Mohon tunggu...
Fazlul Rahman
Fazlul Rahman Mohon Tunggu... -

progressive and moderate moslem

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Agama dan/Adalah Media

21 Februari 2015   20:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia yang penuh dengan mediatisasi (mediatized world), satu-satunya cara agar manusia mampu bertahan adalah dengan menjadi media itu sendiri (being media) (Deuze, 2012). Begitu juga, tidak ada jalan lain bagi agama untuk bisa survive selain menjadi media itu sendiri. Hal ini sesungguhnya bukan hal yang baru, karena pada dasarnya agama adalah media itu sendiri.

Ketika Allah “berniat” menciptakan makhluk yang bernama manusia dan menjadikannya wakilNya di bumi, para malaikat ‘protes’ atau lebih tepatnya mengutarakan kekhawatiran mereka akan kehancuran yang akan dilakukan oleh manusia. Teteapi kemudian Allah meyakinkan dengan mengatakan “Aku Maha Tau apa yang kalian tidak ketahui.” Firman Allah ini kemudian menjadi jaminan awal bahwa Ia tidak hanya Maha Pencipta tapi juga Maha Penjaga dan Maha Pengatur, yang berarti Ia tidak akan ‘menciptakan sesuatu dengan sia-sia’ karena Ia tidak pernah lelah mengatur dan memanage ciptaan-Nya. Hal ini dibuktikan Allah dengan menanamkan dan mengaktifkan  “chip ketauhidan” (yang dalam al-Quran disebut sebagai “mitsaq”) pada diri setiap makhlukNya untuk membimbing mereka nanti.

Setelah diciptakannya manusia pertama dan kemudian turun ke bumi, Sang Maha Pengatur kemudian membekalinya dengan segala ‘perlengkapan survival.’Dari mulai pengetahuan terkecil (seperti nama-nama apa yang ada dibumi), fitrah, akal, insting, dan berbagai hal lain dalam satu paket lengkap yang bernama “agama”. Seiring dengan perjalanan peradaban manusia, satu per satu paket perlengkapan survival tadi mulai ‘diterjemahkan’ untuk dapat digunakan sesuai dengan fungsi dan tujuannya.  Dalam hal ini, tentu Allah tidak membiarkan manusia untuk ‘asal menerjemahkan,’ melalui perantara para malaikat dan para Rosul-Nya, Allah membimbing manusia bagaimana menggunakan segala perlengkapan survival tadi dengan baik dan benar di dunia ini sampai nanti mereka kembali lagi ke Pencipta mereka.

Perbedan level zat  dan dimensi antara Allah dan makhlukNya meniscayakan adanya media yang memediasikan keduanya agar tetap terkoneksi. Media ini adalah agama. Agama dengan segala konsep yang mendefinisikannya, pada substansinya merupakan media penghubung antara makhluk dan Tuhan mereka.

Pada tataran teologis, agama (yang berwujud doktrin-doktrin keTuhanan) membutuhkan media untuk bisa sampai kepada dan dimengerti oleh manusia. Disinilah peran para malaikat sebagai mediator yang memediasikan  wahyu-wahyu Allah kepada para Nabi untuk kemudian disampaikan kepada seluruh bangsa manusia melalui berbagai media (dari lisan hingga tulisan, dari sabda hingga format-format aplikasi digital).

Dalam konteks peradaban manusia saat ini dimana media menjadi hal ‘gaib’ (invisible) sekaligus ada di mana-mana (ubiquitous), sulit dibayangkan melepaskan diri dari media. Media dalam konteks ini mencakup hal-hal yang terlihat jelas seprti handphone, layar televisi, dan yang tidak terlihat seperti berbagai transaksi yang dilakukan dalam jaringan Internet.  Hal ini berlaku juga bagi agama. Agama tidak bisa lepas dari media. Bahkan, visibilitas agama di media memberikan ‘power’ tersendiri bagi agama (Luis Mauro Sa Martino, 2013). Dan pada akhirnya, sebagaimana diungkapan di awal tulisan ini, menjadi media merupakan jalan satu-satunya bagi agama untuk bisa survive saat ini.

Menjadi media bagi agama berarti mengembalikan agama kepada "fitrah" aslinya yaitu menjadi media itu sendiri. Dalam tataran praktek, hal ini berarti mengejawantahkan ajaran-ajaran Islam dalam setiap ruang-ruang media. hanya dengan begitu, agama tidak punah, mampu bertahan di tengah perubahan zaman.

https://rahmanthougts.wordpress.com/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun