Presiden Joko Widodo akhirnya mantap mengumumkan perpindahan ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur. Ada dua wilayah yang dipilih sebagai ibu kota baru, yaitu Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Konon, 1,5 juta penduduk akan menempati area seluas 300.000 hektare ini.
Keputusan ini lantas mengundang pro kontra sejumlah kalangan. Meski demikian, Presiden menyebut jika rencana pemindahan ibu kota telah melewati sejumlah studi yang mendalam. Dilansir dari Kompas.com, setidaknya ada empat alasan mengapa ibu kota negara perlu dipindah ke luar Jawa.
Pertama, lebih dari separuh masyarakat Indonesia (56,56 persen) terkonsentrasi di Pulau Jawa. Rasio ini tidak sepadan dengan pulau lain --minus Sumatera- yang rata-rata berpenduduk kurang dari  10 persen.
Kedua, perlunya kontribusi ekonomi dari daerah luar Jawa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia atau Produk Domestik Bruto (PDB). Ketiga, makin menipisnya ketersediaan air bersih di Jawa, dan keempat, konversi lahan di Jawa yang begitu mendominasi ketimbang pulau-pulau lainnya.
Kondisi ini masih ditambah lagi dengan padatnya ibu kota plus kondisi udara yang makin tidak sehat. Seperti yang disebutkan dalam Laporan Oxford Economics berjudul "Global Cities 2018" bahwa pada 2035, Jakarta akan menjadi kota dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yakni 38 juta jiwa. Kepadatan penduduk di Jakarta diprediksi bakal melampaui ibu kota negara lainnya di Asia.
Di satu sisi, perpindahan ibu kota dipandang sebagai sebuah langkah yang sia-sia. Muncul anggapan jika perpindahan ibu kota negara melegitimasi kegagalan pemerintah dalam membereskan persoalan-persoalan di dalamnya.
Terlebih pada situasi ekonomi seperti sekarang, anggaran untuk mensejahterakan negara dinilai lebih penting ketimbang memikirkan biaya yang musti dihitung untuk "bedol desa". Namun di sisi lain, perpindahan ibu kota negara atau pusat pemerintahan ke daerah yang lain sebenarnya sudah dilakukan jauh sebelum republik ini berdiri.
Adalah Kerajaan Mataram Islam yang pernah memindahkan pusat pemerintahannya dari Kartasura ke Surakarta. Peristiwa ini terjadi pada 17 Muharram 1670 atau tahun 1745 Masehi.
Perpindahan tersebut sebenarnya dilatarbelakangi oleh kepercayaan yang turun temurun pada masa Jawa Kuna, bahwa keraton yang pernah jatuh ke tangan musuh dianggap sudah rusak, tidak murni dan kehilangan kesakralannya sehingga sudah tidak bagus untuk dipergunakan lagi.
Patokan ini pernah digunakan saat pusat pemerintahan keraton Mataram Kuna dipindahkan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Saat itu berlangsung krisis politik antara tahun 927-929 Masehi yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan antarpangeran di bawah pemerintahan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Baliltung Dharmodaya Mahasambu.