peran ataupun profesionalitas yang menjadi tanggung jawab Perempuan, semakin tinggi pula tingkat stress yang mungkin dirasakan oleh perempuan tersebut.