Mohon tunggu...
Fadhil Asqar
Fadhil Asqar Mohon Tunggu... profesional -

Ayah Rumah Tangga Penuh Waktu. Blogger, graphic designer, & penulis paruh waktu. Kadang-kadang jadi trainer, kalau ada waktu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Donald Trump, Shamsi Ali, Dan Pilpres Paling Laknat.

8 September 2015   11:29 Diperbarui: 8 September 2015   11:54 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari judul, sudah jelas. Tulisan ini terinspirasi soal pejabat Indonesia yang 'kepergok' selfie di salah satu agenda kampanye Donald Trump.

Seperti biasa, sebuah kejadian yang melibatkan beberapa pejabat entah itu dari kubu KMP, atau kubu KIH, akan langsung disambar dan dijadikan amunisi perdebatan.

Terbukti setelah kritikan tajam menerjang dua pejabat dari kubu KMP, tak lama muncul juga berita yang menunjukkan bahwa orang KIH ada hadir dalam kegiatan Trump.

Yang menarik bagi saya adalah ketika Shamsi Ali, seorang ustadz dan penggiat keislaman di Amerika urun komentar. Komentar yang menegur pejabat Indonesia, karena dianggap terlibat kampanye Trump dan pada satu bagian merendahkan martabat bangsa -- yang bagian merendahkan ini sebenarnya lebih disebabkan sikap Trump yang terkesan tidak menghargai -- komentar itu juga lekat dengan keberadaan Shamsi Ali yang notabene dekat dengan aktivis keislaman.

Mendadak tadi pagi saya menemukan beberapa teman menshare sebuah postingan yang intinya mendiskreditkan Shamsi Ali, salah satunya karena ternyata pernah berfoto dengan D. Trump.

Tiba-tiba saya teringat ucapan seorang teman di facebook. Pilpres kemarin adalah pilpres paling laknat dalam sejarah Indonesia. Dan saya sepakat. Pilpres paling buruk dan merusak bangsa. Gegara pilpres itu bangsa ini terpecah menjadi dua kelompok yang saling cela, saling serang, dan celakanya semua dilakukan dengan nyaris mendekati membabi buta. Mengesampingkan logika, dan pemahaman.

Contoh kasus adalah 'kritikan' Shamsi Ali terhadap pejabat Indonesia, yg hadir dalam kegiatan Trump. Kritikan yang sebenarnya tidak salah. Berbeda dengan kita yang masih belajar berpolitik, politik di negara seperti Amerika, Inggris, adalah permainan politik dengan jurus-jurus tingkat tinggi. Bahkan sekedar minum kopinya seorang kandidat di sebuah gerai waralaba, bisa menjadi strategi politik. apalagi bila yang hadir adalah pejabat dari sebuah negara. Tak soal besar kecil, atau kuat lemahnya negara itu. Kehadiran pejabat sebuah negara tentu akan terkesan meberikan dukungan pada si kandidat itu.

Tak butuh waktu lama, seseorang mulai menggali, mungkin gerah pada Shamsi Ali, dan menemukan foto Shamsi Ali (juga beberapa orang lainnya) berfoto dengan Trump. Lalu mulailah istilah kecebong dilekatkan, dan kita tahu istilah itu muncul sebagai olok-olok untuk kelompok pendukung salah satu kubu di politik Indonesia.

Padahal kalau mau membuat 'analisa' kecil, kita akan tahu betapa konyol semua ini. 

Konyol, karena apa yang disampaikan Syamsi Ali itu sebenarnya tak salah. Konyol karena ini bukan soal pejabat dari kubu KMP atau KIH, tapi soal tindakan si pejabat, yang memang sebenarnya secara moral politis tidak tepat. Konyol, karena Trump adalah 'figur publik' di Amerika, dan wajar saja Syamsi Ali, atau orang lainnya dalam sebuah even berfoto dgn Trump (apalagi Syamsi Ali adalah aktivis komunitas muslim di New York). 

Kita sendiri pernah berfoto dengan, misalnya; artis, menteri, penulis, atau motivator. Dan tentunya kapasitas seseorang akan mempengaruhi efek dari satu hal seperti berfoto ini. Tentu beda kalau yang berfoto adalah seorang bintang film dengan Trump, atau kalau yang berfoto dengan Trump itu hanya saya.

Tanpa sadar masih banyak kita yang masih terjebak pada keberpihakan utk KMP atau KIH, kita lupa bahwa semestinya selepas pilpres, kita berpihak pada negeri ini.

Move on, itu slogan kemarin. Dan banyak yang berkata move on, tapi gagal move on. Ketika seorang pejabat dari kubu yang kita dukung melakukan kesalahan, terimalah itu kesalahan. Begitu juga ketika pejabat dari kubu yang tidak kita dukung ternyata melakukan prestasi, terimalah itu prestasi.

Sekarang ini justru berbeda. Kita melatih diri untuk mencari-cari kesalahan. Ketika ada prestasi, maka bergegas dicari kesalahan untuk membenamkan prestasi itu. Begitu juga ketika ternyata ada kesalahan dikelompok kita, segera dicari kesalahan lain di kubu sebelah sana untuk menutupi atau sebisa mungkin mengurangi efek kesalahan kubu kita.

Apakah itu berarti kita tak boleh mengkritik, atau berpendapat ? Sebaliknya, kita malah harus berpendapat, mengkritik, memberi solusi, namun semua dilakukan dengan logika yang benar, pemahaman, dan fokusnya pada data valid serta hal yang benar. Sebagai rakyat kita bersuara untuk negeri. Karena yang bersuara untuk kepentingan politik sudah ada, mereka para petugas partai, apapun partainya.

Sebagai rakyat, kita semestinya mengawal suara para politisi, bukan menjadi barisan pembenaran. Ingat suara kita yang kita titipkan pada mereka.

Dari bangsa yang bergerak maju, kita berubah menjadi bangsa jungkir balik.

Tulisan ini bukan berupa dukungan untuk Shamsi Ali, atau dukungan untuk KIH. Tulisan ini juga bukan celaan untuk KMP atau partai tertentu. Tulisan ini adalah opini saya mengenai sikap kita. Sikap dalam menilai dan memilah. Tulisan ini adalah opini saya pribadi terhadap realita saat ini, dimana kita sering mengkedepankan fanatisme, lupa pada unsur realita dan kebenarannya.

Dan bisa jadi, penilaian saya masih salah. Tapi bukankah itu juan kita berbagi pendapat? Untuk belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun