Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ujian Pengamalan Pancasila di Tahun Politik

30 Maret 2018   22:54 Diperbarui: 31 Maret 2018   00:48 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berbincang-bincang dengan warga minoritas di salah satu kabupaten di Kalimantan Barat saya terkesiap dengan pernyataan salah satu di antara mereka. Kira-kira begini, "sebenarnya kami tidak ingin memilih beliau, apa daya jika di kampung ini ada yang mencoblos selain dia, nasib kami di ujung tanduk, gampang bagi mereka yang mayoritas mengidentifikasi kami jika terdapat surat suara yang melawan arus". Terangnya. 

Sungguh ironis jika di negara yang katanya sangat menjunjung tinggi pluralitas dan toleransi terhadap perbedaan suku, agama dan budaya seolah takluk oleh intimidasi bernama pilihan politik yang sarat dengan sensitifitas superior kandidat yang berasal dari kelompok mayoritas agama dan suku tersebut. 

Saya pernah tinggal di salah satu desa di Kab. Jeneponto dan mengamati pola perilaku masyarakatnya yang komunal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesadaran kolektif, meminjan istilah Durkheim sebagai suatu solidaritas mekanik. Nilai-nilai kerukunan yang telah dijaga turun temurun secara ajeg tersebut secara visual memberi gambaran harmonis, namun bukan tanpa luka terdapat borok yang tersamarkan oleh keajegan tersebut dan borok itu muncul oleh karena perbedaan pilihan politik yang cukup terasa mendikotomi, tengoklah dikotomi koalisi pascapilpres 2014 lalu, tentu kita semua bisa memahaminya. 

Dialektika masyarakat kita mampu terbelah pada ketidakmampuan memahami perbedaan di titik ini. Hal tersebut sudah menjadi turun temurun manakala kita menengok aspek historis di belakang perumusan dasar negara pancasila. Pergolakan antara kubu nasionalis dan agama Islam memang mewarnai proses pembentukan embrio pancasila hingga perkawinan ideologi tersebut berhasil melahirkan pancasila yang moderat dan futuristik. 

Seharusnya kita mampu belajar terhadap kedewasaan berfikir para founding fatheryang mampu meredam ego ideologi demi keutuhan bangsa. Golongan Islam yang kompromis tersebut terbayarkan dengan falsafah bangsa yang relijius ditandai dengan hadirnya Kementerian Agama untuk menegaskan peran negara terhadap nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Kementerian yang dikata "bang***" oleh anggota DPR yang (katanya) terhormat.

Meskipun perjalanan bangsa Indonesia kerap diwarnai pergolakan politik nyatanya hal tersebut sangat efektif memengaruhi akar rumput dengan manisnya janji-janji politik. Ideologi di jual pada akar rumput demi perolehan suara, namun setelahnya akar rumput dianggap racun yang mengganggu keindahan bunga-bunga, sehingga haruslah disingkirkan (diskriminasi, kesenjangan sosial, pengangguran, kemiskinan dan keberpihakan terhadap pemodal besar). 

Kaum elit politik cukup bermain api untuk memulai serangan, cukup dengan membakar akar rumput maka panasnya menyebar ke mana-mana, itulah yang dapat kita saksikan saat ini. Minoritas versus mayoritas digoyang, isu-isu agama dibenturkan, agama kerap menjadi tempat penyucian diri, merawat rumput manila secantik mungkin dianggap pencitraan. Mereka bilang "memang rumput manila itu cantik tapi rumput ya tetap rumput, ini namanya pengibulan".

Dunia virtual pun tak semenarik menonton film Ready Player One yang menjemukan mata itu. Twitter jadi ajang keributan dua kutub politik. Bahkan kini perang sesungguhnya sudah terdisrupsi secara digital, muncullah perang cyber army yang melelahkan mata, tak semenarik bermain mobile legend yang mampu mempertemukan dua cinta. 

Maka tahun politik ini menjadi ujian implementasi nilai-nilai pancasila. Kita memahami bangsa ini sebagai bangsa yang relijius, tentunya sebagian memahami memilih pemimpin muslim adalah perintah Agama, tetapi kita juga mesti menghormati mereka yang menganggap memilih pemimpin tidak harus berdasarkan agama saja, namun melihat kinerjanya selama ini (track record). 

Bangsa yang relijius tentu memahami mana pemimpin yang punya attitude, integritas, kejujuran, dan menjadi teladan bagi para kader-kader partainya dan masyarakat di sekitarnya. Memahami mana pemimpin yang bekerja seperti burung yang tak kenal lelah atau menjadi keong yang muncul dan pergi di saat butuh saja. Memahami mana pemimpin yang tampak berada di garis depan barisan pejuang-pejuang agama, namun di belakang tak mampu menjadi takwa karena anak-anaknya merusak tatanan norma agama. 

Jika kebebasan politik mampu menjaga persatuan dan kesatuan, maka disitulah kita dapat menjustifikasi bahwa bangsa ini telah dewasa, ingat bahwa memahami pancasila tidaklah terpisah-pisah, seperti cara sebagian orang memahami teks-teks dalam Kitab secara parsial. Memahami pancasila sebagai suatu bangunan filosofis hirarkis piramidal, itu mutlak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun