Keadaan tersebut di atas menandai gelapnya gedung KPK yang diselimuti mendung operasi pelemahan KPK. Ada beberapa poin menurut penulis yang secara jelas merupakan bentuk pelemahan sekaligus mengubah wajah KPK menjadi suram. Pertama, praktik penyadapan sebagai senjata ampuh dalam proses pemberantasan tipikor diubah menjadi harus atas izin dewan pengawas.Â
Mereset penyadapan dan eksistensi dewan pengawas menjadi dua poin krusial yang saling terkait. Selama ini proses penyadapan di KPK dilaksanakan sebagaimana SOP internal dan sistem yang sudah berjalan baik.Â
Kerahasiaan hasil penyadapan merupakan bentuk akuntabilitas yang harus dijaga oleh KPK. Jika Dewan Pengawas memiliki koneksi dengan partai politik, aparat penegak hukum dan lingkaran kekuasaan maka kekhawatiran akan bocornya informasi dan hasil penyadapan akan semakin menguat. Namun jika Dewan Pengawas berasal dari pegiat antikorupsi maka kekhawatiran tersebut dapat diminimalisir.
Kedua, penuntutan yang harus berkoordinasi dengan Kejagung bukanlah bentuk checks and balances. Mengingat KPK sudah memiliki sistem penuntutan yang baik maka bentuk koordinasi yang dimaksud dapat mendisrupsi proses penuntutan di dalamnya.Â
Ketiga, kewenangan SP3 yang praktis menyabotase senjata andalan KPK yang pada UU KPK saat ini tidak berwenang menerbitkan SP3. Tentunya kewenangan tersebut berpotensi menimbulkan praktik jual beli perkara mengingat besarnya pusaran kekuasaan yang harus dihadapi oleh KPK jika berhadapan dengan koruptor.
Keempat, KPK tidak lagi menjadi lembaga independen, melainkan lembaga pemerintah di bawah eksekutif. Hal ini merupakan bentuk pengkerdilan KPK dan berpotensi mendapat tekanan dari lembaga eksekutif jika KPK menyelidiki dugaan korupsi di tubuh eksekutif.Â
Poin tersebut juga disinergikan dengan unsur pegawai KPK berasal dari PNS dan PPPK atau ASN sekaligus menghapus penyidik independen. Hal ini akan mematikan wadah pegawai KPK yang merupakan pengawas secara tidak langsung terhadap setiap tindak tanduk pimpinan KPK.Â
Jika ASN berani mengkritik pimpinan, bukan tidak mungkin akan mengancam karirnya. Selain itu, hapusnya penyidik independen membuat KPK bergantung pada penyidik isntitusi lain yang bisa saja tidak sinergi dengan desain dan pola penindakan di dalam kerangka kerja KPK.
Kelima, mengebiri kewenangan KPK untuk menangani perkara yang meresahkan masyarakat (dilakukan penegak hukum atau penyelenggara negara yang meresahkan masyarakat) jika menyangkut kerugian negara di bawah Rp. 1 Miliar.Â
Hal tersebut menjadi celah bagi para koruptor dalam mengonstruksikan modus operandinya. Selain kelima poin diatas, wajah suram KPK semakin nyata terasa kala pimpinan KPK yang baru memiliki rekam jejak dan komitmen pemberantasan korupsi yang suram.Â
Tanpa mengurasi rasa hormat penulis terhadap kinerja pansel capim KPK, harapan dan keraguan terhadap masa depan pemberantasan korupsi bercampur aduk. Panjangnya pembahasan tersebut akan dilanjutkan oleh penulis pada tulisan selanjutnya.