Di sini harus di pertegas sejauh mana batasan-batasan ruang lingkup penghinaan terhadap presiden secara eksplisit di banding dengan penghinaan biasa, tentu kategorinya berbeda maka dikotomi antara keduanya perlu dipertegas dalam batasan yang kategoris dan konkrit, tentunya perlu pengkajian tentang pemahaman makna yang mendalam dikoneksikan dengan tujuan pembentukannya. Urgensinya agar makna yang terkandung tidak bias sehingga tidak berimplikasi pada mengsinonimkan antara makna kritik dan makna penghinaan itu sendiri. Hasilnya akan ada limitasi ambiguitas yang implikasinya menggerogoti hak kebebasan berpendapat sebagai hak konstitusi masyarakat Indonesia.
Akhirnya tak ada yang ingin melihat kesibukan media-media tanah air di masa mendatang yang sibuk menyoroti kasus-kasus penghinaan terhadap presiden yang bisa jadi menimbulkan kriminalitas, misalnya kritikan-kritikan yang di lontarkan oleh mahasiswa saat demonstrasi di jalanan, dalam diskusi-diskusi para akademisi, kritikan para ahli yang menyoroti kinerja presiden, maupun kritikan-kritikan dalam bentuk meme di media sosial yang kerap di lontarkan oleh netizen. Mengingat penghinaan umum adalah delik aduan maka segala macam tindakan yang menurut presiden secara subyektif adalah penghinaan akan dengan gampangnya ia melaporkan hal tersebut. Tentu potensinya akan menimbulkan ketakutan di mana-mana sehingga kebebasan berpendapat pun terganggu fondasinya oleh pemerintahan yang berkuasa. Bahkan kini pemerintah Belanda telah mengesampingkan aturan tersebut karena di anggap bertentangan dengan prinsip freedom of opinion and expression.
Pasal Penghinaan Presiden: Penyakit Kekuasaan atau Kewibawaan
Di sebut penyakit kekuasaan karena pengalaman bangsa Indonesia kehadiran pasal tersebut sangat merugikan bangsa kita terlebih tujuan eksistensinya demi kepentingan kokohnya pemerintahan yang berkuasa. Menurut Indriyanto Seno Adji dugaan pelanggaran terhadap defamasi (penghinaan) terhadap presiden tidak memiliki unsur eksplanasi tegas, namun implementasi praktik terjadi penyimpangan makna yang eksesif.
Diartikan implementasi sebagai “menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau meremehkan” terhadap presiden dirumuskan sebagai “penghinaan” terhadap presiden, hasilnya sering dilakukan penafsiran yang ekstensif bahkan menjadi “all embracing act” terhadap kebebasan menyatakan pendapat, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pengalaman berbicara bahwa pasal tersebut menjadi dasar bagi kekuasaan yang sedang berdiri saat itu dipergunakan untuk menjebloskan lawan-lawan politik ke tembok hotel prodeo artinya implementasinya menjadi instrument memperkokoh kekuasaan dan melabeli secara implisit ke arah otoritarian.
Tengok saja saat zaman kolonial dahulu, aturan tersebut di buat demi kepentingan memperkokoh kekuasaan penjajah atas bumi nusantara. Pemberontakan akan di anggap sebagai perlawanan terhadap pemerintahan dan akan di tumpas sampai ke akar-akarnya, bahkan yang lebih parah lagi saat seorang pribumi yang menuliskan sederet kegelisahannya terhadap kolonialisme maka saat itu juga pribumi tersebut akan berada dalam pengawasan penjajah dan dapat berakhir tragis. Salah satu korbannya ialah Bung Karno yang di tangkap setelah aksinya berorasi membakar semangat rakyat Indonesia. Saat Orde Lama, pasal tersebut digunakan oleh Bung Karno untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, sedangkan pada saat Orde Baru pasal tersebut menjadi alat untuk menancapkan kekuasaan otoritarian.
Di bagian terakhir saya ingin mengutip jawaban Presiden Jokowi yang diplomatis dan demokratis namun terkesan gundah dan seolah-olah curhat, yaitu “yah mau ada atau tidak ada pasal itu ya ngga masalah, itu kan masih RUU jadi terserah DPR hanya saja saya sudah terbiasa kok sejak jadi Walikota, Gubernur, hingga Presiden di caci, di hina, ya itu saja”.
Selengkapnya bunyi Pasal 263 ayat (1) RKUHP
“Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV"
Kemudian pada ayat (2) dijelaskan
"tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri".