Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho
Fadhil Nugroho Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tukang photo, tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak Masa Kini dan Kisah Anak Onta

13 Agustus 2010   03:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:05 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa dari kita pasti pernah membaca kisah yang berisi dialog antara seekor anak onta dengan induknya berikut ini:

“Ma, kenapa di atas tubuhku terdapat punuk yang menonjol?”

“Tuhan sudah memperhitungkan segalanya anakku, punuk di tubuh kita -bangsa onta-berisi cadangan makanan dalam bentuk lemak. Dengan cadangan makanan yang cukup, kita kuat berjalan berhari-hari menyeberangi samudera padang pasir berikut barang bawaan dan tuan yang menunggangi kita. Dengan punuk ini, kita mampu bertahan hidup hingga tiga minggu tanpa air, bahkan hingga kita kehilangan 33% bobot badan. Untuk kamu ketahui anakku, pada keadaan yang sama, manusia akan kehilangan 8% berat tubuhnya dan mati dalam waktu 36 jam, tanpa sedikit pun air tersisa dalam tubuhnya.”

Si anak onta terdiam mencoba mencerap dan memahami apa yang dikatakan ibunya barusan. Sesaat kemudian dia mengajukan satu pertanyaan kembali.

“Ma, kenapa bulu mataku, juga bulu mata mama begitu lentik dan saling bertautan?”

“Anakku, bulu mata yang lentik ini merupakan bagian dari rencana Tuhan. Jalan yang kita lalui berupa pasir yang panas dan kerap kali diterbangkan angin menerpa tubuh dan wajah kita. Dengan bulu mata yang lentik dan saling bertaut, kita tetap dapat terus berjalan walaupun ribuan butir pasir menabrak wajah kita. Jangan lupa, hidung dan telinga kita juga tertutupi oleh rambut-rambut panjang untuk melindungi dari pasir dan debu”.

Si anak onta kembali terdiam. Sementara si ibu tersenyum di kulum mengantisipasi kemungkinan pertanyaan lain yang bisa jadi belum pernah dia pikirkan sebelumnya. Dan benar saja, sejurus kemudian kembali anaknya mengajukan pertanyaan.

“Ma, kenapa kakiku berbentuk tunggal berlapis kuku?”

Sambil tersenyum sang ibu menjawab.

“Anakku, jalan yang kita lalui sebagian besar adalah padang pasir. Dan kamu tahu, pasir kerap amblas jika diinjak, dengan bentuk buku jari yang saling bersambungan dan terbungkus kuku, ini akan mempermudah kita berjalan di segala area dan melindungi kaki kita saat tersandung batu dan benda keras lainnya.

Tahukah kamu nak, Seluruh lutut kita tertutupi oleh risa (lapisan kulit tebal), yang sekeras tanduk. Ini sangat berguna saat kita berbaring di atas permukaan pasir panas, karena lapisan kulit tebal ini akan melindungi dari luka akibat permukaan tanah yang sangat panas.

Tuhan mencipatkan kita untuk dapat bertahan hidup hingga 8 hari pada suhu 50 derajat C tanpa makan dan minum. Ketika menemukan sumber air, kita mampu meminum air sebanyak sepertiga berat badan kita dalam waktu 10 menit. Ini berarti 130 liter dalam sekali minum. Air ini ayang nantinya disimpan dalam bentuk lemak pada punuk.

Kebanyakan makanan di gurun pasir adalah kering dan berduri. Namun pencernaan kita telah diciptakan sesuai dengan kondisi yang sulit ini. Gigi dan mulut telah dirancang untuk memungkinkan memakan duri tajam dengan mudah. Perut juga memiliki desain khusus tersendiri sehingga cukup kuat untuk mencerna hampir semua tumbuhan gurun pasir.”

Anak onta itu terlihat masih belum puas dengan jawaban panjang lebar yang disampaikan ibunya. Sementara sang ibu berfikir keras apalagi sekiranya yang dapat dia jelaskan untuk anak semata wayangnya ini. Hingga tiba-tiba si anak kembali bertanya.

“Dengan anatomi tubuh yang sudah ibu ceritakan tadi, sepertinya kita lebih pantas hidup dan tinggal di gurun pasir ya ma? Lantas kenapa kita tinggal di tempat sempit ini, tanpa pasir dan terik, dan hanya jadi tontonan orang-orang yang berkunjung ke sini?”

Si ibu terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Dia juga sudah lupa bagaimana prosesnya hingga dia bisa berada di kebun binatang ini.

***

Tak jauh berbeda dengan anak onta tersebut, di rumah, banyak juga orang tua ayang memperlakukan anak-anak dengan cara yang kerap kali tidak sesuai dengan ‘alam dan masanya’.

Anak yang normal adalah anak yang menjalani semua ‘masa’ mulai dari menangis sesaat setelah dilahirkan, menyusu di tetek ibunya, merangkak, duduk, berjalan tertatih dan akhirnya mampu berlari.

Bagi anak laki-laki, mereka kemudian akan berlarian berkejaran dengan teman sebaya, bermain bola, mandi di sungai, main hujan, main layangan, adu ikan cupang, main mobil-mobilan dan segudang aktifitas fisik lainnya.

Bagi anak perempuan mereka mungkin akan bermain pasar-pasaran, main boneka, main air, dsb.

Memasuki masa remaja mereka mulai merasakan kesukaan pada lawan jenis, membaca novel-novel remaja, mulai berdandan, menata kamar sendiri dan seterusnya.

Tapi di masa kini, tak jarang orang tua merebut semua itu. Sedari kecil anak dipaksa mengikuti aneka kegiatan, mulai dari aneka kursus seperti bahasa inggris, musik, berenang, les matematika, dan seabrek-abrek kegiatan yang membuat sesak nafas dan tidak memberikan kesempatan padanya untuk bermain. Orang tua menganggap bahwa les musik dan berenang tokh sudah sama nilainya dengn bermain.

Banyak pula orang tua yang mengikutkan anaknya di acara casting yang diselenggarakan oleh stasiun TV, dengan harapan kelak dapat menjadi bintang dan menghasilkan uang yang banyak. Dalam kasus ini anak seperti dieksploitasi. Orang tua juga melarang anaknya bermain panas-panasan seperti adu layangan dan mengejar layangan putus karena khawatir kulitnya menjadi hitam (khawatir tidak lolos casting).

Setiap hari anak-anak dijejali pe-er yang berjibun yang bahkan orang tuanyapun tidak mengerti cara menjawabnya sehingga terpaksa mengundang guru privat ke rumah. Kesempatan anak untuk bermain sekarang hanya di depan TV atau bermain game di internet dan bersosialisasi lewat face book, sebuah dunia pergaulan yang tanpa sentuhan, emosi dan intonasi.

Kebanyakan anak masa kini adalah anak yang tidak melalui alam yang seharusnya dia jalani. Mereka seperti anak onta yang seharusnya tinggal di gurun, berlarian, merasakan terik panas dan hembusan pasir namun dipaksa tinggal di sebuah kebun yang sejuk, tanpa pasir, tak cukup ruang untuk berlarian apalagi untuk berjalan berhari-hari.

Saya bukanlah seorang ahli pendidik anak sehingga sulit bagi saya membayangkan seperti apakah kelak menjadidewasa dengan cara tumbuh seperti itu. Tapi jika menggunakan analogi anak onta sebagaimana cerita di atas, saya membayangkan anak onta itu akan menjadi terbiasa dengan alamnya yang sejuk, membuatnya lebih suka bersantai dan kelak jika sudah terlatih melakukan atraksi akan merasa bangga menjadi pusat perhatian dan sedih jika tidak ditonton oleh pengunjung. Mereka juga akan sedikit lemah karena seumur hidupnya tidak pernah berjalan jauh berhari-hari dengan perut kosong melintasi gurun pasir.

Jangan-jangan perutnya juga sudah tidak bisa kemasukan makanan dari jenis duri dan lentik bulu matanya pun sudah tak bisa lagi menahan butir pasir.

Entahlah.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan?” (QS. Al Ghaasyiyah, 88:17)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun