Memotret Tri Hita Karana
Merujuk pada kutipan sloka Bhagavad Gita di pembuka tulisan ini, I Made Purana dalam tulisannya "Pelaksanaan Tri Hita Karana dalam Kehidupan Umat Hindu" mengemukakan jika yadnyalah yang menjadi dasar hubungan Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk).Â
Lebih lanjut, I Ketut Bantas dalam tulisannya "Menuju "Trihita Karana" menguraikan, alam atau dunia (kamadhuk) digambarkan sebagai sapi perahan. Maknanya adalah susunya boleh diperah, tetapi sapinya harus selalu dirawat. Demikian pula dengan dunia atau alam ini boleh dieksploitasi, tetapi juga harus selalu dirawat dan dilestarikan.
Untuk mewujudkan kelestarian alam inilah, I Ketut Wiana dalam "Menuju Bali Jagadhita: Tri Hita Karana Sehari-Hari" menyebutkan pentingnya sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Ketiga hal tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur yang tercakup dalam Tri Hita Karana, yakni Sanghyang Jagatkarana, Bhuana dan Manusia.
Bali telah menjadi saksi keberhasilan pelaksanaan konsep tersebut. Sejak abad kesebelas, nasihat Mpu Kuturan untuk menata kehidupan di Bali "Manut Linggih Sang Hyang Aji" (menata kehidupan berdasarkan ajaran kitab suci) terbukti dijalankan dengan baik. Kini kita bisa menyaksikannya pada konsepsi Parhyangan, Pawongan dan Palemahan seperti berikut:
Parhyangan atau hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan dalam rangka memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sederhananya, parhyangan berarti tempat suci untuk memuja tuhan.Â
Seperti Kahyangan Jagat untuk parhyangan di tingkat daerah, Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga di tingkat desa adat, dan pemerajan atau sanggah di tingkat keluarga.
Pawongan berarti segala hal yang berkaitan dengan hubungan sosial kemasyarakatan. Ini antara lain diwujudkan dengan krama desa adat dan seluruh umat Hindu di Bali.
Palemahan yang berarti hubungan antara manusia dengan lingkungan atau alam, baik yang bersifat sekala maupun niskala. Dalam ajaran agama Hindu dapat diwujudkan dengan Bhuta Yadnya (upacara yadnya atau persembahan yang dilaksanakan untuk menjaga keharmonisan Bhuta Hita yang dibangun dari Panca Mahabhuta).
Ketiga konsep tersebut dijaga dengan sangat apik melalui upacara-upacara keagamaan yang berpatokan pada Panca Yadnya. Panca artinya lima dan Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus kepada Ida Sanghyang Widi Wasa. Adapun pelaksanaan Panca Yadnya terdiri dari :
- Dewa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan para dewa-dewa.
- Bhuta Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan unsur-unsur alam.
- Manusa Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia.
- Pitra Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi manusia yang telah meninggal.
- Rsi Yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan para orang suci umat Hindu.
Bhuta Yadnya, Penghargaan untuk Semesta