Bandung, salah satu kota dengan penduduk terpadat di Jawa Barat. Baik warga lokal maupun pendatang dari luar kota yang dijuluki Kota Kembang ini banyak disinggahi karena udara yang sejuk, akses yang mudah dijangkau, dan banyaknya rekreasi serta tempat wisata. Namun, tidak hanya padat akan penduduk, Bandung juga padat akan sampah yang menumpuk.
Sampah menjadi persoalan elusif di Kota Bandung. Setiap tahunnya, produksi sampah di Bandung meningkat. Sumber sampah yang terkumpul adalah dari sampah makanan, sampah plastik, limbah rumah tangga, dan lainnya. Hingga Mei 2023, kongesti sampah di TPS-TPS di Kota Bandung masih berlangsung. Hal ini dikarenakan adanya kendala pengangkutan sampah menuju Tempat Pembuangan Akhir Sarimukti yang terletak di Kabupaten Bandung Barat.
Dengan sebaran sampah yang sebanyak itu di Bandung dan sekitarnya, TPS dan TPA di sekitar Bandung sangat penuh akan tumpukan sampah. Menarik jauh ke masa lampau, pernah terjadi sebuah tragedi naas yang dikenal dengan "Bandung Lautan Sampah". Kisah kelam ini terjadi karena ledakan sampah di TPA Leuwigajah pada tahun 2005, dan menewaskan 157 masyarakat sekitar. 157 jasad tersebut hanya jumlah masyarakat yang dapat ditemukan, entah kemana ratusan masyarakat lain yang tidak dapat ditemukan karena kejadian mengenaskan tersebut.
Tahun demi tahun berlalu, populasi dan mobilisasi di sekitar kota Bandung pun meningkat. Dikutip dari berita lansiran detikjabar, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung memiliki catatan terkait tren melambungnya volume sampah setiap bulan Ramadhan akibat banyaknya sisa makanan.
Pada Agustus 2023 pun ditemukan bahwa penumpukan sampah di tepian jalan Kota Bandung makin parah. Dilansir dari Kompas, tumpukan sampah ini mulai menumpuk sejak pertengahan Agustus 2023 saat TPA Sarimukti terbakar. Selama hampir dua bulan, TPA yang melayani pengelolaan sampah di Bandung Raya ini tidak beroperasi maksimal. Bahkan, di pekan awal kebakaran, TPA Sarimukti ditutup dan tidak memberikan layanan sehingga sampah di kawasan aglomerasi tersebut menumpuk di berbagai titik. Kota Bandung yang memproduksi sampah lebih dari 1.200 ton sehari menjadi kelimpungan.
Mengambil pelajaran dari peristiwa penumpukan sampah ini, masyarakat Bandung mulai memeras otak agar sampah, terutama limbah rumah tangga agar tidak menumpuk dan merugikan masyarakat. Lalu, kami menemukan salah satu penyelamat bagi kongesti sampah ini.
Eco Enzyme Bandung menjadi salah satu malaikat tak bersayap bagi masyarakat Bandung yang sudah berdiri sejak Januari 2020. Eco Enzyme Bandung merupakan sebuah komunitas, kumpulan, serta wadah bagi para relawan dan pegiat eco enzyme yang sedang belajar dan membuat eco enzyme.
Mengenal Eco Enzyme Lebih Dalam
Semenjak pandemi COVID-19 melanda, warga Indonesia memiliki kebiasaan menjaga kebersihan lebih ketat, termasuk dalam mengolah limbah organik rumah tangga. Terdapat banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengolah limbah organik menjadi lebih bermanfaat seperti dijadikan kompos dan biodigester.
Alternatif lainnya adalah mengolahnya menjadi eco enzyme. Eco enzyme pertama kali ditemukan di Thailand pada tahun 1980-an oleh Dr. Rosukon Poompanvong, yang juga merupakan pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand. Penemuan Dr. Rosukon yang cemerlang ini berawal dari komitmen dan dedikasinya untuk membantu sesama penyintas masalah kesehatan---karena ia sendiri menderita kelainan darah.
Apabila pembuatan kompos tersegmentasi karena menggunakan bahan tambahan EM4 yang biasa digunakan sebagai pupuk, dan pembuatan biodigester membutuhkan biaya lebih, hal tersebut tidak berlaku untuk eco enzyme. Karena, bahan-bahan eco-enzyme dapat ditemukan di sebagian besar rumah tangga. Produk akhir eco enzyme adalah cairan zat organik hasil fermentasi kecoklatan dengan aroma masam. Pembuatannya pun mudah, dengan perbandingan 1:3:10, berbahan dasar limbah organik (sayuran atau buah), gula merah (dapat diganti gula pasir) sebagai sumber karbon, dan air bersih yang bahkan bisa bersumber dari air hujan.
Mengutip dari Koes Plus dalam lagunya yang berjudul Kolam Susu, "... orang bilang tanah kita tanah surga ..." itu benar adanya. Karena dengan Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa menjadikannya negara tropis, sehingga hanya membutuhkan sekitar tiga bulan untuk menghasilkan cairan fermentasi eco enzyme, akan berbeda apabila berada di negara subtropis yang memakan waktu enam bulan.
Mudah bukan? Dengan limbah organik yang sehari-hari kita temui, tanpa lahan tambahan, hanya perlu sedikit melakukan kerja lebih, kita dapat menghasilkan cairan ajaib yang dapat menjadi cairan pembersih serbaguna.
Penerapan Nyata oleh Eco Enzyme Bandung
Panjang umur perjuangan, dengan konsepnya yang ramah lingkungan serta minimnya biaya yang harus dikeluarkan, penduduk Indonesia mulai menerapkan pembuatan eco enzyme untuk mengelola limbah organik rumah tangga. Dengan segala keresahannya, penerapan eco enzyme juga diadaptasi oleh warga lokal Bandung.
Terhitung sudah empat tahun lamanya semenjak Eco Enzyme Bandung berdiri. Komunitas yang diketuai oleh Pak Dody ini masih aktif hingga sekarang meski pandemi telah usai. Meskipun tidak memiliki banyak manpower, komunitas ini sudah berkontribusi untuk kebersihan di sekitar Jawa Barat.
Sudah banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Eco Enzyme Bandung. Bukan hanya sosialisasi berupa materi saja, tetapi mereka juga turun langsung ke lapangan untuk mempraktikan teorinya. Penyemprotan desinfektan ramah lingkungan eco enzyme pun dilakukan dan bekerja sama dengan berbagai lembaga, seperti; Damkar, Polrestabes, Secapa, Dansektor Citarum Harum, Tempat Wisata TGAA, dan masih banyak lembaga lainnya.
Sosialisasi dan edukasi eco enzyme juga sering dilakukan secara luring ke berbagai tempat, misalnya kelurahan Sukaluyu, Kacapiring, Cicaheum, Sektor 8 dan Sektor 21 Citarum Harum, DLH Bandung, Markas Besar TNI AD Seskoad, serta puluhan tempat lainnya. Tahun ini, eco enzyme Bandung bekerja sama dengan d'Botanica dalam acara "Silaturahmi Perdana Pegiat Eco Enzyme" untuk melakukan edukasi dan sosialisasi eco enzyme serta terdapat demo pembuatan sabun cair dan sabun padat.
Penuangan rutin cairan eco enzyme dan treatment terhadap kebersihan sungai rutin dilakukan oleh komunitas yang sudah berdiri sejak tahun 2020 ini. Salah satunya adalah penuangan rutin dan treatment terhadap sungai Oxbow Cicukang Citarum serta sungai Cikapundung. "Penuangan cairan ini sudah berjalan kurang lebih satu tahun sejak pertama dilakukan. Saat ini sih sudah selesai yaa karena tidak perlu lama-lama juga. Hasilnya sudah terlihat cukup signifikan dari perbedaan kondisi sungai sebelum dan sesudah" ungkap Ibu Evy selaku pegiat dan relawan Eco Enzyme Bandung.
Eco enzyme penting untuk dilakukan dan diterapkan oleh semua lapisan masyarakat. Hasilnya, pembuatan eco enzyme ini membantu mengurangi masalah pencemaran tanah, air, dan udara dari limbah organik yang menumpuk di TPA. Penumpukan sampah organik di TPA dapat menghasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida yang berbahaya bagi makhluk hidup serta menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Untuk dapat mengurangi dampak tersebut, dibutuhkan kesadaran dari seluruh masyarakat yang ingin terlibat dalam merawat bumi dengan cara mengolah limbah rumah tangga.
Merubah sampah melalui proses fermentasi selama 90 hari yang dinamakan eco enzyme ini menjadi salah satu cara untuk pengelolaan sampah yang dapat dilakukan bahkan dari rumah. Eco enzyme dapat menjadi harapan bagi masyarakat Bandung, bahkan seluruh dunia. Dengan niat dan keinginan untuk merawat bumi dan mengurangi sampah melalui penggunaan atau buangan eco enzyme yang ramah lingkungan non kimia, dapat menyumbang kebaikan jangka panjang untuk kehidupan manusia.
Artikel ini dibuat oleh: Fadhillah Az Zahra, Olivia A Margareth, dan Sabila Putri Afifah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H