Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Rekriminalisasi Delik Penghinaan Presiden

27 Maret 2018   16:23 Diperbarui: 2 April 2018   10:18 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://kabarkota.com/masyarakat-sipil-pasal-penghinaan-masuk-dalam-ruu-kuhp-bukti-matinya-demokrasi-di-indonesia/

Pembaruan hukum pidana (penal reform) merupakan agenda nasional yang berkaitan langsung dengan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Validitas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisan kolonial atau WvS (Wetboek va Straftrecht) masih berlaku hingga saat ini berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. 

Kondisi tersebut seolah menggelitik harga diri, tingkat kreativitas dan daya intelektualitas pada proses legislasi oleh Pemerintah dan para legislator. Adagium lex dura sed tamen scriptaterasa menggema di ruang-ruang akademis, meskipun pada proses perkembangannya terdapat beberapa kebijakan hukum pidana (penal policy) yang menyasar pada aspek-aspek khusus (lex specialist) demi mengakomodir progresivitas kejahatan akibat perkembangan masyarakat yang cukup pesat.

Pembangunan hukum merupakan sebuah proses yang tidak akan mencapai kata final, terutama pada proses penal reform.Upaya untuk merekodifikasi KUHP sesuai cita rasa Nusantara memang membutuhkan proses yang panjang untuk sekedar memahami esensi kehidupan sosial dan budaya serta nilai-nilai moralitas yang terkandung  di dalam pancasila. Dalam perjalanannya KUHP mengalami berbagai macam dinamika mulai dari konversi beberapa delik menjadi undang-undang yang lebih khusus (lex specialist) hingga pada proses dekriminalisasi oleh Mahkamah Konstitusi. 

Di antara beberapa pasal yang terkena nasib dekriminalisasi adalah pada delik penghinaan terhadap kepala negara (hatzaai artikelen). Menarik untuk disimak bahwa delik penghinaan terhadap presiden yang sudah terkubur secara inkonstitusional oleh proses dekriminalisasi di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut kini coba dihidupkan kembali atau direkriminalisasi. Polemik tersebut menimbulkan perdebatan panjang dalam kajian ketatanegaraan mengenai dapat tidaknya suatu pasal yang validitasnya sudah mati kembali mengalami reinkarnasi. Diskursus dalam kajian hukum hukum pidana juga menyoal mengenai potensi overkriminalisasi dalam delik tersebut.

Penghinaan terhadap presiden secara historis diformulasi bukan untuk kepentingan presiden, namun dikriminalisasi guna kepentingan melindungi martabat keluarga kerajaan Belanda (lese majeste). Selain itu terdapat juga pasal-pasal yang menyebar kebencian atau penghinaan terhadap pemerintahan (hatzaai artikelen) yang terdapat di dalam WvS. Kemudian mendapatkan tempat tersendiri bagi eksistensi kekuasaan kepresidenan atau pemerintahan di dalam KUHP Indonesia, namun eksistensinya harus berakhir dalam ketukan palu 9 Hakim Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Jika di tengok kebelakang yang menjadi ratio legispara Hakim Konstitusi adalah pasal penghinaan terhadap presiden merupakan warisan kolonial yang tidak sesuai dengan peradaban demokrasi di Indonesia, sehingga sangat urgensial jika kandungan kolonial tersebut segera untuk didekolonisasi.

Tujuan lahirnya delik tersebut secara historis adalah demi kepentingan Ratu Belanda saat menjajah Indonesia, artinya demi kepentingan kolonial sehingga aturan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai peradaban bangsa yang anti kolonialisme sesuai dengan amanat Pembukaan UUD NRI 1945 dan nilai-nilai bangsa yang tertuang sebagai konstitusi tidak tertulis. Konsekuensi dari putusan MK menurut pakar Tata Negara IrmanputraSidinbahwa putusan MK adalah konstitusi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Antara putusan MK dengan UUD NRI 1945 memiliki derajat yang sama sehingga hukum yang tercipta dari putusan MK menjadi konstitusi yang tidak dapat di ganggu gugat lagi mengingat putusan MK yang sifatnya final dan mengikat.

 Menghidupkan kembali delik penghinaan terhadap presiden merupakan suatu overkriminalisasi yang menggambarkan karakteristik KUHP menjadi lebih represif dibandingkan dengan warisan kolonial. Jika kita telaah terdapat beberapa poin yang perlu dikaji dalam reformulasi delik tersebut. Pertama,rekriminalisasi delik penghinaan terhadap presiden yang statusnya hingga saat ini masih inkonstitusional harus mengacu pada putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 atau perlu dilakukan sinkronisasi terlebih dahulu dengan putusan tersebut agar tidak mendegradasi kesucian MK sebagai penafsir konstitusi (the intreper of constitution). Kedua,perlu dilakukan kajian secara sosiologis dan filosofis lebih mendalam untuk dapat memahami urgensi rekriminalisasi delik tersebut.

Penulis memahami bahwa dalam setiap proses legislasi tentu mengacu pada kualitas hasil kajian yang mendalam baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis dalam bentuk naskah akademik, tetapi mengingat alasan para pembuat undang-undang secara argumentum peranalogiamyang mengacu pada hasil kajian komparasi dengan negara-negara lain yang juga memiliki delik penghinaan terhadap presidennya sendiri dan secara yuridis di dalam KUHP nasional masih terdapat delik penghinaan terhadap negara lain maka terdapat asumsi yang sifatnya paradoks, sehingga sangat dimungkinkan lagi agar delik tersebut mengalami reinkarnasi dengan syarat harus mengakomodir aspek sosiologis dan filosofis bangsa Indonesia. Ketiga,rekriminalisasi delik penghinaan terhadap kepala negara harus dibarengi dengan proses reinkarnasi. 

Mengutip pendapat Damang (Tribun timur, 15 februari 2018), reinkarnasi adalah suatu keadaan dimana seseorang terlahir kembali dalam jasad yang baru dan jiwa yang baru. Rekriminalisasi dengan konsep reinkarnasi tersebut memaksa para pembuat undang-undang secara wajib untuk merumuskan delik tersebut secara jelas, tidak bias, tidak ambigu, multitafsir atau yang sering disebut sebagai pasal karet. Jika hal ini tidak difokuskan, maka dikhawatirkan terjadi peningkatan jumlah tertangkapnya seseorang akibat diduga mengeluarkan sebuah pernyataan yang berbau penghinaan. 

Tentu masyarakat akan bertanya-tanya sejauh mana batasan yang dapat digariskan antara suatu statement yang bernilai kritis dengan suatu sentimen yang berbau penghinaan?  Keempat,perlu dikaji kembali mengenai pola pemidanaan dengan model non-custodialterhadap siapapun yang diduga melakukan penghinaan terhadap presiden melalui pendekatan restorative justice,mengingat overkriminalisasi pada RKUHP sangat berpotensi menambah jumlah calon penghuni Lapas (overcapacity) yang antara jumlah penghuninya dengan angka ketersediaan Lapas tidak berbanding lurus. 

Pendekatan restorative justiceperlu ditingkatkan untuk meminimalisir potensi overcapacitymengingat jiwa RKUHP yang ingin dibangun adalah sesuai dengan tujuan pemidanaan yang ingin merestorasi atau pemulihan keseimbangan (restitutio in integrum), sedangkan pola pemidanaan model custodialbagi perkara ecek-ecek seperti ini hanya akan semakin membangun perkembangan kejahatan itu sendiri (the academy of crime). Pidana denda, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial jauh lebih efektif untuk diterapkan terhadap jenis delik tersebut baik secara kumulatif maupun alternatif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun