Lalu, sekitar dua tahun tinggal di situ, kakeknya meninggal, Russel tinggal bersama neneknya. Oleh karena itu, Russel tidak banyak tahu langsung tentang kakeknya, kecuali apa yang diceritakan oleh neneknya. Dia kemudian tumbuh, di usia delapan belas tahun masuk di Universitas Cambridge, dan fokus pada matematika.
Di sini iklim intelektual dia mulai bebas, karena sebelumnya dia mempunyai banyak keraguan dan pertanyaan tentang agama yang belum terselesaikan. Hanya beberapa tahun dia mendalami matematika, kemudian beralih ke filsafat.
Lulus dari situ, dia berjalan-jalan hingga keempat benua. Dia sempat ke Prancis, Jerman, bahkan Tiogkok. Dia sempat mendalami ekonomi dan politik, meskipun kemudian beralih ke filsafat kembali.
Pembahasan yang tidak kalah menggodanya, pada esainya berjudul Sampah Intelektual. Esai ini yang paling kritis, dan paling saya sukai. Di awal dia sudah meragukan definisi manusia yang paling lazim didengar: manusia rasional.
Menurutnya, definisi itu perlu direvisi dan menjelaskan secara pasti apa pengertian ‘rasional’ di situ. Soalnya, kata itu dalam sejarahnya berubah dan berganti seiring berkembangnya pemikiran. Russel kemudian memberikan contoh-contoh mitos-mitos, atau keyakinan tak berdasar yang selama ini dipercayai manusia.
Dia mulai dengan mengkritik agama, dia memang mengakui sangat sulit untuk menolak argumentasi causa prima (sebab pertama), tetapi kemudian dia jatuh pada tasalsul atau sebab tak berujung, sehingga menolak mentah-mentah yang disebut sebab tertinggi itu. Mungkin beliau belum mempelajari tentang kemustahilan tasalsul dan daur dalam pembahasan teologi Islam.
Tak hanya itu, Russel mengkritik masalah kejahatan yang ada di dunia ini, dalam hubungannya dengan Tuhan (Yang Maha Baik dan Maha Kuasa), masalah ini disebut Problem of Evil atau Teodisi, dan sudah banyak dibahas dimana-mana. Selain itu, Russel banyak mengkritik hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan injil, yang tidak memiliki alasan rasional,menurutnya aturan (syari’at dalam Islam) yang diturunkan itu tidak boleh dipertanyakan dan sudah begitu adanya. Agama cukup menjadi keyakinan atau mitos.
Walhasil, buku ini susah-susah gampang untuk dibaca. Kita perlu mempersiapkan pemahaman dasar terlebih dahulu, dia banyak menulis tentang teori filsafat dan tokoh di zamannya sekilas tanpa penjelasan. Pembaca akan kebingungan kalau belum memahaminya dengan baik. Dalam beberapa hal ada yang mudah dipahami dan ada yang perlu dibaca dengan saksama. Karena saya membaca versi bahasa indonesia, saya banyak mendapati kejanggalan terjemahan dan penggunaan kata yang membosankan. Namun, secara umum buku ini memberikan banyak inspirasi dan melatih daya kritis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H