Salah satu suggestion dalam kolom pencarian Google saat menulis Grammar Police adalah "Grammar Police are annoying".Â
Apakah memang benar bahwa mereka ini "annoying"?Â
Grammar Police atau istilah lain seperti Grammar Nazi adalah semacam kelompok individu atau individu yang memiliki dorongan untuk mengoreksi tata bahasa orang lain, secara kompulsif, dan sering kali di depan umum. Kesannya, membuat diri mereka merasa lebih unggul dalam tata bahasa serta merendahkan orang lain.Â
Ya, Grammar Police sangat mudah ditemukan pada platform media sosial. Banyaknya masyarakat terutama anak muda saat ini yang mencoba menyampaikan pendapat atau sekedar menulis caption dalam bahasa Inggris perlu diapresiasi. Bertolakbelakang dengan hal tersebut, banyak juga yang bertindak menjadi Grammar Police atau Grammar Nazi yang mengoreksi tata bahasa secara terang-terangan di publik seperti di kolom komentar. Beberapa diantaranya tidak memberikan saran, hanya menyalahkan bahkan mengolok-olok.Â
Bagi pebelajar, kondisi-kondisi tersebut sudah diprediksi dari awal sehingga harusnya sudah dapat diantisipasi. Namun beberapa diantaranya tidak setuju dengan perilaku kelompok ini, beberapa diantaranya menjadi "baper" atau bahkan tidak termotivasi lagi belajar bahasa asing. Ya, kondisi inilah yang menjadi banyak fenomena di media sosial, dimana banyak orang yang lebih memperhatikan tata bahasa dibandingkan informasi yang disampaikan.
Salah satu hasil penelitian yang dipublikasikan dengan judul  EFL Learners' Perception of Grammar Nazis Practice on Social Media Twitter melakukan kajian ini di Indonesia.Â
Hasilnya, kajian ini mengelompokkan dua dampak dari keberadaan Grammar Nazi di sosial media. Dampak positifnya bagi pebelajar, feedback yang diberikan dapat menjadi motivasi dan tempat belajar. Tidak sedikit kelompok Grammar Nazi yang membagikan pengetahuan dan informasi disamping hanya berkomentar untuk menyampaikan kesalahan yang ditemukan.Â
Sedangkan dampak negatifnya, banyak pebelajar yang tidak termotivasi (demotivasi) untuk belajar bahasa Asing karena feedback diberikan secara terang-terangan di depan publik. Kesannya pebelajar merasa "dibully" atau merasa diintimidasi dari feedback yang diberikan. Selain itu, perilaku Grammar Nazi cenderung agresif. Cara mereka memberikan komentar cenderung menggurui atau menggunakan kata yang tidak baik seperti "ridiculous", "moron", "stupid" atau istilah lainnya.Â
Lalu apakah fenomena ini hanya ada di Indonesia saja? Tentunya tidak. Mari kita lihat hasil penelitian lain. Kali ini publikasi dengan judul "If You’re House Is Still Available, Send Me an Email: Personality Influences Reactions to Written Errors in Email Messages" yang diterbitkan pada Jurnal PloS One pada 2016. Penelitian ini memberikan email dengan kesalahan tata bahasa dan pengetikan kepada responden yang beragam, untuk melihat responnya.Â
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 81% responden menyadari adanya kesalahan pada email yang mereka terima. Lebih lanjut, apakah mereka terganggu dengan error yang ada berada pada rentang skor 2.85 (1 = tidak terganggu). Penelitian ini mengungkap bahwa perilaku seseorang dalam menanggapi kesalahan dalam teks dapat dipengaruhi oleh kepribadiannya seperti kepercayaan diri, empati dan orientasi tugas.Â
Orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi dan empati yang rendah cenderung lebih toleran. Sedangkan, orang yang memiliki orientasi tugas yang tinggi cenderung tidak toleran terhadap kesalahan. Khususnya, orang-orang yang terganggu atau 'kesal' dengan kesalahan-kesalahan tersebut cenderung memiliki kepbripadian yang kurang menyenangkan.Â