Tiga belas tahun sudah saya tinggal di Bojong Gede, salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor yang letaknya tak jauh dari Ibu kota. Tiga belas tahun pula saya merasakan perkembangan dan pembangunan di wilayah yang termasuk daerah penyangga Ibu kota ini—termasuk pula wilayah Depok dan Cibinong yang letaknya hanya selemparan batu dari Bojong Gede.Â
Ketiga wilayah ini dulunya mayoritas dihuni oleh masyarakat Betawi sebagai masyarakat asli, namun perlahan menjadi kawasan multi-etnis seiring dengan banyaknya pendatang yang menetap di wilayah ini.
Perkembangan dan pembangunan yang paling signifikan di ketiga wilayah ini adalah sektor perumahan, ekonomi, transportasi umum, dan infrastruktur jalan.Â
Dari tahun ke tahun, pembangunan perumahan di ketiga wilayah ini berkembang pesat. Lahan kosong yang dulunya ditanami singkong oleh warga sekitar, kini dibabat habis menjadi perumahan. Kebanyakan penghuni perumahan tersebut merupakan pasangan muda yang bekerja di Jakarta. Mereka sengaja memilih rumah di wilayah ini karena harganya yang lebih murah jika dibandingkan dengan mengontrak sepetak kamar di Ibu kota.
Sejalan dengan pembangunan perumahan, maka dibangun pula pusat perbelanjaan untuk memenuhi kebutuhan dan gaya hidup masyarakat. Jika beberapa tahun lalu masyarakat Bojong Gede—khususnya pendatang—yang ingin memenuhi kebutuhan hidup harus pergi ke Depok atau Jakarta. Maka kini tak lagi harus pergi jauh-jauh untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup, karena sudah banyak tersedia pusat perbelanjaan yang dibangun di wilayah Bojong Gede dan Cibinong. Ruas Jalan Margonda yang menjadi jantungnya Kota Depok pun semakin ramai dengan bertambahnya pusat perbelanjaan hingga hunian vertikal yang menjulang tinggi.
Begitu pula dengan transportasi umum yang semakin hari semakin memanjakan para penggunanya. Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line yang menghubungkan wilayah Jakarta–Depok– Bogor kini tersedia setiap 5 menit sekali. Commuter Line juga sudah menjangkau wilayah Cibinong dengan dibukanya rute Jakarta–Cibinong–Nambo pada 2015 lalu. Juga keberangkatan Bus Transjabodetabek yang semakin menambah pilihan masyarakat untuk bepergian dari dan menuju wilayah ini. Hal ini tentu saja sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa waktu silam ketika transportasi umum masih sangat terbatas dan semrawut.
Masyarakat di ketiga wilayah ini juga patut bersyukur dengan dibangunnya infrastruktur jalan yang semakin memudahkan mobilitas. Jalan lintas desa dan kecamatan kini sebagian besar sudah dicor beton. Saat ini juga tersedia banyak pilihan jalan dari dan menuju ketiga wilayah ini. Sebagai contoh, masyarakat Depok tak lagi harus ke Tanjung Barat jika ingin menggunakan jalan tol, karena kini tersedia Tol Cijago dan Desari yang berada di pusat kota. Begitu pula dengan masyarakat Bojong Gede dan Cibinong yang memiliki 2 akses yang langsung terhubung dengan Tol Jagorawi, yakni Gerbang Tol Citeureup dan Sentul Utara, bahkan beberapa tahun ke depan Bojong Gede akan memiliki jalan tol sendiri.
Sebagai warga Bojong Gede yang sering beraktivitas di Depok dan Cibinong, saya—dan masyarakat sekitar—sangat merasakan dampak positif dari adanya perkembangan dan pembangunan tersebut. Namun tetap saja dibalik dampak positif selalu ada dampak negatif yang dirasakan. Setiap jam berangkat dan pulang kerja, sebagian besar ruas jalan di ketiga wilayah ini—terutama Margonda—selalu dipadati kendaraan bermotor. Belum lagi ketika akhir pekan, di mana masyarakat memadati pusat perbelanjaan dan menyebabkan kemacetan. Kawasan perkebunan yang menghasilkan beberapa komoditas pangan kini semakin berkurang. Juga kultur masyarakat Betawi sebagai masyarakat asli yang semakin lama semakin menghilang.