"...beranilah menjadi benar, meskipun sendirian." - Baharuddin Lopa
Realitas pemberantasan korupsi di Indonesia terus mengalami gelombang yang dahsyat. Pansus hak angket KPK yang tak henti-hentinya menggerogoti tubuh internal KPK dengan berbagai macam intervensi yang parahnya dilegitimasi oleh alasan kewenangan hak angket secara konstitusional terhadap suatu institusi KPK yang hingga hari ini masih diperdebatkan letak kekuasaannya yang berada pada wilayah ambiguitas. Berbekal pada solidaritas politik dan persepsi internal DPR RI yang lebih cenderung mencium aroma kekuasaan eksekutif dalam tubuh KPK, sehingga legitimasi terhadap pansus hak angket KPK diafirmasi oleh hampir seluruh anggota DPR RI.Â
Memang benar yang dikatakan oleh Margarito Kamis, bahwa bagaimanapun independensi kekuasaan suatu lembaga negara yang seolah-olah berada pada wilayah ambiguitas kekuasaan, tetap dapat untuk dilakukan pengawasan secara eksternal, mengingat pengawasan adalah bentuk dari implementasi demokrasi dan merupakan wujud dari pengamalan nilai-nilai pancasila, sebaliknya lembaga negara yang diformulasi untuk tidak dapat diawasi merupakan pencerminan dari paham negara liberal. Masalahnya adalah apakah kehadiran pansus hak angket KPK benar-benar urgen untuk dilaksanakan saat ini? Â
Mari kita lupakan sejenak persoalan pansus hak angket yang melelahkan itu sembari menunggu MK mengeluarkan titah konstitusionalnya sambil tetap menikmati tatapan prasangka DPR terhadap KPK. Bahwa keberadaan KPK justru menjadi anomali dengan korupsi yang terus merajalela, ujar salah satu anggota DPR (Baca :Â Pandangan Anggota DPR terhadap kinerja KPK). Pandangan tersebut cenderung skeptis dalam membangun politik pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut penulis, sebagai anggota Komisi III DPR yang tupoksinya di bidang hukum, seharusnya tidak melihat suatu permasalahan terbatas pada apa yang ada atau faktual belaka (is/das sein) tanpa melihat bagaimana mengonstatasi permasalahan tersebut untuk mencari hambatan-hambatan (barriers) yang merintanginya agar menghasilkan rekomendasi berupa reformasi pemberantasan korupsi bagi KPK terutama mengevaluasi UU KPK dan UU Tipikor sebagai paradigma "yang seharusnya" (ought to/das sollen) bagi masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia.Â
Pandangan tersebut rentan untuk tetap membuat KPK terbelenggu pada pusaran arus yang tak menentu, ibarat kapal terbang yang harus menghadapi kenyataan akan badai yang siap menerjang, namun ATF (air traffic control) ikut kebingungan, alhasil pesawat terbelenggu pada disorientasi. Paradigma yang seharusnya memungkinkan bagi reformasi pemberantasan korupsi adalah membangun sistem yang luar biasa (extra-ordinary measures) dan membangun komitmen serta kepercayaan penuh pada kinerja KPK agar KPK tidak lagi menjadi sang David kecil melawan Goliath.
Densus Tipikor dan Reformasi Sistem Pemberantasan Korupsi
Toh di saat DPR tetap bergeming dengan terus mengendus KPK bagaikan rusa yang terperangkap di kandang macan, tiba-tiba Kapolri sebagai pucuk kekuasaan tertinggi di tubuh kepolisian menawarkan menu hangat baru kepada DPR bernama "densus tipikor". Tentu penulis sangat mengapresiasi niat tulus Kapolri yang gerah dengan perilaku korup yang semakin merajalela, namun tawaran konsep tersebut membutuhkan kajian yang matang agar tidak terjadi disorientasi apalagi sekedar unjuk gigi sebagai kompetitor. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan diskursus, yakni :
1. Melakukan kajian mendalam tentang urgensi pembentukan densus tipikor, baik berupa sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal dan horizontal dengan melihat berbagai kemungkinan dalam membangun sistem pemberantasan korupsi yang terintegrasi antarlembaga.
2. Fokus densus tipikor sebaiknya untuk reformasi institusi Kepolisian RI untuk menembuhkan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.
3. Mengingat sulitnya prosedur pada poin 1 dan 2 yang memerlukan anggaran yang sangat besar, ada baiknya jika anggaran tersebut dialihkan untuk fokus pada reformasi politik pemberantasan korupsi dengan cara :
a. Reformasi struktur KPK, berupa membangun sarana dan prasarana, meningkatkan kuantitas penyidik yang berkualitas, membangun jejaring KPK di daerah-daerah, memperkuat kewenangan-kewenangan pemberantasan korupsi sebagai sesuatu yang extra-ordinary measures.
b. Reformasi substansi berupa merevisi UU Tipikor untuk menyesuaikan dengan rekomendasi dari UNCAC (The United Nations Convention Against Corruption) terhadap berbagai perkembangan kejahatan tipikor yang bergerak ke arah kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Selanjutnya merevisi UU KPK untuk memperkuat kewenangan KPK terutama memperbaiki kewenangan penyadapan yang masih bias, sebaiknya kewenangan penyadapan untuk setiap penegak hukum (KPK, BNN, dll) dimuat dalam satu undang-undang, mengingat penyadapan merupakan instrumen yang masih bias pengaturannya di Indonesia (baca:Â Dilema Penyadapan dalam Penegakan Hukum).Â
Terakhir mempercepat lahirnya UU Perampasan Asset sebagai instrumen yang sangat urgen dimiliki untuk memberikan kewenangan perampasan aset (asset recovery) pelaku tipikor yang hingga hari ini sangat sulit dilakukan terutama jika aset tersebut berada di luar negeri. Tentunya kehadiran UU Perampasan Aset mesti didukung oleh kinerja pemerintah dalam membangun kerjasama Internasional dalam hal bantuan timbal balik (Mutual Legal Assistance) yang akan sangat memukul para koruptor secara psikologis dan membantu mempercepat pengembalian keuangan negara yang bocor akibat korupsi.
c. Reformasi kultur hukum anti korupsi dengan memperkuat fungsi trigger mechanism KPK terhadap lembaga-lembaga penegak hukum lainnya (Baca:Â Memberantas Korupsi Perlu Kolaborasi) . Fungsi tersebut dimaksimalkan untuk membangun iklim pemberantasan korupsi yang kondusif dan menumbuhkan komitmen bersama antarlembaga seperti yang dilakukan oleh ICAC Hongkong bersama Kepolisian Hongkong. Membangun integrasi antarlembaga terutama fokus pada reformasi institusi.Â
Semakin harmonis integrasi antarlembaga, semakin memperkuat senjata pemberantasan korupsi yang akan membuat keder para calon pelaku. Jika kultur hukum terbangun pada area institusi penegak hukum, maka masyarakat akan semakin menaruh respect terhadap kredibilitas aparat penegak hukum. Kepercayaan inilah yang ikut membangun kultur hukum pada masyarakat sebagai tenaga pendukung termasuk membangun sikap anti korupsi  yang meluas.
Pada akhirnya memberantas korupsi bukanlah sebuah proses yang final yang hanya berpangku dan menunggu hasil dari kinerja KPK terhadap intensitas kejahatan itu sendiri. Memberantas korupsi adalah suatu proses yang tak pernah berhenti. Kejahatan ibarat virus yang akan terus meregenerasi dirinya, maka pemberantasan tipikor juga adalah sebuah proses menuju progresivitas penegakan hukum yang ideal.Â
Mari kita bersama-sama mulai dari diri kita sendiri untuk membangun kultur hukum anti korupsi sembari berharap agar kultur hukum aparat penegak hukum juga terintegrasi dengan elemen struktur dan substansi agar sistem pemberantasan korupsi bekerja secara utuh, transformatif, fungsional dan menghasilkan tujuan yang orientatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H