Pasal 16 UU Advokat di atas juga telah diperluas oleh putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 mengenai hak imunitas tidak hanya berlaku di dalam sidang pengadilan, tetapi juga termasuk di luar sidang pengadilan sepanjang menjalankan tugas profesinya.Â
Mengenai hal tersebut Sekjen Peradi versi Fauzie Hasibuan, Thomas E. Tampubolon berpandangan hak imunitas ini tidaklah bersifat mutlak dan mempunyai batasan terutama itikad baik. Menurutnya, selama advokat menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik sesuai peraturan perundang-undangan dan kode etik, maka advokat tersebut tidak dapat dipidana baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan, baca (Pergeseran tafsir obstruction of justice).
Inti dari hak imunitas yang melekat pada profesi advokat penekanannya terletak pada i'tikad baik. Sepanjang hal ini diabaikan bahkan jika strateginya cenderung sampai pada pelanggaran hukum berupa pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia dan peraturan perundang-undangan demi kepentingan klien, maka hak imunitas menjadi gugur dengan sendirinya. Siapa yang berwenang untuk menilai hal tersebut? Menurut majelis hakim perkara a quo harus diserahkan pada proses pembuktian di sidang pengadilan, baca (Pandangan ahli tentang hak imunitas).
Ketiga, mengenai kewenangan mengadili yang menjadi poin keberatan Fredrich atas pasal 21 UU Tipikor yang didakwakan kepadanya pada dasarnya memiliki sifat delik umum, namun mengingat keberadaannya sebagai irisan dari perkara tipikor maka delik tersebut melekat pada delik tipikor yang menjadi delik utamanya, sehingga sifatnya menjadi delik khusus yang merupakan satu kesatuan dari delik tipikor. Mengingat dugaan Fredrich yang merintangi proses penyidikan perkara tipikor, maka proses perintangan tersebut inheren dengan delik tipikor yang diduga sengaja untuk dihalang-halangi (obstruction of justice), maka tidak ada alasan yang menjustifikasi kewenangan absolut tersebut.
Keempat, mengenai dokumen-dokumen penyidikan terhadap kasusnya yang menurut Fredrich adalah dokumen palsu (illegal secured evidence) memang bukan pada domain eksepsi yang harus kembali memeriksa prosedur formal penyidikan, penulis sependapat dengan majelis hakim sebaiknya di proses secara hukum, namun menurut hemat penulis jika dalam rangkaian praperadilan telah menguji keabsahan cara memperoleh alat bukti (examinating judge), maka penolakan terhadap permohonan praperadilan adalah sebuah keniscayaan.Â
Perlawanan Fredrich yang tetap keukeh terhadap substansi permohonan praperadilannya hanya menyisakan ego persepsi tanpa adanya bukti tandingan yang matang. Jika rasa ketidakpuasan tumpah ruah sebagai hasrat individual, maka beliau tidak akan berhenti sampai hasrat itu terpenuhi. Kewenangan examinating judge memang tidak akan menimbulkan kepuasan hingga dugaan dalam illegal secured evidence dapat diperiksa dalam ranah investigating judge,baca (Praperadilan dan permasalahannya).
Kelima, mengenai permohonan untuk mendatangkan para pimpinan KPK dan untuk memeriksa para penyidik KPK yang sudah tidak bertugas lagi, hal tersebut menjadi kewenangan majelis hakim dan jika Fredrich tidak menerima pertimbangan majelis hakim yang menolak hal tersebut, maka tidak ada alasan bagi seorang Fredrich untuk beradu arogansi dengan majelis hakim yang hanya akan mendistorsi proses pembelaannya dan berakhir destruktif.Â
Keenam, ancaman Fredrich untuk tidak hadir di persidangan selanjutnya (in absentia) padahal dirinya sedang dalam proses penahanan tidak dapat dibenarkan. Meskipun dalam pasal 26 UU Tipikor proses persidangan secara in absentia dapat dilakukan, namun pengalaman praktik di lapangan kondisi tersebut dapat dilakukan jika terdakwa melarikan diri atau ada kondisi tertentu yang menyebabkan penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa, walaupun sudah dipanggil secara sah dan sesuai dengan prinsip due process of law.
Jika Fredrich tetap keukeuh pada pendiriannya, maka hakekatnya hal tersebut justru menjadi bumerang bagi dirinya. Filosofi proses persidangan dengan kehadiran terdakwa adalah mekanisme pemenuhan HAM terdakwa yang tertuang pada UUD NRI 1945 dan ICCPR. Kerugian terbesarnya hanya akan menghambat proses pembuktian dan menghasilkan pertimbangan-pertimbangan yang kurang obyektif dan bias. Hasilnya tentu melahirkan putusan yang kontraproduktif pada tercapainya keadilan dan pemenuhan HAM.Â
Alangkah bijaknya bagi seorang Fredrich untuk tetap kooperatif dan menghormati proses hukum yang berjalan. Bukankah hal tersebut telah dipelajari oleh para advokat saat menempuh Pendidikan Khusus Profesi Advokat. Jika tetap tidak bergeming maka sesungguhnya Fredrich sedang menggali kuburannya sendiri.
Salam hangat.Â