Mohon tunggu...
Fadhilah Muslim
Fadhilah Muslim Mohon Tunggu... Dosen - Researcher, Lecturer, Traveler

Currently living in Muenchen, Germany.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Studi S3/PhD, Tantangan dan Rintangan

17 Juni 2016   18:07 Diperbarui: 17 Juni 2016   18:12 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya saya menulis ini dalam rangka setidaknya saya mengapresiasi diri sendiri karena tak terasa 2 tahun sudah saya menjalani program PhD saya disini yang artinya setengah perjalanan alhamdulillah sudah selesai saya lewati. 

Mungkin kebanyakan orang akan bertanya-tanya, bahkan orang tua saya juga bertanya, kapan dan berapa tahun lagi selesai PhD nya? Satu tahun lagi atau dua tahun atau..?

Di jurusan saya, teknik sipil, dan sepertinya juga berlaku untuk jurusan teknik secara umum, topik riset PhD itu akan terbagi menjadi tiga kategori. 1) Simulasi yang mayoritas bekerja dengan software menggunakan komputer dan atau ditambah dengan formulasi; 2) Eksperimen yang mayoritas di lakukan di laboratorium; 3) atau pilihan ketiga adalah 50:50 antara pemodelan atau eksperimen.

Kemudian pertanyaannya adalah kategori mana yang lebih cepat lulus?

Well. Melakukan riset atau menjadi mahasiswa PhD di Inggris, hampir berlaku di semua perguruan tinggi di negara ini, bahwa tidak ada kewajiban untuk mahasiswa PhD mengikuti perkuliahan di kelas layaknya mahasiswa master by research maupun master by course. Artinya fokus mahasiswa PhD disini 100% untuk melakukan penelitian. Sementara menjadi asisten dosen dan asisten lab untuk perkuliahan S1 dan S2, menjadi co-supervisor untuk tugas akhir mahasiswa S1 dan S2, serta membantu dosen menilai lembaran jawaban ujian mahasiswanya, membantu projek dosen diluar, hanyalah sebagai pekerjaan tambahan yang dilakukan oleh mayoritas mahasiswa PhD disini sebagai selingan dalam melakukan penelitian dan tentunya menambah pengalaman mahasiswa PhD tersebut.

Kembali lagi ke pertanyaan sebelumnya, kategori mana yang lebih cepat lulus?

Menjalani program PhD itu tantangannya sangat jauh berbeda dengan program S1 dan S2 yang dimana untuk kedua program ini, waktu yang diberikan kepada mahasisa untuk menyelesaikan studi sudah tetap bersamaan dengan diberikannya paket mata kuliah, yang sehingga mahasiswa S1 dan S2 dituntut untuk belajar maksimal dan mengikuti perkuliahan yang ada sebaik mungkin. Dengan demikian, dalam waktu 4 tahun mayoritas mahasiswa S1 di Indonesia juga di Inggris ini sudah bisa mendapatkan gelar sarjana.

Berbeda dengan program S1 dan S2, cerita mahasiswa PhD akan berbeda bahkan sangat sulit dibandingkan antara satu dan lainnya. Jangankan mahasiswa PhD antar perguruan tinggi, antar jurusan, bahkan dalam satu grup riset saja dengan pembimbing yang sama, sangat sulit untuk membandingkan kondisi masing-masing mahasiswa.

Pertanyaannya adalah,

Apakah mahasiswa PhD yang masih berstatus sendiri sudah dipastikan akan menjalani program PhD lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan mahasiswa yang dalam masa studinya disini hidup bersama keluarganya? Ataukah sebaliknya?

Apakah mahasiswa PhD yang dimana topik risetnya adalah bahagian projek yang dimana pembimbingnya ikut serta sebagai 'leader' projek tersebut bisa dikatakan bahwa risetnya lebih terarah dan lebih cepat lulus dibandingkan topik riset yang bersifat non-projek dimana ketika riset dimulai belum ada gambaran apa-apa terkait riset yang dilakukan? Ataukah sebaliknya?

Apakah riset yang bersifat simulasi atau modeling lebih mudah dan cepat lulus dibandingkan dengan riset yang bersifat eksperimental dimana tidak ada jaminan sama sekali bahwa eksperimen yang dilakukan akan berhasil sehingga jika gagal harus diulang kembali dari awal dan ditambah lagi persiapan alat yang akan digunakan juga sudah menghabiskan waktu 6 bulan - 1 tahun? Ataukah sebaliknya?

Apakah mahasiswa yang dibimbing oleh seorang guru besar yang ternama dan merupakan nama besar di bidangnya menjadikannya sulit untuk bertemu dan progress pun jadi terhambat dibandingkan dengan mahasiswa yang dibimbing oleh seorang senior lecturer yang kesehariannya di kampus? Ataukah sebaliknya?

Apakah mahasiswa yang tergabung dalam grup besar menjadikannya lebih mudah untuk bertukar ilmu sehingga saling memberikan masukan satu sama lainnya, saling berkolaborasi yang kemudian menjadikan risetnya lebih mudah dan menyenangkan dibandingkan dengan mereka yang tergabung dalam grup kecil? Ataukah sebaliknya?

Apakah mahasiswa yang menjalani program PhD di kampus besar dan berkualitas tinggi yang sehingga semua alat yang ingin digunakan sudah lengkap tersedia akan lebih cepat selesai dan riset yang dilakukan akan berjalan mulus karena tidak ada kendala alat,dana penelitian, teknisi, dsb dibandingkan dengan kampus yang biasa saja? Ataukah sebaliknya?

Well, menurut saya, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan diatas adalah UNKNOWN. 

Ada banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi proses menjalani program PhD tersebut.

Bagaimana jika ditengah perjalanan, pembimbing kita memutuskan resign, pindah perguruan tinggi, atau bahkan meninggal dunia?

Bagaimana jika ditengah perjalanan, kita didiagnosa penyakit yang membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama?

Bagaimana jika ditengah perjalanan, mereka yang single kemudian bertemu jodoh dan kemudian memutuskan untuk menikah sehingga sedikit mengganggu kestabilan menjalani riset yang ada?

Bagaimana jika ditengah perjalanan, topik riset yang sedang dijalani tiba-tiba diganti oleh pembimbing karena beberapa faktor?

Bagaimana jika ditengah perjalanan, mereka yang sudah berkeluarga terlebih lagi seorang wanita mendapatkan rezeki hamil sehingga harus mengandung 9 bulan, kemudian melahirkan, serta menyusui?

Dan banyak hal lainnya..

Sehingga kemudian, menurut saya, tidak adil jika menilai kualitas riset dan kapabilitas dari mahasiswa PhD berdasarkan lama studi yang mereka jalani, karena cerita dan tantangan dibalik gelar PhD atau Dr yang sudah atau yang akan didapatkan oleh mahasiwa PhD itu berbeda-berbeda.

Sebagai tambahan, lama waktu menjalani program PhD juga bergantung pada seberapa detail dan seberapa banyak hasil yang ingin didapatkan oleh mahasiswa PhD tersebut dan beberapa hal lainnya seperti persyaratan dari departemen dan perguruan tinggi masing-masing, seperti jumlah paper yang harus sudah dipublikasikan sebelum ujian akhir, dan sebagainya.

Di akhir kata, tak heran jika kebanyakan mahasiswa PhD yang target di awal tahun pertama sangat optimis, kemudian di tahun akhir berubah menjadi 'yang penting bisa lulus'.

Bagaimanapun, saya yakin, semua mahasiswa PhD dimanapun berada tentunya memiliki target yang sama agar bisa lulus tepat waktu dan penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat. Terlebih lagi bagi mereka penerima beasiswa yang diberikan funding 4 tahun saja, termasuk saya, serta kampus dimana saya menjalani studi ini juga mensyaratkan untuk mahasiswa PhDnya lulus maksimal 4 tahun (kecuali bagi mereka yang mengambil cuti karena beberapa alasan seperti sakit, melahirkan, dsb), maka Insya Allah mudah-mudahan dalam waktu maksimal 4 tahun, saya bisa menyelesaikan studi ini. :)  

London, 17 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun