Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok  melalui kuasa hukumnya Josefina Agatha Syukur mengajukan Peninjauan Kembali atau PK yang menandakan titik balik perjuangan seorang Ahok.
Setelah lama tak bergeming dan memilih untuk tidak mengajukan banding. Tentu pilihan tersebut pada akhirnya mencapai titik klimaks perang argumentasi publik yang selama beberapa bulan terus bergentayangan di jagat media televisi, media cetak dan elektronik termasuk jagat media sosial.Â
Pihak Kontra dengan nada kemenangan mengamini bahwa memang Ahok sudah mengakui pernyataannya di Kepulauan Seribu adalah sebuah kesalahan yang berujung pada pemidanaan sehingga beliau tidak mengajukan banding, sedangkan pihak pro dengan penuh kebanggaan menganggap sikap Ahok adalah sikap jantan seorang negarawan. Terlepas dari hal tersebut yang kini mulai surut, babak baru kasus Ahok season 2 segera dimulai.Â
Peninjauan Kembali: Sebuah Steategi
Setelah beberapa bulan Ahok menjalani masa pemidanaan setelah meyakini untuk menerima putusan hakim, hal tersebut menimbulkan konsekuensi logis bahwa siapapun seseorang yang menjadi pesakitan di kursi panas pemeriksaan sidang pengadilan, lalu menerima segala keputusan hukum yang timbul setelahnya tanpa melakukan upaya hukum banding yang pada dasarnya diketahuinya sebagai hak yang dapat dia pergunakan secara instrumental, berarti seseorang tersebut telah memahami, mengetahui dan mengamini bahwa dia telah bersalah melakukan pelanggaran terhadap suatu aturan pidana. Hal tersebut juga berlaku bagi Ahok, hal ini dalam hukum kita sebut sebagai res judicata.
Persepsi tersebut seolah retak setelah kuasa hukum Ahok mengajukan peninjauan kembali atau PK pascaputusan tersebut berkekuatan hukum tetap (rechtzekerheid). Tentu publik akan bertanya-tanya mengapa Ahok yang seolah sudah menerima dan ikhlas dengan putusan hakim tingkat pertama yang menyatakan dirinya bersalah kembali mengajukan suatu upaya perlawanan? Apakah Ahok tidak konsisten dengan keputusannya? Atau Mungkinkah Ahok mulai ragu bahwa sesungguhnya dirinya tidak bersalah?
Penulis tidak ingin terbawa arus pada asumsi-asumsi tersebut, bahwasanya PK adalah hak yang dimiliki oleh terpidana sebagai bagian dari upaya hukum luar biasa, namun ada satu hal yang perlu digarisbawahi tentang sikap Ahok dan tim  kuasa hukumnya, lebih tepatnya PK adalah bagian dari strategi
 Jika kita telaah secara kultural bahwa siapapun yang merasa dirinya tidak bersalah sudah pasti akan melakukan segala upaya hukum dari yang biasa hingga luar biasa untuk melawan ketidakadilan, tengok saja Antasari Azhar. Berbeda dengan Ahok yang justru tidak mengambil jalur panjang tersebut, menerima putusan hakim, menjalankan pemidanaan selama beberapa bulan, lalu melakukan serangan balik lewat upaya hukum luar biasa, sungguh hal yang tidak biasa.Â
Pertama, sikap Ahok menerima putusan pemidanaannya adalah cara untuk meredam benturan massa antara yang pro terhadap dirinya dengan pihak yang kontra yang pada saat itu tengah berada pada titik klimaks dan berpotensi memperluas konflik yang ada baca (Alasan Ahok baru ajukan upaya hukum). Pepatah mundur selangkah untuk melompat lebih jauh tepat untuk menggambarkan langkah Ahok tersebut.Â
Kedua, menerima putusan agar berkekuatan hukum tetap (rechtzekerheid) sembari menunggu vonis hakim terhadap Buni Yani adalah langkah strategis selanjutnya. Perlu kita ketahui putusan terhadap Ahok diketok pada bulai mei tahun 2017, sedangkan Buni Yani baru merasakan pahitnya ketukan palu hakim pada bulan november 2017, maka tidak heran jika dalam memori PK yang dibuat tim kuasa hukum Ahok mengacu pada putusan Buni Yani.Â
Catatan terhadap Peninjauan Kembali Ahok
Ada beberapa catatan yang dapat kita telaah terhadap PK tersebut :
Pertama, apakah putusan Buni Yani dapat dijadikan dasar pengajuan PK? Pasal 263 ayat (2) KUHAP menguraikan alasan pengajuan PK antara lain :
a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila  dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Jadi inti dari Pasal 263 ayat (2) KUHAP alasan pengajuan PK, yaitu adanya keadaan baru, adanya pertentangan putusan dan kekhilafan hakim.Â
Pada beberapa kesempatan tim kuasa hukum Ahok membeberkan alasan pengajuan PK. Ada 2 Alasan yang diajukan, yaitu adanya kekhilafan hakim dan adanya kekeliruan yang nyata dengan merujuk pada putusan Buni Yani yang dianggap tidak selaras dengan putusan Ahok. Baca (Dua Alasan PK Ahok).
Menurut tim kuasa hukumnya, meski secara teks dakwaan keduanya berbeda, tetapi kontekstualisasinya sesungguhnya sama atau paralel. Seharusnya jika Buni Yani diputus bersalah melanggar UU ITE karena telah mengedit dan menyebarluaskan video Ahok di Kepulauan Seribu, maka Ahok sejatinya adalah korban dan sangat tidak patut baginya dianggap bersalah melakukan penistaan agama, mengingat menurut mereka tidak ada saksi yang protes dengan pernyataan beliau saat itu, barulah setelah beberapa hari sesudahnya saat Buni Yani memposting video tersebut dengan captionnya yang menggelitik menimbulkan kegaduhan publik. Baca (Alasan PK Ahok).Â
Buni Yani yang divonis bersalah membuka mata Ahok dan tim kuasa hukumnya bahwa dari putusan Buni Yani tersebut telah jelas dan terang benderang akan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata yang dilakukan oleh majelis hakim yang memutus perkara Ahok.
Menurut hemat penulis alasan tersebut tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata, sebab majelis hakim yang memutus perkara Ahok tidak terikat pada perkara Buni Yani yang nyata-nyata berada pada wilayah dakwaan yang berbeda dengan Ahok, bahkan perkara Ahok jauh lebih dulu diputus pada bulan mei 2017, sedangkan perkara Buni Yani baru diputus pada november 2017. Perlu digarisbawahi bahwa hingga saat ini putusan Buni Yani belum berkekuatan hukum tetap, jadi belum ada acuan dapat dilegitimasikan.
Kedua, apakah putusan Buni Yani dapat menjadi alasan adanya pertentangan putusan? Jika kita telaah bersama memang ada kontekstualisasi yang paralel diantara dua putusan tersebut, akan tetapi adanya disparitas putusan tidak dapat dilihat pada kontekstualisasinya tersebut, melainkan kriteria utamanya adalah adanya perkara yang sama berdasarkan dakwaan yang sama yang menghasilkan disparitas putusan atau dua putusan yang memutus dakwaan yang sama, namun terjadi pertentangan di dalamnya yang dapat merugikan salah satu terpidana, contoh A didakwa mencuri bersama-sama dengan B lalu A diputus bersalah sekian tahun, tetapi B diputus berbeda dengan pertimbangan yang bertentangan. Pada kasus Ahok dan Buni Yani justru berbeda, Ahok didakwa pasal penistaan agama (vide pasal 156 KUHP), Â sedangkan Buni Yani didakwa berdasarkan UU ITE. Jadi menurut hemat penulis putusan Buni Yani tidak dapat dijadikan acuan untuk menilai suatu pertentangan tersebut.Â
Ketiga, Kekhilafan hakim lainnya yang diungkapkan oleh tim kuasa hukumnya adalah ada beberapa fakta yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, misalnya pendapat ahli yang diabaikan, kondisi di TKP, yakni para penduduk setempat yang tidak tersinggung, video pernyataan Gus Dur tentang pemimpin non-muslim yang tidak dipertimbangkan, sikap kooperatif Ahok yang tidak dijadikan pertimbangan, untuk hal ini menurut hemat penulis dapat dijadikan alasan adanya kekhilafan hakim, sehingga sah-sah saja, Â namun pada akhirnya MA yang akan menilai alasan-alasan tersebut.Â
Keempat, dalam menjalani PK, Ahok boleh diwakili oleh penasehat hukumnya saja. Hal ini merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 yang memperluas pasal 263 ayat (1) KUHAP.Â
Kelima, perlu adanya suatu penafsiran yang konkret oleh Mahkamah Agung mengenai apa yang dimaksud dengan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dengan mencantumkan kriteria-kriteria atau batasan-batasan di dalamnya agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H