Mohon tunggu...
Achmad Fadel
Achmad Fadel Mohon Tunggu... Penulis - ❤️

Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir di The Islamic College Sadra Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

New Normal adalah Kembali dari Hiperrealiti

8 Juni 2020   15:16 Diperbarui: 8 Juni 2020   15:34 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita masih saja di hantam wabah COVID-19 ini, dan sudah mengubah tatanan kehidupan kita untuk lebih berhati-hati dengan menggunakan pakaian dan anjuran kesehatan serba lengkap serta mengurangi sebisa mungkin kontak dengan orang-orang.

Sebelum dan Transisi Masa Wabah

Reaksi fenomena ini bisa membuat masyarakat takut dan kepanikan sehingga benar-benar tidak mau lagi berkomunikasi dengan orang-orang sekitar, kerabat, bahkan dengan keluarga dekat. Banyak kita temukan anak-anak yang pulang dari perantauan yang tempatnya diidentifikasi zona merah, sesampai di kampung asalnya, orang tua dan masyarakat sekitar melihatnya berbeda, seakan-akan sudah melakukan kejahatan yang serius. Masyarakat tidak mendekatinya seperti orang yang sudah mempermalukan kampungnya, padahal hanya takut virus itu menyebar. Pada tingkat yang lebih parah orang tua di rumah yang sejak kecil merawat kita, sudah sangat berbeda sikapnya akibat virus ini. Virus yang bukan hanya mematikan nyawa, tapi mematikan akhlak.

Di sisi lain, virus ini tidak menyebar ke pelosok-pelosok Desa dalam. Dimana jalur migrasi sangat jarang dilalui kecuali oleh penduduk-penduduk dalam Desa itu. Saya mengamati salah desa daerah Sulawesi Barat melalui orang di sekitar situ banyak berkembang aliran pemikiran kebatinan atau dalam Islam biasa disebut tasawuf (tarekat). Mereka tentu memandang segalanya berasal dari Allah dan semua musibah yang menghampiri manusia hanya dapat kita serahkan kepada Allah semata. Keyakinan orang-orang beriman akan dijaga oleh Tuhan, memberikan reaksi yang sangat berlawanan dari fenomena yang sebelumnya saya ceritakan. Orang seperti ini kebanyakan nada tawakkal tetapi takabbur membuatnya melakukan apa saja tanpa memerhatikan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah pada semua tempat.

Saat-saat yang saya ceritakan sudah lewat. Masa karantina sudah berminggu-minggu diperpanjang dan memperparah kondisi ekonomi negara secara makro maupun mikro. Dampak ini sangat dalam utamanya bagi kelas menengah. Kelas atas hanya merasakan guncangan yang mungkin mengurangi sedikit profit perusahaannya, tetapi tidak akan membuat usaha-usahanya gulung tikar. Begitu juga kelas bawah yang sudah terbiasa hidup lapar, makan hanya sekali dalam sehari setelah itu menunggu rezeki datang dengan pengharapan pada Tuhan untuk tidak membuat makhluknya mati kelaparan. Justru, ditengah wabah ini golongan bawah lebih banyak mendapat bantuan dibandingkan hari-hari normal tanpa virus ini. Kelas menengah yang paling merasakan pahitnya dampak ekonomi karena sudah terbiasa dengan rutinitas keuangan yang circlyng (berputar-putar) pendapatan dan pengeluaran, hantaman virus ini langsung mengubah kebiasaan finansial golongan menengah ini.

New Normal adalah kembali dari Hyperreality menuju Reality

Berbicara tentang kebiasaan yang sudah mengeras dan membentuk tradisi masyarakat modern sebelum wabah ini merebak. Seperti, berbelanja baju baru, gawai model terkini, nongkrong di warkop hingga larut malam membicarakan hal tidak penting, atau perkumpulan pemuda tanpa tujuan kecuali untuk ngobrol lalu lewat begitu saja. Itu semua termasuk kegiatan Hyperreality atau secara harfiah melampaui kenyataan. Maksudnya, manusia sudah disibukkan dengan hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan yang harus dipenuhi. Manusia sudah melewati batas-batas itu sehingga menjadikan apa yang tidak penting dan dibutuhkan menjadi sesuatu yang benar-benar penting. Konsep tentang Hyperreality berasal dari pakar kebudayaan dan filsuf kontemporer abad ini, Jean Baudrillard.

Untungnya, wabah SARS-Cov-2 ini (salah satu dampak positifnya) telah membantu manusia untuk kembali sadar terhadap kejatuhan ini. Manusia yang sudah dibingungkan oleh kebiasaan diluar hal-hal yang penting dan menjadikannya sesuatu yang sangat dibutuhkan menjadi terkuak ketika wabah ini menyuruh semua masyarakat untuk melakukan karantina mandiri di rumah. Tentu, karantina mandiri dan social distancing menunjukkan kalau semua kegiatan seperti, keluyuran di luar rumah tanpa tujuan, berbelanja barang-barang yang tidak dibutuhkan, dsb. Sebenarnya tidak masalah sama sekali bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan perilaku konsumtif setelah merasakan wabah ini. Apa lagi, hidup di era new normal membentuk suatu kebiasaan yang sebenarnya itulah ke-normalan bagi manusia. Oleh karena itu, new normal adalah normal itu sendiri!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun