Selain itu, opini yang menyebut penindakan KPK tidak efektif mengurangi korupsi adalah keliru dan tidak apple to apple jika dibandingkan dengan jenis kejahatan lainnya. Mereka tidak sadar bahwa kejahatan korupsi yang berada pada level organized crime akan terus bertransformasi dan beregenerasi layaknya virus
 Trias Kuncahyono menyebutkan bahwa korupsi ibarat diabetes yang hanya bisa dikontrol, tetapi tidak dapat dihilangkan secara total. Jika tidak memiliki mekanisme penanganan yang baik, dia akan menggerogoti seluruh organ tubuh.
Begitupula dalam suatu negara, jika mekanisme penanganan korupsi hanya melihat efektif tidaknya hasilnya, sesungguhnya sampai kiamat pun tidak akan menemui jawabannya.
Kelima, mereparasi independensi KPK untuk direposisi di bawah naungan kekuasaan eksekutif menjadikan pemberantasan korupsi berada di bawah bayang-bayang kekuasaan.
Selain itu, perekrutan pegawai melalui jalur ASN dan hegemoni perekrutan penyelidik, penyidik dan penuntut KPK dari unsur Kepolisian dan Kejaksaan merupakan bentuk anomali eksistensi KPK yang sejak awal pembentukannya merupakan dampak tidak optimalnya kinerja Kepolisian dan Kejaksaan dalam memberantas korupsi.Â
Yang terjadi malah sebaliknya KPK tidak lagi menjadi lembaga supervisi dan sentra koordinasi alias trigger mechanism, melainkan inferior di bawah hegemoni eksekutif.
Keenam, inferioritas KPK juga semakin nyata terasa manakala dalam proses penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Kondisi tersebut menjadikan KPK kehilangan ruh dan identitasnya.
Maka wajar saja jikalau masyarakat berbondong-bondong menyalakan lilin di tengah gelapnya masa depan pemberantasan korupsi. Lebih tepatnya menyambut kematian KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H