Mohon tunggu...
Fadhlilah Wirazani
Fadhlilah Wirazani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Efektivitas Keseimbangan Peran Rumah Tangga sebagai Solusi Mengatasi Double Burden pada Perempuan

15 Januari 2024   17:00 Diperbarui: 15 Januari 2024   17:03 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin berekembangnya zaman, konsep pembagian dan peran suami istri dalam rumah tangga semakin berubah. Dalam konsep tradisional, pembagian peran ini sangatlah terlihat jelas. Urusan rumah tangga serta pengasuhan akan menjadi kewajiban dan tanggun jawab dari istri, sedangkan urusan materi dan nafkah akan menjadi kewajiban dan tanggung jawab suami. Hal ini sangatlah berbeda dengan keadaan saat ini yang mulai mengaburkan pembagian peran tersebut. Lestari (2012) menyebutkan bahwa pasangan cenderung sama-sama bekerja sehingga membutuhkan keluwesan dalam berbagi peran ataupun pertukaran, baik dalam hal mencari nafkah ataupun domestik rumah tangga.

Hal ini berkaitan juga dengan meningkatkan kesetaraan gender dan peranan perempuan dalam bidang karir dan usaha sesuai keinginan dan keahlian masing-masing. Namun, hal ini masih menjadi masalah baru karena kurangnya keadilan gender, baik berupa kesehatan, pendidikan, ataupun akses ekonomi bagi Perempuan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, 2017). Hal yang sama diungkapkan oleh penelitian standpoint theory yang dilakukan oleh Fatwasuci & Irwansyah (2021) yang mengulik berbagai jurnal yang menunjukkan bahwa sebenarnya peran yang dilakukan oleh perempuan hampir sama dengan laki-laki, namun perempuan belum mendapatkan kesejahteraan yang sama dibanding laki-laki. Peningkatan kesetaraan gender dan karir pada perempuan hanya menjadi beban baru sehingga perempuan mengalami peran ganda (double burden) dalam kehidupan berkeluarga. Sehingga, diperlukannya keseimbangan peran dalam rumah tangga untuk mengatasi masalah double burden pada perempuan ini.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, pada zaman sekarang peran perempuan tidak lagi hanya mengurus berbagai urusan rumah tangga dan mempermasalahkan permasalahan keterbatasan dalam geraknya. Di masa yang sudah lebih aware terhadap kesetaraan gender dan perubahan sosial yang terjadi, ibu-ibu sudah mulai berani keluar rumah untuk mencari nafkah. Perubahan ini tentunya sangat membantu dalam faktor perekonomian keluarga, terutama keluarga yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah (Triana & Krisnani, 2018). Kebutuhan yang semakin meningkat dan tidak mencukupinya penghasilan  membuat perempuan mencari alternatif lain untuk menambah penghasilan keluarga.

Kemampuan untuk mencari tambahan penghasilan bagi perempuan juga dianggap sebagai salah satu usaha untuk membangun kesejahteraan keluarga. Meskipun tingkat perekonomian keluarga masih didominasi oleh laki-laki, perempuan yang memiliki karir dan penghasilan sendiri tidak lagi jadi masalah dalam fungsi dan peran gender. Bahkan, Hanum (2017) mengungkapkan bahwa istri yang bekerja merupakan salah satu peran yang membantu peningkatan kesejateraan keluarga dengan tidak memberatkan beban mencari nafkah pada kemampuan suami. Keadaan perekonomian yang stabil dalam sebuah keluarga seringkali dikaitkan dengan stabilitas keadaan rumah tangga. Hal ini digambarkan dengan terpenuhinya hampir semua aspek kebutuhan dalam kehidupan berkeluarga.

Double burden yang dilakukan oleh perempuan juga ternyata membantu membangun perekonomian nasional sebagai penguatan kesetaraan gender di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Bayumi, dkk (2022) mengungkapkan bahwa peran perempuan yang berani untuk terjun ke dunia kerja sangat berarti dalam menaikkan perekonomian secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh menurunnya jumlah laki-laki di Indonesia yang dianggap memiliki tanggung jawab penuh dalam mencari nafkah tiap tahunnya. Usaha yang dibuka oleh perempuan untuk membantu memenuhi kebutuhan dan perekonomian keluarga secara langsung juga ikut membantu meningkatkan tingkat perekonomian nasional.

Selain membantu dalam perekonomian, perempuan  juga perlu untuk membentuk relasi dan kemampuan aktualisasi diri mereka (Samsidar, 2019).  Kebanyakan dari perempuan juga memilih untuk bekerja dikarenakan kebutuhan sosial relasional yang cukup tinggi. Perempuan juga ingin merasakan penerimaan sosial dan dapat bergaul dengan lingkungan masyarakat. Memiliki kegiatan di luar rumah, dapat bercengkrama dengan rekan kerja, dan melihat lingkungan pekerjaan yang baru juga menjadi hiburan tersendiri bagi perempuan.

Hal ini tentu akan berkaitan juga dengan kemampuan aktualisasi hidup perempuan di keluarga. Bekerja menjadi salah satu cara yang ditempuh oleh perempuan untuk menemukan makna dan tujuan hidup mereka. Kesempatan kerja yang diberikan menjadi wadah bagi perempuan untuk mengembangkan diri, berbagi ilmu dan pengalaman, serta meraih prestasi. Banyak skill yang selama ini dibatasi untuk perempuan telah menjadi sesuatu yang juga dikuasai perempuan untuk meningkatkan pencapaian ataupun kepuasan pada diri perempuan.

Namun, dalam pelaksanaanya, kebebasan perempuan yang sudah berkeluarga untuk berkarir memang masih menunjukkan beberapa permasalahan. Ramadani (2016) mengungkapkan bahwa kendala perempuan yang memiliki pekerjaan akan mengalami kendala internal dan kendala eksternal dalam menjalankan perannya. Kendala internal yang dirasakan perempuan tentu saja berkaitan dengan kondisi internal perempuan, seperti lelah fisik, lelah mental, rasa jenuh, dan malas dengan keseharian. Sedangkan kendala eksternal yang dirasakan dapat berupa keterbatasan dan kurangnya kemampuan mengatur waktu.

Hal ini tentu saja bukan terjadi tanpa sebab. Diluar pekerjaan dan karir mereka, perempuan masih memiliki tanggung jawab untuk mengurus kehidupan rumah tangga. Seringkali perempuan mengalami kesulitan untuk tetap memegang perannya sebagai istri, ibu, ataupun pekerja dan menjaga keseimbangan peran mereka (Aini, 2016). Sehabis pulang bekerja, perempuan masih harus mengurus kebutuhan suami dan mengasuh anak yang bisa menjadi boomerang sendiri bagi perempuan. Perempuan juga bisa menjadi blunder dan tidak menjalankan peran secara maksimal akibat keterbatasan waktu yang dimiliki mereka.

Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Akbar & Kartika (2016) yang mengungkapkan bahwa ibu yang bekerja memiliki resiko mengalami konflik peran ganda yang tinggi. Selain itu, penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa ketika konflik peran ganda ini tinggi, maka keberfungsian keluarga menjadi ikutan tinggi. Hal ini disebabkan kewajiban dan keinginan ibu yang bekerja untuk tetap menjalankan tugasnya secara bersamaan sehingga tidak sadar mengalami permasalahan pada dirinya dalam menjalankan peran ganda (double burden).

Perempuan dengan double burden juga rentan mengalami stres lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh beban pekerjaan lebih banyak yang harus dipikul oleh perempuan double burden ini. Tziner & Sharoni (2018) juga mengungkapkan terdapat korelasi positif antara tingkat stress yang terjadi pada perempuan peran ganda dengan perilaku profesionalitas. Hal ini semakin banyak peran ataupun profesionalitas yang menjadi tanggung jawab Perempuan, semakin tinggi pula tingkat stress yang mungkin dirasakan oleh perempuan tersebut.

Masalah lain juga diungkapkan oleh Kossek & Lee (2022) yang mengungkapkan bahwa masalah yang terjadi pada perempuan di dunia pekerjaan mereka adalah perempuan dianggap tidak bisa memprioritaskan karir secara maksimal dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena Perempuan memiliki kewajiban untuk mengurus anak-anak mereka. Dalam dunia pekerjaan, Perempuan sering tidak bisa memberi waktu kerja tambahan atau mengikuti kegiatan tambahan di tempat kerja. Ini juga yang menjadi penyebab perempuan tidak bisa diletakkan di posisi atau jabatan yang tinggi meskipun memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Perempuan memiliki manajemen waktu dan skala prioritas yang dianggap lebih rumit dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan permasalahan yang terjadi tersebut, dapat dilihat bahwa peran ganda (double burden) yang dialami oleh perempuan bisa memberikan dampak dan beban yang besar bagi perempuan. Dalam sebuah keluarga, diperlukan pembagian yang adil untuk peran tiap anggota keluarga. Tidak hanya pembagian tugas, tetapi juga pembagian hak yang sama serta berbagi rasa senasib dalam berkeluarga. Hal-hal ini akan menjadi dasar untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan di dalam rumah tangga. Keseteraan peran dalam rumah tangga memberikan dampak yang luar biasa dalam mewujudkan kesejahteraan hidup keluarga.

Aspek pertama yang rentan menjadi konflik adalah pembagian urusan pekerjaan rumah tangga. Pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah, memasak, dan merawat anak-anak seharusnya bukanlah tanggung jawab satu pihak, khususnya perempuan. Konsep tradisional yang memetakan pembagian peran antara laki-laki atau perempuan memang tidak bida dipertahankan. Urusan rumah tangga pada saat ini telah menjadi tugas bersama yang perlu disepakati oleh suami-istri. Dengan cara ini, beban pekerjaan rumah tangga dapat dibagi secara adil, memastikan bahwa tidak ada satu pihak yang terlalu dibebani.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zahra (2019), dimana di dalam penelitiannya dijelaskan bahwa kajian terkait feminism dan peran ganda pada perempuan ini telah menjadi pembahasan dari sejak lama. Di dalam penelitiannya dijelaskan bahwa dalam sebuah keluarga, perempuan muslim sebenarnya tidak dilarang untuk membantu mencari nafkah. Begitupun sebaliknya, pekerjaan rumah tangga bukanlah suatu pekerjaan yang dibebankan pada pihak perempuan saja. Namun, dalam pelaksanaannya tentu tetap harus memperhatikan kodrat laki-laki dan perempuan agar pekerjaan yang dilakukan tidak menjadi beban baru nantinya

Selain itu, kesetaraan peran rumah tangga juga melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Banyak sekali keputusan yang perlu dipertimbangkan dalam sebuah keluarga. Contohnya saja keputusan terkait keuangan, pendidikan anak, atau rencana masa depan harus diambil bersama-sama. Jika berkaca dari konsep tradisional, hal ini tentu saja akan menjadi Keputusan pihak laki-laki sebagai pemimpin keluarga tanpa pertimbangan pendapat anggota keluarga lainnya. Namun, alangkah baiknya pegambilan Keputusan dalam keluarga dilakukan dengan mendengar dan menghargai pandangan masing-masing anggota keluarga. Ini menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa didengar dan dihargai dalam proses pengambilan keputusan.

Hal ini juga dijelaskan dalam beberapa penelitian terkait pembagian dan implikasi kesetaraan peran dalam rumah tangga. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rahmawaty (2015) yang membahas tentang perlunya pembagian peran dan pemikiran yang setara antara laki-laki ataupun perempuan dalam sebuah keluarga untuk merealisasikan kesetaraan gender dan kesejahteraan keluarga. Perempuan juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan potensi dan kemampuannya sama seperti laki-laki. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dari pemberian kesempatan yang sama tersebut.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2011) yang mengungkapkan bahwa perempuan memiliki suara yang sama dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan dan peran perempuan yang masih perlu diberdayakan. Potensi yang dimiliki perempuan masih seingkali dipandang sebelah mata. Padahal, kemampuan perempuan untuk bersaing dan menajamkan pemikirannya sama saja tingkatnya dengan laki-laki. Pemberdayaan perempuan dilakukan agar perempuan bisa memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal tertentu yang bisa meningkatkan potensinya tersebut.

Selain itu, Rustina (2017) juga mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa dalam pembagian peran dan keputusan dalam keluarga tidak diperbolehkan untuk mendiskriminasi peran laki-laki ataupun perempuan. Dalam penelitiannya juga dijelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peluang dan kemampuan yang sama dalam mengatur sebuah keputusan. Jika hal tersebut dilakukan, maka akan dihasilkanlah keputusan yang menguntungkan dan adil bagi seluruh pihak anggota keluarga.

Kesetaraan peran rumah tangga juga melibatkan dukungan emosional antara pasangan. Dalam melaksanakan peran gandanya, perempuan membutuhkan dukungan dari suami ataupun angggota keluarga lainnya agar tetap berada di keadaan stabil. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putrianti (2007) mengungkapkan bahwa peran ganda yang dilaksanakan perempuan akan berjalan lebih optimal jika mendapatkan dukungan dari suami. Dukungan suami yang diberikan dapat berupa pemberian kesempatan, dukungan emosional dan dukungan lainnya.

Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lee, dkk (2018) yang mencari hubungan antara partisipasi suami dalam pekerjaan rumah tangga dengan tingkat pemikiran bunuh diri bagi Perempuan yang berperan ganda di Korea. Berdasarkan hasil penelitiannya, dijelaskan bahwa perempuan yang memiliki kecenderungan pemikiran untuk melakukan bunuh diri merupakan perempuan yang merasa kurang puas dengan partisipasi suami dalam pembagian pekerjaan rumah tangga mereka. Hal ini menjadi pemicu tingkat stress yang tinggi dan menganggap bunuh diri merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan stress yang mereka alami tersebut.

Salah satu strategi yang bisa dilakukan dalam meningkatkan kesetaraan peran rumah tangga adalah Work-Family Balance (Fadhila & Hairina, 2018). Kedua belah pihak harus siap memberikan dukungan moral dan emosional satu sama lain dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Kehadiran dan penyusunan prioritas keluarga dapat membantu perempuan lebih aware dengan keadaan diri dan keluarganya. Komitmen di awal pernikahan untuk saling mendukung akan menciptakan ikatan emosional yang kuat, memperkuat fondasi rumah tangga.

Berdasarkan dengan paparan yang telah dijelaskan penting untuk dicatat bahwa kesetaraan peran rumah tangga bukanlah konsep yang bersifat statis. Seiring berjalannya waktu, peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan dinamika keluarga. Meskipun begitu, kesetaraan peran dalam kehidupan rumah tangga telah menjadi hal yang krusial untuk dipersiapkan oleh pasangan. Oleh karena itu, komunikasi terbuka dan jujur antara pasangan sangat diperlukan agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut.

Kesetaraan peran rumah tangga adalah investasi jangka panjang dalam keharmonisan dan kesejahteraan keluarga. Keluarga perlu mengusahakan pembagian tugas yang adil, pemberian kesempatan dalam mengutarakan pemikiran, dan hal-hal lainnya yang menjadi pertimbangan di dalam sebuah keluarga. Setiap anggota keluarga juga perlu lebih sadar akan pentingnya pemberian dukungan emosional satu sama lain untuk masing-masing anggota keluarga.

Melalui kesetaraan ini, setiap anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal karena mampu meraih potensial yang mereka miliki tanpa merasa terpaksa dengan beban peran yang mereka miliki. Kesetaraan peran membantu keluarga menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi dan hubungan yang kokoh antara pasangan. Dengan demikian, kesetaraan peran rumah tangga bukan membantu mengatasi permasalahan double burden, tetapi juga meningkatkan tingkat kesejahteraan keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun