Siapa yang tidak kenal dengan Sutan Syahrir? Seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sutan Sjahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966. Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909, dan meninggal dunia di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966 pada saat berjuang menghadapi penyakit stroke.
Sjahrir merupakan seorang yang pintar dan bandel. Sebagai siswa sekolah menengah, Sjahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah Himpunan Pemuda Nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Sjahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah. Sjahrir melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam. Di sana, Sjahrir mendalami sosialisme. Secara sungguh-sungguh ia berkutat dengan teori-teori sosialisme.
Pada masa pendudukan Jepang, sementara Soekarno dan Hata menjalin kerja sama dengan Jepang, dengan kecerdasannya Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Sjahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang. Oleh karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Benar saja ketika Jepang makin terdesak oleh pasukan Sekutu. Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Sjahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Sjahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang sudah menyera Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan diproklamasikan pada 24 September 1945. Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Sutan Sjahrir pernah mengalami peristiwa penculikan, peristiwa yang terjadi pada 26 Juni 1946 di Surakarta oleh kelompok oposisi Persatuan Perjuangan yang tidak puas atas diplomasi yang dilakukan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir II dengan pemerintah Belanda karena sangat merugikan perjuangan Bangsa Indonesia saat itu. Presiden Soekarno sangat marah atas aksi penculikan ini dan memerintahkan Polisi Surakarta menangkap para pimpinan kelompok tersebut. Tanggal 1 Juli 1946, ke-14 pimpinan berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan.
Setelah kejadian penculikan Sjahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri, tugas sebagai Perdana Menteri diambil alih Presiden Soekarno. Namun, pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Sjahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I, II, dan III memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Sjahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, hal ini berarti secara de facto sekutu mengakui eksistensi pemerintah Republik Indonesia.
Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah tidak lagi menjabat Perdana Menteri (Kabinet Sjahrir III), Sjahrir diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Dengan bantuan Biju Patnaik, Sjahrir bersama Agus Salim berangkat ke Lake Success, New York melalui New Delhi dan Kairo untuk menggalang dukungan India dan Mesir.
Pada 14 Agustus 1947 Sjahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Berhadapan dengan para wakil bangsa-bangsa sedunia, Sjahrir mengurai Indonesia sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi oleh kaum kolonial. Kemudian, secara piawai Sjahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Eelco van Kleffens. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.
Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.
Sjahrir populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Sjahrir sebagai The Smiling Diplomat.
Dari kisah perjuangan Sutan Sjahrir baik di masa pra kemerdekaan ataupun pasca kemerdekaan.Walaupun tidak berjuang menggunakan senjata, tapi ia menggunakan kekuatan intelektualnya dan mengerahkan segala kemampuan untuk mempertahankan eksistensi kemerdekaan Negara Indonesia.
Hal inilah yang patut diteladani oleh generasi penerus bangsa saat ini, karena saat ini perjuangan kita tidak lagi melawan penjajah, tetapi melawan bangsa sendiri dan terlebih di era globalisasi seperti saat ini. Oleh karena itu untuk menjaga eksistensi Negara Indonesia dibutuhkan generasi penerus  yang memiliki intelektual yang tinggi dan diiringi oleh rasa nasionalisme dan patriotisme, seperti halnya Sutan Sjahrir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H