Deklarasi pasangan Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit dan Bupati Agam Indra Catri sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada Sumbar Desember mendatang baru saja usai dilaksanakan pada Selasa (23/6) sore kemarin.
Deklarasi itu dilaksanakan di kantor DPD Partai Gerindra Sumbar dan dihadiri oleh beberapa pengurus DPD Sumbar tanpa kehadiran Ketua DPD Andre Rosiade, Sekretaris Ismunandi Syofyan dan Bendahara Feriyanto Gani.
Â
Tentu menarik untuk membahas nama yang mendeklarasikan diri sebagai calon di Pilkada, jika menyebut diri sebagai calon kepala daerah, hal itu belum pas diakui pada saat ini karena proses pendaftaran dan penetapan nama calon kepala daerah belum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU Sumbar).
Hal lain terkait keduanya adalah baik Nasrul Abit, maupun Indra Catri juga sama sama kader partai yang sama. Dari sisi keseimbangan politik, jelas hal ini terlalu berani mengingat pasangan ini konon mengabaikan
Membahas Pilkada, tahapan pelaksanaan Pilkada juga baru saja dimulai. Sebab setelah Perppu disahkan menjadi Undang undang terkait pelaksanaan Pilkada, tahapan Pilkada baru saja dimulai pada 15 Juni silam dengan melakukan pemutakhiran data pemilih.
Sementara pendaftaran pasangan bakal calon untuk ditetapkan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru bisa dilakukan pada tanggal 23 September.
Artinya, jika Nasrul dan Indra sudah menyebut sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, maka mereka bisa saja dikatakan tidak memahami aturan dengan mengaku sebagai calon. Hal itu seharusnya tidak mereka lakukan. Sebab, politisi dan elit pemerintahan mestinya melakukan pencerahan dan pendidikan politik kepada pemilih bukan sebaliknya.
Dikutip dari media www.klikpositif.com pengamat politik Universitas Andalas, Edi Indrizal menilai bahwa pencalonan Nasrul Abit dan Indra Catri belum final karena dalam deklarasi yang dihelat di DPD Gerindra Sumbar itu, tidak dihadiri oleh pengurus inti partai.
Saya melihat apa yang dilakukan oleh Nasrul Abit dan Indra Catri adalah sebuah manuver politik yang bisa menjatuhkan mereka sendiri. Alasannya karena di internal Gerindra sendiri, nama kedua tokoh ini konon tidak begitu direstui dan didukung oleh kader partai. Apalagi baik Nasrul dan Indra saat ini tengah dililit masalah yang berkaitan dengan persoalan hukum. Â
Nama Nasrul Abit namanya disebut sebut dan diduga terkena kasus kerusakan hutan lindung mangrove di Kawasan Mandeh dan pembangunan RSUD Painan. Khusus persoalan RSUD Painan, kini beberapa anggota DPRD Kabupaten Pesisir Selatan menggagas untuk pengajuan Hak Interpelasi kepada Pemkab Pessel setelah mendapat laporan audit pelaksanaan proyek dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Inspektorat setempat.
Sementara nama Indra Catri, sempat diperiksa di Polda Sumbar dalam kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh akun bodong Mar Yanto terhadap Mulyadi, anggota DPR RI Dapil Sumatera Barat II. Akun Mar Yanto bahkan tidak hanya dilaporkan oleh satu pihak semata, namun juga oleh beberapa tokoh terkemuka di Agam yang ikut menjadi korban hoax dan ujaran kebencian akun tersebut.
Jelas dapat diterima akal, bahwa manuver Nasrul dan Indra ini memang ditujukan untuk menggerek elektabilitas mereka yang saat ini terus merosot karena persoalan yang tengah mereka hadapi.
Nasrul Abit - Indra Catri Bisa Batal ?
Ada ungkapan bahwa di dalam politik memang tidak kenal kata pasti. Dalam politik, jika tidak digenggam dan ditangan, jangan diakui sebagai milik dan kekuasaan kita. Hal ini seperti akan berlaku pada deklarasi Nasrul Abit - Indra Catri kemarin. Bisa saja, nama keduanya terpental karena dinamika politik di internal partai pengusung.
Selain nama Nasrul Abit dan Indra Catri, sebelumnya, nama Sekjend DPD RI Dr. Dony Moenek dan Tokoh Aktifis Perempuan, Edriana sempat disebut sebut akan mengantongi SK rekomendasi dan pencalonan dari partai Gerindra. Keduanya bisa saja menggeser Nasrul Abit dan Indra Catri menjelang pendaftaran nanti.
Apalagi nama Dony Moenek, Sekjend DPD RI ini bahkan sempat santer akan diusung oleh Gerindra. Ia memiliki jaringan luas di level nasional. Mantan Direktur Jenderal Keuangan Daerah dan Wakil Rektor Institut Ilmu Pemerintaha Dalam Negeri (IPDN) itu adalah seorang birokat yang kenyang makan asam dan garam birokrasi. Apalagi Moenek juga dikenal dengan dan punya jalur sendiri ke Prabowo Subianto.
Sementara Edriana, juga tidak boleh dilupakan. Aktifis HAM perempuan dan memiliki jaringan luas ke beberapa lembaga donor ini juga tidak boleh dipandang enteng. Ia adalah tokoh yang pernah beberapa kali terlibat dalam penyusunan kebijakan pemerintah terkait pelaksanaan otonomi daerah dan isu isu perempuan. Apalagi perannya di "Kemitraan" Â sebuah konsorsium LSM untuk pendidikan politik dan pembangunan daerah sangat terasa saat ia menjabat sebagai salah satu deputi direktur di lembaga itu. Edriana juga dikenal sebagai kader yang mendapat perhatian dari Hasyim Djojohadikusumo adik kandung Prabowo.
Jadi, jika kemarin Nasrul Abit dan Indra Catri mendeklarasikan diri sebagai pasangan yang sudah direstui DPP Gerindra sebagai bakal calon hal itu perlu dipertanyakan. Apalagi mengacu pada penilaian Edi Indrizal, dalam deklarasi itu tidak dihadiri oleh pengurus inti Gerindra. Dekarasi yang seharusnya sakral dan khidmat itu terkesan main main dan tidak serius.
Tentu saja keganjilan ini tentu membuat masyarakat bertanya tanya dan sampai pada kesimpulan ini adalah sebuah manuver guna mengalihkan isu karena keduanya diduga punya masalah hukum yang cukup berat dan akan menyita pikiran mereka.
Masyarakat seperti diajak lupa dan tidak tahu bahwa dinamika politik itu ada. Keduanya terkesan mengabaikan opini dan penilaian masyarakat yang paham bahwa politik sangat dinamis dan bergelombang dan apalagi menjelang pendaftaran.
Kembali ke SK rekomendasi yang sudah dikantongi oleh Nasrul Abit dan Indra Catri, bisa saja malah kelak akan berubah menjadi nama Donny Moenek dan Edriana atau nama lain. Siapa tahu, sebab semua masih berpeluang diusung dan diajukan. Apalagi partai Gerindra dibawah pimpinan Prabowo yang dikenal sangat rasional dalam berpolitik. Prabowo tentu akan berhitung dengan cermat karena terkait peluangnya di Pilpres 2024 yang akan datang. Intinya Prabowo tidak mau kalah dan malu.
Lalu, masihkah kita percaya pada deklarasi kemarin sudah final dan tidak bisa berubah lagi?, ingat ini politik. Sudah banyak pelajaran berharga yang bisa dijadikan contoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H