Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki interdependensi terhadap sesamanya, oleh karenanya komunikasi terus terjalin dan bersirkulasi terus menerus. Untuk menunjang hal tersebut, manusia bereksplorasi melalui penemuan dan berbagai inovasi hingga terbentuklah masyarakat digital dan sangat kental akan teknologi informasi.
Pada jurnalnya (Karman, 2014) mengatakan  Teknologi komunikasi adalah bagian dari komunikasi karena teknologi komunikasi fokus pada salah satu unsur dari komunikasi, yaitu saluran (channel). Sementara itu, teknologi informasi fokus pada pesan (message).Â
Awal mula berkembangnya ilmu komunikasi tidak terlepas dari para pemikir bidang ilmu tersebut beserta paradigma yang dibangun. Paradigma yang amat berpengaruh dan dominan dalam ilmu komunikasi adalah paradigma transmisi yang sering disebut sebagai rezim transmisi. Rezim komunikasi sebagai transmisi berporoskan filsafat pengetahuan John Locke, yang kemudian mendapat artikulasi dan elaborasi dalam teori-teori Claude Shannon, Warren Weaver, dan Norbert Wiener.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa teknologi memiliki peran penting dalam penyampaian arus informasi yang menghubungkan satu sama lain melewati batasan-batasan geografis sekalipun. Lalu berbagai sosial media pun bermunculan dengan fungsi menjembatani perihal komunikasi di dunia maya. Sosial media memiliki dua sisi bertolak belakang, menjadi positif apabila digunakan dengan bijak, menjadi negatif apabila  unsur positif dan negatif apabila tidak duganakan dengan bijak.
Hal yang disayangkan adalah samarnya batasan privasi pada media sosial, seakan segala yang ada pada kehidupan nyata dapat dengan bebas diumbar di internet, padahal ketika berselancar di dunia maya kita memiliki jejak-jejak digital yang tertinggal dan terekam di internet.Â
Privasi kini seakan tidak memiliki batasan yang jelas, seperti masalah keluarga yang seharusnya menjadi urusan internal dalam keluarga malah dipertontonkan pada dunia maya seakan semua orang harus mengetahuinya, padahal hal seperti itu bukanlah konsumsi publik. Â Salah satu fenomena menarik di Indonesia sendiri adalah banyaknya pelanggaran hak privasi di media sosial.
Dalam berselancar di dunia maya, ada etika secara tersirat yang wajib dipatuhi oleh penggunanya. Jika ditilik secara peraturan tertulis, sudah pasti semua orang mengerti. Namun sedikit yang sadar akan beretika di media sosial dimana seseorang dapat menyembunyikan identitasnya tanpa diketahui orang lain, dengan kata lain bersembunyi di balik tabir anonimitas. Bahkan tidak sedikit pula yang berani mengakui jati dirinya terang-terangan melakukan pelanggaran yang mungkin tidak disadari.
Menurut sang pemilik akun, hal itu digunakan untuk memenuhi tugas semata, tapi hal yang mereka lakukan sudah termasuk pelanggaran privasi yang diumbar apalagi oleh orang yang tidak dikenal. Lain pula akun instagram "l*m*e t*r*h" yang menyajikan sisi kehidupan para selebriti tanah air, bahasa kasarnya mengumbar aib orang lain.Â
Ada pula kasus lain pada sebuah grup di platform Facebook  yang beranggotakan ribuan akun, seorang pria mengunggah foto dua sejoli yang duduk-duduk di musola SPBU dengan menyertakan informasi yang berisi memojokkan dua orang tersebut, kira-kira yang ia katakan adalah, "Parah sekali anak zaman sekarang, pacaran di tempat umum," padahal nyatanya mereka adalah sepasang tunangan yang sedang mendiskusikan masalah keluarga.Â
Tanpa sepengetahuan si pelapor, ia telah membuat reputasi dua orang tersebut menjadi buruk dengan usahanya yang entah disengaja atau tidak telah mempengaruhi opini publik dalam grup tersebut. Mereka yang tidak mengetahuinya pun ikut memaki-maki, mencemooh, mengata-ngatai tanpa tau kebenarannya. Meskipun kejadian itu benar, namun tidak seharusnya hal-hal tersebut diungkap ke publik, karena tidak semua hal di dunia ini ada hal-hal yang sebaiknya tetap menjadi rahasia.