Mohon tunggu...
Moh. Fadhil
Moh. Fadhil Mohon Tunggu... Dosen - Dosen IAIN Pontianak

Lecturer - Mengaji dan mengkaji hakekat kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arogansi Vs Hak Asasi Fredrich Yunadi

7 Maret 2018   06:03 Diperbarui: 7 Maret 2018   11:45 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini (Selasa, 6 Maret 2018) mungkin akan menjadi hari yang sangat emosional bagi seorang Fredrich Yunadi yang menjalani agenda pembacaan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta. Kursi pemeriksaan sontak berubah menjadi kursi 'panas' pesakitan bagi mantan pengacara Setya Novanto tersebut. Pasalnya eksepsinya ditolak oleh majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut. 

Dengan nada meninggi Fredrich meminta untuk banding, namun ketua majelis menjelaskan tidak ada upaya hukum lanjutan atas putusan sela. Selain permohonan banding, Fredrich juga mengajukan beberapa permohonan terkait materi praperadilan yang pernah dia ajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk dibahas kembali, mempersoalkan status penyidik KPK yang sudah berhenti  dari kepolisian, memeriksa dokumen penyidikan yang dibuat oleh KPK yang menurut Fredrich terindikasi sebagai dokumen palsu, terakhir meminta majelis hakim untuk menghadirkan Ketua KPK Agus Raharjo, Deputi Penindakan KPK Heru Winarko dan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman. Baca (Fredrich Yunadi Melawan Hakim). 

dari beberapa permohonan yang diajukan oleh terdakwa di atas ternyata tidak ada satupun yang dikabulkan oleh majelis hakim. Sontak hal tersebut membuat berang sang pemilik kumis tebal itu. Fredrich lalu mengancam untuk tidak hadir lagi pada sidang selanjutnya, karena merasa ada hak-haknya yang telah dilanggar dalam persidangan kali ini. 

Berikut beberapa catatan menarik yang dapat penulis uraikan terkait dengan drama persidangan Fredrich Yunadi beserta penjelasan hukumnya. 

Pertama, tidak ada upaya hukum terhadap putusan sela, namun, terdapat instrumen berupa perlawanan (verzet) yang dapat dilakukan oleh Fredrich terhadap isi putusan sela yang menolak eksepsinya. Hal ini berdasarkan pasal 156 KUHAP, yaitu:

(4) Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya diterima oleh pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu;

(5) a. Dalam hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh terdakwa atau penasihat hukumnya kepada pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari sejak ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan terdakwa, pengadilan tinggi dengan keputusan membatalkan keputusan pengadilan negeri yang bersangkutan dan menunjuk pengadilan negeri yang berwenang;

b. Pengadilan tinggi menyampaikan salinan keputusan tersebut kepada pengadilan negeri yang berwenang dan kepada pengadilan negeri yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara untuk diteruskan kepada kejaksaan negeri yang telah melimpahkan perkara itu.

Menurut penulis andai Fredrich mengikuti prosedur hukum dan tetap kooperatif, maka keuntungan juga bisa berpihak padanya, yakni terselenggaranya asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan (speedy of administration justice), sehingga jika proses persidangan berjalan lancar maka Fredrich dapat menggunakan instrumen tersebut bersama-sama dengan proses banding dengan asumsi amunisi yang digunakan jauh lebih terstruktur dan utuh, ketimbang terjebak pada ego profesinya. Keuntungan lainnya jika sampai proses akhir Fredrich tetap bersalah, maka setidaknya majelis hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang meringankan. 

Kedua, mengenai hak imunitas yang melekat pada profesi advokat sesuai pasal 16 UU Advokat yang menyatakan:

"Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.”

Pasal 16 UU Advokat di atas juga telah diperluas oleh putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 mengenai hak imunitas tidak hanya berlaku di dalam sidang pengadilan, tetapi juga termasuk di luar sidang pengadilan sepanjang menjalankan tugas profesinya. 

Mengenai hal tersebut Sekjen Peradi versi Fauzie Hasibuan, Thomas E. Tampubolon berpandangan hak imunitas ini tidaklah bersifat mutlak dan mempunyai batasan terutama itikad baik. Menurutnya, selama advokat menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik sesuai peraturan perundang-undangan dan kode etik, maka advokat tersebut tidak dapat dipidana baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan, baca (Pergeseran tafsir obstruction of justice).

Inti dari hak imunitas yang melekat pada profesi advokat penekanannya terletak pada i'tikad baik. Sepanjang hal ini diabaikan bahkan jika strateginya cenderung sampai pada pelanggaran hukum berupa pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia dan peraturan perundang-undangan demi kepentingan klien, maka hak imunitas menjadi gugur dengan sendirinya. Siapa yang berwenang untuk menilai hal tersebut? Menurut majelis hakim perkara a quo harus diserahkan pada proses pembuktian di sidang pengadilan, baca (Pandangan ahli tentang hak imunitas).

Ketiga, mengenai kewenangan mengadili yang menjadi poin keberatan Fredrich atas pasal 21 UU Tipikor yang didakwakan kepadanya pada dasarnya memiliki sifat delik umum, namun mengingat keberadaannya sebagai irisan dari perkara tipikor maka delik tersebut melekat pada delik tipikor yang menjadi delik utamanya, sehingga sifatnya menjadi delik khusus yang merupakan satu kesatuan dari delik tipikor. Mengingat dugaan Fredrich yang merintangi proses penyidikan perkara tipikor, maka proses perintangan tersebut inheren dengan delik tipikor yang diduga sengaja untuk dihalang-halangi (obstruction of justice), maka tidak ada alasan yang menjustifikasi kewenangan absolut tersebut.

Keempat, mengenai dokumen-dokumen penyidikan terhadap kasusnya yang menurut Fredrich adalah dokumen palsu (illegal secured evidence) memang bukan pada domain eksepsi yang harus kembali memeriksa prosedur formal penyidikan, penulis sependapat dengan majelis hakim sebaiknya di proses secara hukum, namun menurut hemat penulis jika dalam rangkaian praperadilan telah menguji keabsahan cara memperoleh alat bukti (examinating judge), maka penolakan terhadap permohonan praperadilan adalah sebuah keniscayaan. 

Perlawanan Fredrich yang tetap keukeh terhadap substansi permohonan praperadilannya hanya menyisakan ego persepsi tanpa adanya bukti tandingan yang matang. Jika rasa ketidakpuasan tumpah ruah sebagai hasrat individual, maka beliau tidak akan berhenti sampai hasrat itu terpenuhi. Kewenangan examinating judge memang tidak akan menimbulkan kepuasan hingga dugaan dalam illegal secured evidence dapat diperiksa dalam ranah investigating judge,baca (Praperadilan dan permasalahannya).

Kelima, mengenai permohonan untuk mendatangkan para pimpinan KPK dan untuk memeriksa para penyidik KPK yang sudah tidak bertugas lagi, hal tersebut menjadi kewenangan majelis hakim dan jika Fredrich tidak menerima pertimbangan majelis hakim yang menolak hal tersebut, maka tidak ada alasan bagi seorang Fredrich untuk beradu arogansi dengan majelis hakim yang hanya akan mendistorsi proses pembelaannya dan berakhir destruktif. 

Keenam, ancaman Fredrich untuk tidak hadir di persidangan selanjutnya (in absentia) padahal dirinya sedang dalam proses penahanan tidak dapat dibenarkan. Meskipun dalam pasal 26 UU Tipikor proses persidangan secara in absentia dapat dilakukan, namun pengalaman praktik di lapangan kondisi tersebut dapat dilakukan jika terdakwa melarikan diri atau ada kondisi tertentu yang menyebabkan penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa, walaupun sudah dipanggil secara sah dan sesuai dengan prinsip due process of law.

Jika Fredrich tetap keukeuh pada pendiriannya, maka hakekatnya hal tersebut justru menjadi bumerang bagi dirinya. Filosofi proses persidangan dengan kehadiran terdakwa adalah mekanisme pemenuhan HAM terdakwa yang tertuang pada UUD NRI 1945 dan ICCPR. Kerugian terbesarnya hanya akan menghambat proses pembuktian dan menghasilkan pertimbangan-pertimbangan yang kurang obyektif dan bias. Hasilnya tentu melahirkan putusan yang kontraproduktif pada tercapainya keadilan dan pemenuhan HAM. 

Alangkah bijaknya bagi seorang Fredrich untuk tetap kooperatif dan menghormati proses hukum yang berjalan. Bukankah hal tersebut telah dipelajari oleh para advokat saat menempuh Pendidikan Khusus Profesi Advokat. Jika tetap tidak bergeming maka sesungguhnya Fredrich sedang menggali kuburannya sendiri.

Salam hangat. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun