Indonesia adalah pembuang sampah makanan nomor 2 di dunia setelah Arab Saudi. Menurut FAO (2016) sampah makanan di Indonesia berjumlah 13 juta ton setiap tahun, sama dengan 500 x berat Monas di Jakarta dan diperkirakan mampu menghidupi 28 juta orang. Sampah berasal dari retail, restoran, rumah tangga maupun industri pengolahan makanan dan jalur distribusi.
Catatan tersebut juga didukung dari hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan sejumlah lembaga mengenai hasil studi komprehensif terkait food loss & waste di Indonesia pada 2021. Menurut kajian tersebut, sampah makanan yang terbuang di Indonesia sejak tahun 2000 hingga 2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184 kilogram per kapita per tahun.
Dalam kajian juga menunjukkan timbulan food loss & waste di Indonesia didominasi oleh jenis padi-padian (beras, jagung, gandum, dan produk terkait), adapun jenis pangan yang prosesnya paling tidak efisien adalah sayur-sayuran, di mana kehilangannya mencapai 62,8% dari seluruh suplai domestik sayur-sayuran yang ada di Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020, komposisi sampah nasional paling tinggi disumbang oleh sampah rumah tangga. Berturut-turut selanjutnya sampah dari pasar tradisional, sampah kawasan, sampah lainnya, sampah perniagaan, sampah dari fasilitas publik, dan sampah perkantoran.
"Suatu angka yang luar biasa dan memprihatinkan yang jelas ini jadi ancaman bagi ketahanan pangan dan gizi Indonesia," kata Vice Chairperson of CODEX Alimentarius Commission Prof. Dr. Purwiyatno Hariyadi, MSc., CFS., pada Jumat (9/10/2020).
Faktor penyebab dari adanya food waste ini antara lain:
- Penyimpanan yang kurang baik sehingga menyebabkan pangan rusak dan terbuang. Hasil kajian menemukan tidak sedikit masyarakat yang menyimpan bahan makanan di dalam kulkas hingga busuk dan terbuang.
- Penanganan proses produksi yang kurang baik entah ketika didistribusikan atau setelah panen dan perilaku konsumsi masyarakat yang meningkat.
- Kurangnya edukasi masyarakat baik dari sisi konsumen maupun petani yang memproduksi bahan pangan (cara simpan dan perlakuan dalam proses produksinya).
- Preferensi konsumen dalam memilih bahan pangan atau makanan. Biasanya terjadi di pedagang atau toko bahan pangan di mana bahan baku makanan yang tidak lazim oleh masyarakat Indonesia tidak dibeli sehingga akhirnya terbuang.
- Perilaku konsumen yang mengambil porsi berlebih sehingga menyisakan makanan yang pada akhirnya terbuang. Perlu adanya evaluasi pola pikir pada masyarakat Indonesia
Dari faktor penyebab tersebut akan memunculkan berbagai dampak, baik dampak negatif maupun positif.
Adapun dampak negatifnya yaitu:
a. Segi lingkungan
Limbah makanan tersebut akan semakin menambah akumulasi gas rumah kaca di atmosfer. Hal ini dikarenakan sampah organik atau sampah makanan yang terbuang di tanah menyumang 50-55% gas metana dan 40-45% gas CO2 yang berdampak pada pemanasan global. Adapun beberapa bahaya bagi lingkungan seperti bencana ledakan sampah, terjadinya air lindi, berkurangnya keberagaman makhluk hidup, dan sebagainya.
b. Segi ekonomi
Akibat sampah makanan ini negara setidaknya mengalami kerugian ekonomi yang mencapai Rp 213-551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5% PDB Indonesia.
c. Segi sosial
Berdampak dengan kehilangannya kandungan energi yang setara dengan porsi makan 61-125 juta penduduk atau 29-47% dari populasi Indonesia.
Sedangkan dampak positifnya yaitu:Â
a. Menangkal hama
Caranya adalah rendam sisa bagian dari sisa buah atau sayur di dalam air selama 1- hari, kemudian gunakan airnya untuk menyemprot tanaman yang rentan dihinggapi hama.
b. Menjadi pupuk kompos
Sampah makanan yang berlebih bisa dimanfaatkan menjadi kompos untuk pupuk berbagai tanaman di rumah tanpa harus membelinya di toko. Hal itu dapat dengan mudah dilakukan dengan bantuan komposter.
c. Bahan bakar biogas
Limbah yang berasal dari sampah makanan tersebut akan dimasukkan ke dalam mesin-mesin berat untuk diubah menjadi bubur kertas.
Food waste ini lebih banyak membawa malapetaka daripada kemujuran di dalam kehidupan terutama di Indonesia sendiri karena dilihat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia akibat food waste atau food loss. Selain itu, banyak dampak negatif yang merugikan berbagai segi baik lingkungan, ekonomi, dan sosial. Namun, kembali lagi kepada individunya sendiri apakah ia mau belajar mengenai pengolahan sampah food waste atau food loss ini dengan baik dan benar atau sebaliknya, mengingat masih ada dampak positifnya yang dapat dimanfaatkan dengan baik.
Contoh yang nyata atau sedang trend saat ini dapat dilihat banyak masyarakat mengikuti trend makan natto. Natto merupakan makanan tradisional Jepang yang terbuat dari biji kedelai yang difermentasi dengan Bacillus subtilis. Masyarakat disini memiliki respon yang berbeda-beda mengenai makan natto, ada yang suka dan sebaliknya bahkan sampai memuntahkannya. Masyarakat menjadikan trend ini sebagai konten hiburan semata, tetapi justru trend ini cukup mengecewakan karena menimbulkan food waste. Mereka tidak melihat dampak apa yang akan terjadi, yang tidak suka dengan natto akan membuangnya cuma-cuma. Hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh influencer yang dimana tugasnya untuk memberikan informasi atau edukasi yang menarik serta mendidik dalam penggunaan media sosial. Seharusnya kita dapat bersikap bijak dan dapat membedakan yang baik dan tidak. Jika sekiranya hal tersebut hanya untuk ikut-ikutan saja tanpa tahu bagaimana cara makan natto dengan benar atau sudah tahu banyak yang tidak suka, sebaiknya tidak perlu ikut hanya karena konten yang akhirnya menimbulkan food waste.Â
Padahal di sisi lain, TPA sampah kota masih dipilah secara manual oleh pemulung kemudian ditimbun dengan "sanitary landfill". Sanitary landfill adalah metode yang dilakukan dengan cara membuang atau menumpuk sampah di lokasi cekung, kemudian memadatkannya, lalu menimbunnya dengan tanah.
Seiring berkembangnya zaman, pemerintah ingin       mengelola sampah terpadu dengan proses pengolahan modern yang sudah diwacanakan, tetapi belum dilaksanakan. Dengan Peraturan Presiden RI Nomor 35 Tahun 2018 tentang "Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan" telah diwacanakan untuk membangun PLTSa di 12 kota besar di Indonesia, yaitu; DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado.
Dalam diskusi ini ada yang mengatakan parameter keberhasilannya yaitu sebesar 20% karena masih mengurus perjanjian dengan mitra proyek (Finlandia), izin mengurus AMDAL, dan proses serah terima lahan yang masih sengketa.
Pendapat lain mengenai parameter keberhasilannya kurang lebih 60% karena kebanyakkan TPA di Indonesia masih menggunakan sanitary landfill. Menurut Kepala UPT TPA Jatibarang, tidak semua TPA menggunakan sanitary landfill dikarenakan keterbatasan SDM, sedangkan jika pengelolaan menggunakan metode ini membutuhkan SDM yang banyak. Maka dari itu, perlu adanya metode modern yang sudah diwacanakan pemerintah yaitu pembuatan PLTSa atau PSEL (Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik), di mana gas metana pada TPA disalurkan ke alat untuk mengolah gas metana jadi listrik. Cara kerja dari PLTSa atau PSEL ini yaitu dengan memanfaatkan gas metana yang berasal dari landfill sebagai bahan bakar generator yang menghasilkan listrik. Kemudian yang perlu dievaluasi yaitu gas metana akan habis dalam tumpukan sampah sehingga produktivitas pembangkit listrik akan berkurang, maka hal tersebut akan terbengkalai.
Dalam hal ini ternyata food waste dan food loss dapat dicegah dan dikurangi penggunaannya dengan cara:
1. Perencanaan yang rinci dan matang pada penyimpanan bahan makanan dan proses persiapan produksi dan distribusi.
2. Persiapan dan perencanaan pengolahan makanan (meal preparation) yang efisien dan rinci.
3. Makanan yang masih layak dikonsumsi tetapi tidak termakan harus "dire-distribusikan".
4. Di tingkat rumah tangga, sisa makanan bisa dibagikan ke tetangga dan kerabat. Di tingkat industri dan usaha pangan, makanan yang berpotensi menjadi food waste dapat diserahkan ke "bank makanan" atau didistribusikan kepada institusi yang membutuhkan.
5. Makan yang sudah tidak layak konsumsi dapat dimanfaatkan untuk membuat pakan ternak atau terakhir dijadikan kompos.
6. Menerapkan 3R yakni Reuse (menggunakan kembali), Reduce (menguranginya) dan Recycle (mengolah kembali).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan food waste atau yang biasa dikenal dengan sampah makanan adalah makanan yang terbuang dan tidak termakan. Penyebabnya banyak dan terjadi di dalam proses produksi, pengolahan, distribusi, penyajian, dan konsumsi. Sampah terjadi di dalam setiap mata rantai dari produksi sampai konsumsi. Namun, perlu ditekankan sekali lagi bahwa banyak perubahan yang bisa mengurangi dan mengatasi atas melonjaknya sampah tersebut. Kemudian, dukung program yang ada dan aware selalu pada lingkungan demi tercapainya suasana yang sehat dan damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H