Mohon tunggu...
Fadhil Nugroho Adi
Fadhil Nugroho Adi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Paruh Waktu

Pembelajar, penyampai gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencintai Indonesia di Batas Senja

17 Agustus 2017   17:01 Diperbarui: 17 Agustus 2017   17:22 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: koleksitempodoeloe.blogspot.com

Indonesia kembali merayakan hari lahirnya. Tahun ini, genap sudah Indonesia memasuki usia 72. Bila diibaratkan dengan manusia, maka Indonesia sudah masuk tahapan lansia alias lanjut usia.

Bagi seorang lansia, tentu ia sudah mengenyam banyak asam garam kehidupan. Ada yang manis, ada yang pahit. Ada yang menyenangkan, ada pula yang mengecewakan atau menjengkelkan. Demikian halnya dengan negeri ini. Perjalanan Indonesia menjadi sebuah negara besar, tidak sekadar dilihat dari 17 Agustus 1945. Ada perjalanan panjang yang harus dicermati dari tahun-tahun bahkan abad-abad sebelumnya.

Dulu sekali, saat dunia masih terbagi dalam kerajaan-kerajaan, nama Indonesia belum pernah terdengar. Orang kebanyakan lebih akrab menyebutnya dengan Suvarnadwipa atau Jawadwipa. Atau juga diidentikkan dengan letak kerajaan yang secara administratif masuk dalam wilayah Indonesia. Contohnya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan, Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, atau Kerajaan Ho-Ling (Kalingga) di Jawa Tengah.

Meski gugusan-gugusan wilayah itu belum terhimpun dalam bingkai Indonesia, namun nyatanya, alam Indonesia yang memikat itu mampu menarik pedagang dari berbagai penjuru dunia untuk berkunjung. Tak heran jika negeri ini disebut sebagai melting pot atau tempat peleburan. Sebab, setiap ada pedagang mancanegara datang ke Nusantara, maka setiap itu pula selalu terjadi akulturasi dengan budaya setempat. Seperti antara pedagang Tiongkok dengan Jawa, yang melahirkan jung-jung hibrida Cina-Jawa, atau antara India-pribumi yang melahirkan budaya khas seperti bubur India.

Ada juga bahasa Petjoek, Melayu Pasar, dan bahasa-bahasa serapan lain yang didapat akibat akulturasi antara budaya setempat dengan budaya pendatang. Perubahan kultur cukup kentara saat bangsa Belanda melakukan ekspansi ke Indonesia. Mereka mulai memperkenalkan pakaian jas juga rok ke penduduk pribumi. Lucunya, mereka juga mengenakan pakaian khas pribumi seperti kebaya dan sarung. Model kebaya encim contohnya, masih eksis menghiasi rumah mode-rumah mode sampai hari ini.

Pada masa kolonial itulah Indonesia dikenal dengan Hindia Belanda atau Nederlandsch Indie. Douwes Dekker yang menyamar sebagai Multatuli pernah menggunakan nama latin Insulinde (Kepulauan Hindia) untuk menyebut Indonesia. Nama ini kurang populer, sampai kemudian Indonesia diduduki oleh Jepang dan jamak disebut sebagai Hindia Timur.

Keberadaan Belanda di bumi pertiwi banyak menoreh peristiwa-peristiwa penting. Pendirian VOC, cultuur stelsel, pembangunan jalan raya pos yang diinisasi Daendels, sampai lahirnya Etische Richting (Politik Etis atau Politik Balas Budi), adalah beberapa tonggak pengingat pemerintahan kolonial Belanda yang pernah dicap di Indonesia. Yang menarik, politik etis yang mengusung irigasi, imigrasi dan edukasi, di kemudian hari menjadi bumerang bagi pencetusnya sendiri. Meski bukan satu-satunya faktor pendorong, namun dari sanalah muncul kesadaran para pemuda pribumi akan kebangkitan nasional.

Jika sebelum abad 20 peristiwa perlawanan terhadap Belanda banyak menghabiskan energi lewat baku fisik, maka awal abad 20, perlawanan lebih mempergunakan intelektualitas. Maka lahir kemudian organisasi-organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarikat Islam, sampai Indische Partij, Perhimpunan Indonesia, yang kesemuanya lahir untuk mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Dari sini pula Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) mulai mempopulerkan nama "Indonesia" lewat biro pers yang didirikannya, dengan nama Indonesische Persbureau.

Yang tak boleh dilupa, kesadaran pentingnya merawat nasionalisme juga lahir dari kesenian. Pemuda-pemuda di Yogyakarta pernah mendesak agar diizinkan belajar kesenian yang selama ini hanya boleh dilakukan kalangan keraton. Kridha Beksa Wirama yang didirikan di Yogyakarta pada 17 Agustus 1918 menjadi tonggak demokratisasi seni keraton yang pertama. Pertama kalinya kesenian keraton diizinkan menyeberang ke luar tembok keraton. Menyusul kemudian pembentukan Volkkunstvereeniging Sobokartti di Semarang pada 9 Desember 1920. Serta peran besar seorang Tionghoa, Go Tik Swan, yang nJawani, membangkitkan gairah seni pada masanya.

Kesadaran nasional juga melahirkan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang dihadiri perwakilan pemuda-pemudi bangsa dari berbagai etnis, untuk meneguhkan bahasa dan bangsa yang satu. Pun dengan lahirnya pergerakan-pergerakan buruh di sejumlah wilayah di Indonesia yang sempat membuat kerepotan pemerintah Hindia Belanda. Seperti Serikat Kaum Buruh Indonesia yang berujung penangkapan sejumlah pemimpinnya, atau Gabungan Serikat-serikat Sekerja Partikelir Indonesia yang harus bekerja ekstra keras mendekati detik-detik pecahnya Perang Dunia kedua.

Belanda akhirnya takluk. Ia harus angkat kaki menyusul serangan bertubi-tubi yang meluluhlantakkan Pearl Harbour, disusul dengan ekspansi besar-besaran Jepang ke Indonesia. Per 8 Maret 1942, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang. "Nippon Pemimpin Asia", "Nippon Pelindung Asia" dan "Nippon Cahaya Asia". Itulah semboyan "Tiga A" yang diserukan ke seluruh pelosok Tanah Air. Jepang meniadakan segala hal yang berbau Belanda. Jepang mengganti istilah-istilah Hindia Belanda dengan Jepang dan Indonesia.

Jepang memulai pendudukannya di Indonesia secara militer. Ia membentuk sejumlah departemen serta penguatan sektor militer melalui pengerahan massa agar menjadi anggota PETA, Seinendan, Keibodan, dan badan-badan lainnya. Jepang membagi Indonesia ke dalam tiga kekuasaan militer, yakni Jawa-Madura yang dikuasi Gunseikanbu Jawa, Sumatera yang dikuasai Gunseikanbu Sumatera, dan wilayah kepulauan lainnya yang dikuasai Komandan Pasukan Angkatan Laut Jepang di Makassar. Pada periode yang sama, Jepang juga memiliki kantor berita utama Domei (cikal bakal Kantor Berita Antara) dan radio siaran "Hoso Kanri Kyoku" dengan berbagai cabangnya yang menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia.

Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang punya trik khusus. Ia banyak berdekatan dengan kaum cerdik cendekiawan. Ia banyak merangkul kaum muda yang menurutnya mampu memuluskan semboyan Asia Raya. Untuk itulah, secara pendidikan, Jepang berusaha menyempurnakan bahasa Indonesia yang tidak berkembang pada masa pemerintahan Belanda. Demi merebut hati rakyat, Jepang membentuk Indonesia Goseibi Iinkai yaitu komisi untuk penyempurnakan bahasa Indonesia.

Tak hanya itu, sederet tokoh nasional juga dikenal dekat dengan Jepang. Ir. Soekarno dan Moh. Hatta, misalnya. Moh. Hatta pernah mengadakan pertemuan dengan pejabat staf tentara ke-16 Jepang di Jawa. Pertemuan ini bukan berarti Hatta berkhianat pada negeri tempatnya dilahirkan. Hatta yang terkenal bijaksana dan tidak sembarangan dalam berkeputusan melakukan hal ini demi kemerdekaan Indonesia. Demikian halnya dengan Ir. Soekarno yang bersedia bekerjasama dengan Jepang. Namun meski terkesan adanya kolaborasi antara Jepang dengan Soekarno dan Hatta, hal ini tidak menjadikan arah perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi rabun dan hilang. Sikap bekerjasama dengan Jepang adalah cara tersendiri bagi Soekarno dan Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Itu sebab, terjadi perbedaan pendapat antara golongan tua dan golongan muda mengenai waktu yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Soekarno dan Hatta yang dikenal sebagai figur penting dari golongan tua memilih menanti tanggal yang diberikan Jepang untuk mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Golongan tua juga terlibat dalam sederet sidang BPUPKI dan PPKI untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang bersamaan, Jepang menelan pil pahit kekalahan negaranya yang lebur oleh bom atom. Hiroshima dan Nagasaki menjadi saksi. Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.

Situasi ini kian mendorong golongan muda untuk lekas-lekas memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. 16 Agustus 1945, dwi tunggal "diculik" ke Rengasdengklok untuk membicarakan persiapan-persiapan kemerdekaan. Pada pertemuan yang berlangsung di rumah Maeda itulah dirumuskan naskah Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta.

Merdeka!

Indonesia mengembuskan pekik kebebasan dari belenggu penjajahan. Merdekanya Indonesia menjadi cambuk negara-negara Asia dan Afrika lainnya untuk sama-sama mewujudkan kemerdekaan. Akan tetapi, walau proklamasi telah dikumandangkan, usaha-usaha untuk menggerogoti kedaulatan negara masih terus berjalan. Sederet pemberontakan mewarnai tahun-tahun awal pascakemerdekaan. Peristiwa Bandung Lautan Api, Pertempuran Lima Hari di Semarang, Pertempuran Surabaya, Palagan Ambarawa, sampai peristiwa-peristiwa tahun-tahun sesudahnya seperti pemberontakan PRRI-Permesta, Partai Komunis Indonesia, hingga perubahan konstitusi yang menguras energi.

Dan waktu membawa kita tiba di detik ini. Detik yang menunjukkan kian senja-nya usia Indonesia. Lagi-lagi kita harus mengibaratkannya dengan manusia. Usia lanjut usia layaknya 72 tahun negara kita merupakan usia ektsra hati-hati. Biasanya, penyakit akan mudah timbul. Gangguan-gangguan fisik dan psikologis mulai muncul. Pikun, tremor, sampai gerah sepuh, biasa diderita oleh kakek atau nenek kita yang sudah berusia rentan seperti ini. Kewajiban kita untuk menjaga agar tetap sehat, tetap terjaga pola makannya, agar dapat beraktivitas seperti biasanya.

Demikian halnya dengan Indonesia. Kian menua, ada saja penyakit yang menghinggapinya. Perpecahan antaranak bangsa kian menjadi-jadi. Emosi selalu jadi nomor satu. Tentu sebagai kaum muda, kita tak ingin negeri ini menjadi hancur karena kita tak bisa merawatnya. Jangan sampai ibu pertiwi terus menangis dan merintih menyaksikan perseteruan yang tak kunjung usai. Masih banyak hal yang harus dipersiapkan demi kemajuan bangsa. Masih banyak hal yang bisa dikerjakan selain saling menyalahkan dan membanggakan ego pribadi.

Indonesia harus dijaga dari disintegrasi. Cara-cara preventif musti dikedepankan untuk membumikan kebhinnekaan di bumi pertiwi. Di usia Indonesia yang makin menua, sesanti Bhinneka Tunggal Ika semestinya sudah bukan lagi cita-cita. Semestinya sudah membumi. Semestinya sudah berpadu, agar bangsa ini tak mudah diadu.

Jika untuk mencintai seseorang kita membutuhkan proses, maka lakukan hal yang sama untuk mencintai negeri ini. Berjalanlah dalam lelikuan proses berdirinya negeri gemah ripah loh jinawi ini, agar kau mampu mencintainya sepenuh hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun