Mohon tunggu...
Fadhli Harahab
Fadhli Harahab Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan

Tertarik di bidang sospol, agama dan kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendadak HIP, Mendadak PIP

5 Juli 2020   02:00 Diperbarui: 6 Juli 2020   11:03 1004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik RUU HIP yang menghangatkan kondisi politik nasional belakangan ini tak lepas dari "kesan" dadakan. Dadakan atau mendadak yang dimaksud bukan hanya soal materi RUU, seperti naskah akademik, konsideran atau bab dan pasalnya, tetapi juga soal waktu dan kondisi munculnya RUU. 

Pertimbangan waktu, terkait dengan masih terpolarisasinya masyarakat pasca pemilihan umum lalu, islam politik tengah dalam posisi solid setelah ditempa dengan berbagai rangkaian peristiwa. 

Lalu ada pertimbangan kondisi yaitu pandemi virus korona yang melanda tanah air. Bisa dikatakan bahwa saat-saat ini kurang pas membahas soal berat seperti RUU HIP.

Sehingga, wajar jika RUU yang meskipun diusulkan oleh DPR RI menuai reaksi keras banyak elemen masyarakat. Untungnya, RUU bukan diusulkan pemerintah. Tak terbayang kalau yang mengusulkan pemerintah dalam hal ini Presiden. 

RUU HIP yang diakui sudah melewati tahapan legal di DPR ternyata masih banyak menemui kendala, multitafsir di khalayak umum. Seperti tidak tercantumnya TAP MPRS soal larangan PKI dan materi pasal 7 yang belakangan sangat disorot. 

Dari sejumlah inventarisir masalah itu, masyarakat tentu akan berpikir bahwa RUU ini punya maksud tertentu untuk meloloskan paham tertentu tak terkecuali soal ideologi komunisme. "Untung terpublikasi, kalau tidak? Lolos itu barang," kira-kira begitu kata mereka yang kontra RUU.

Alhasil, meski telah diklarifikasi, dicabut pasalnya bahkan berubah nama menjadi PIP,  RUU yang kadung bermasalah masih ditentang dan ditolak. Ibarat produk rejeck yang berganti nama, tentu saja perlu waktu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadapnya. 

Shutterstock
Shutterstock
UU PIP Penting. Sudah Mendesakkah? 

Kemunculan RUU HIP- RUU PIP tentu saja tidak sekonyong-konyong hadir di kepala bapak/ibu dewan di parlemen. Menurut hemat saya, lemahnya infiltrasi pemahaman pancasila di masyarakat pasca reformasi, ditambah rong-rongan sejumlah ideologi asing terhadap pancasila menjadi alasan kenapa RUU ini muncul di Prolegnas 2020.

Pertanyaannya, sudah segenting dan semendesak apakah sehingga RUU ini harus segera diundangkan? Apakah tidak bisa dicancel atau dicabut sembari menyempurnakan Draff RUU nya dulu. Atau dialihfokuskan ke penanganan pandemi. 

Langkah pemerintah menunda pembahasan RUU dirasa tepat untuk saat ini. Dan alangkah baik jika langkah itu diikuti legislatif. Jangan sampai muncul ungkapan, pemerintah fokus pandemi, bersatu lawan pandemi, legislatifnya memecahbelah.  

RUU PIP memang penting, jika kita memiliki pemahaman dan rasa kebatinan yang sama. Melindungi Pancasila dari rong-rongan ideologi asing semacam komunisme, radikalisme agama, kapitalisme, liberalisme hingga paham yang bertentangan dengan pancasila perlu mendapat perhatian khusus. Tetapi bukan berarti harus memaksakan kehendak sepihak.

Bukankah selama ini kita berdiri di bawah landasan negara yang sama, yaitu Pancasila yang disepakati bersama? Kenapa heboh saat RUU ini mengemuka? Tentu, harus ada yang dikoreksi bersama pula. 

Setidaknya data inventarisir masalah itu menjadi bukti bahwa ada persoalan yang harus didiskusikan bersama. Tidak perlu dengan aksi bakar-bakaran, anarkis, dan fitnah-memfitnah. Toh, sama-sama ingin pancasila kokoh sebagai dasar dan ideologi negara. Diskusi sambil meneguk secangkir kopi itu akan lebih baik. 

Pengamalan Nilai-nilai Pancasila Tak Kalah Penting

Implementasi nilai luhur pancasila dinilai meredup pasca reformasi bergulir. Kebebasan yang tanpa batas (bablas)  menjadi alibi seseorang untuk melakukan apapun. Mengatasnamakan kebebasan, setiap individu seakan berhak untuk memenuhi kesenangan pribadinya. 

Nilai luhur pancasila sebagai way of life, pandangan hidup, seakan tergerus oleh arus besar tersebut. Setiap pribadi atau kelompok berhak hidup dan mengatur kehidupannya sendiri tanpa harus berpedoman pada nilai-nilai pancasila. Akibatnya, lahirlah generasi yang individualis, intoleran, liberal, atau bahkan pesimis. 

Nilai-nilai luhur pancasila seperti mengendap dalam sila-silanya, mati dalam keidealannya, dan hanya menjadi simbol usang yang tidak berarti. Tentunya ini bukan isapan jempol belaka, banyak kasus yang bisa disebut sebagai malpraktik dari pengamalan pancasila itu. 

Kasus intoleransi umat beragama terus terjadi, diskriminasi suku dan etnis masih ditemui, kapitalisasi pendidikan, ekonomi dan kesehatan, politik uang dan korupsi, dan masih banyak yang lainnya. 

Oleh sebab itu, melalui RUU PIP inilah dirasa sangat penting untuk kembali menguatkan implementasi moral pancasila kepada segenap bangsa indonesia, khusunya para pejabat negara. Kenapa pejabat negara? karena merekalah figur yang harus memberi contoh bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun