Sehari tadi stuck dengan dua kata di atas. Dua kata yang hamper mirip (hanya beda satu huruf ‘a’ di tengah kata) justru membuat dua kata ini menjadi unik ketika dipertemukan. Ketika dibolak-balik justru memberikan makna yang semakin menarik. Ambil contoh perkataan yang banyak dikenal “bisa karena biasa.” Bagi saya juga berlaku sebaliknya, “biasa karena bisa.” Atau kalau mau lebih dibolak-balik, “Yang bisa tentu tidak biasa,” dan “Yang biasa, ah tentu kita bisa..”
Silakan Anda memvariasikan lebih lanjut pertemuan dua kata tersebut, di sini saya hanya akan berfokus pada kata yang banyak kita dengar “bisa karena biasa.”
Seperti yang saya ungkapkan, bahwa “bisa karena biasa,” juga berlaku sebaliknya “Biasa karena bisa.” Hal ini berlaku di berbagai konteks.
Kata-kata “bisa karena biasa” seringkali diungkapkan ketika seseorang ingin menunjukkan sebuah kebiasaan positif. Contoh kecil, seringkali kita mengakui bahwa orang yang bisa bangun pagi adalah orang yang memang biasa melakukannya. Dalam sebuah kompetisi olahraga, contoh lainnya, kita juga seringkali harus mengakui ketika seseorang mampu menjadi juara dalam sebuah kompetisi karena sang juara biasa melakukan latihan. Hal ini juga berlaku dalam konteks akademis, misalnya saja, salah satu jurus terbaik untuk bisa mendapatkan nilai tinggi dalam test TOEFL adalah dengan biasa mengerjakan soal-soal TOEFL yang ada. Dan masih banyak contoh-contoh lain dalam kehidupan keseharian kita.
Sekarang, bagaimana dengan “biasa karena bisa”? Menurut saya juga berlaku dalam banyak hal, contoh real yang kita banyak kenal, sosok unik (alm.) Bob Sadino yang biasa menggunakan celana pendek kemana-mana bahkan dalam event-event ‘penting,’ bagaimana mungkin dia biasa melakukan hal tersebut? Jawabannya tidak lain karena dia bisa melakukannya. Yang lebih penting kemudian adalah, bagaimana dia bisa melakukan kebiasaan tersebut. Kaidahnya adalah, kebiasaan adalah buah dari kebisaan. Hal ini semakin jelas ketika kita mengambil contoh dari berbagai akademisi terkenal . Saya pribadi sering kagum ketika melihat seorang scholar yang biasa terbang ke berbagai Negara memberikan berbagai perkuliahan. Bagaimana mungkin dia biasa melakukan tersebut? Jawabannya tentu karena dia bisa. Dia bisa menjadi tidak biasa. Kaidahnya adalah, menjadi bisa untuk tidak biasa adalah buah dari kebiasaan yang tidak biasa.
Menjadi lebih menarik ketika ‘bisa dan biasa, dan sebaliknya’ ini diaplikasikan ke konteks budaya. Ambil contoh, budaya berpakaian. Perbedaan budaya orang Timur dan Barat dalam hal ini sangat kontras saya rasakan. Di Indonesia, yang nota bene menganut budaya Timur, kita masih terbiasa mengukur kesopanan tolak berpakian dengan parameter ‘aurat.’ Walaupun konsep aurat sendiri bukan lahir di Indonesia, tapi ia menjadi konsep yang berlaku universal dalam hal ini. Hal ini tentu berbeda dengan di Amerika, dan Barat secara umum. Sepertinya, patokan berpakaian di Amerika adalah musim. Musim dingin tentu tertutup, ketika musim panas, (tentu) harus disesuaikan. Jangan Tanya tentang ‘aurat,’ karena konsep itu dikenal di sini. Para penjual pakaian dalam hal ini juga berlomba mengganti stok pakaian ketika musim berubah.
Kembali ke ‘bisa dan biasa, dan sebaliknya,’ kita orang Indonesia bisa memegang konsep aurat sebagai parameter kesopanan berpakaian karena kita biasa menerapkannya. Begitu juga, kita terbiasa menggunakan pakaian yang lebih tertutup karena kita bisa melakukannya. Adalah kebiasaan kita untuk bisa berpakaian rapih (baca: tertutup) di tempat-tempat terbuka. Dan jangan kaget ketika orang Amerika bisa dengan santai berpakaian ‘lebih tidak tertutup‘ di tempat-tempat terbuka, karena mereka memang biasa seperti itu. Juga, mereka biasa seperti itu karena memang budaya di Negeri tersebut membuat mereka bisa melakukan hal tersebut.
Kaidah selanjutnya, ‘Bisa dan biasa, dan sebaliknya’ ini menjadi tidak berlaku ketika salah satu tidak dapat berfungsi. Ketika kita tidak bisa, maka kita tidak akan biasa. Begitu juga, kita tidak akan terbiasa kalau kita tidak bisa. Dan, banyak hal yang membuat salah satunya tidak berfungsi. Tergantung dari perspektif mana kita memandang. Jika kita menggunakan perspektif agama, tentu doktrin-doktrin agama sangat mempengaruhi pola ‘bisa dan biasa’ ini.
Konsep ‘bisa dan biasa, dan sebaliknya’ ini menjadi sangat menarik ketika diaplikasikan dalam kajian teologi keagamaan. Juga akan menarik jika diaplikasikan dalam berbagai kasus yang ada di Negeri Indonesia kita, dari kasus korupsi, surat cinta Jaya, hingga penutupan situs keislaman. Sementara, ini dulu.
https://rahmanthougts.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H