Aku berjalan pelan-pelan, menggendong tas rangsel seberat satu ton dalam satu bahu dengan berpakaian seragam sekolah. Arlogi GUESS-ku menunjukkan pukul 16.00, dan kami baru menerima hasil ulangan umum midsemester. Di sebelah saya, sahabatku, Willy,asik mendengar lagu dari Oppo Reno4  seri terbarunya. Setiap berapa detik, terdengar bunyi "ding!" pesan baru.
     Bel usai sekolah sudah berdering dan kami sedang berjalan bersama menuju Mal Alam Sutera yang tidak jauh dari sekolahku. "Nanti kita nonton ajh, yuk!" ajak Willy. " Ayo... gua juga lagi malas, nih. Uang sakunya ga cukup buat macam-macam, "kusahut sambil menguap.
     Aku dan Willy berjalan terus, sebentar-sebentar berbincang-bincang tentang tugas sekolah, masalah game, dan bola. Aku dengan malas melihat-lihat ruko di pinggir jalan dan mobil-mobil yang berlalu lalang, sedangkan Willy sibuk mengutak-atik "harta kebanggaannya". Bunyi klakson mobil dan obrolan orang bercakap-cakap di telingaku.
     Aku melihat anak-anak miskin mengamen di jendela mobil-mobil mewah, yang setiap kali hanya dijawab dengan lambaian tangan. Selama beberapa detik aku melewati mereka, aku tersentuh. Namun, hal itu hanya sekilas terlintas di pikiran, seperti tiupan angin sepoi-sepoi. Lagian, itu hal biasa bagiku. " Toh setiap hari juga udah melihat, kok".
     Ketika kami melewati gang kecil diantara ruko-ruko, aku berpapasan dengan seorang anak kecil perempuan sedang mengamen bersama kakaknya. Suara merdu anak itu menyanyikan lagu" Bengawan Solo" menarik perhatianku dan tanpa sadar berhenti memandangi mereka. Dua orang anak itu tampak kumal dan wajahnya muram.
     Tanpa terduga, perasaanku tiba-tiba tenggelam, dan tanganku sampai pada kantong celana.
     " Woi, Dan! Lo ngapain disana?"  Willy yang beberapa meter ini dengan memanggilku dengan tidak sabar, " Ayo cepat! Nanti terlambat dan film yang jam lima tidak keburu! " Ia bahkan tidak menyadari keberadaan anak- anak itu.
     Tanpa ingin terlihat lemah oleh teman ku ini aku bergegas menyusulnya. Lagian, uang yang ada di kantong ku hanya selembar Rp. 50.000 an. " Tak apalah," kupikir,"pasti juga ada orang lain yang bersedekah". Apa salahnya kalau aku memprioritaskan kebutuhan diri dahulu?
     Berapa menit kemudian, kami sudah berdiri di pintu masuk mal. Waktu yang berlalu sudah memberikanku banyak waktu untuk memikirkan orang-orang kurang mampu di masyarakat kami. Mengapa harus orang lain yang mulai memberi? Mengapa aku tadi tidak jadi berbagi pas tadi lewat? Mengapa? Bagaimana aku bisa bertindak begitu cuek? " Gue bodoh banget, Ya!" ku tegur diriku sendiri dengan kesal.
     Aku menengok kembali dan mulai berlari menuju gang kecil itu. Di belakangku, Willy berteriak memanggilku dengan bingung. Secepat kilat, diriku sudah tiba kembali di gang. Berapa detik kemudian, Willy menyusul dengan napas terengah-engah. " Lo kenapa sih, Dan ? Gue bingung , sejujurnya," ia menatapku seperti menatap orang gila, "ngapain sih? Kalau ingin bertindak seperti ini, tidak perlu merusak hari orang lain juga".
     Kuangkat kaki kiriku, meminta ia untuk diam. Sepertinya, kedua anak itu sudah hilang, dan tempatnya berbaring tubuh seorang kakek-kakek tua berpakaian compang-camping. Ia sedang tidur. Sepasang sepatu dan jaket yang telah usang di letakkan disamping.
     "Ssst!" Kita ambil sepatunya, yuk! Ekspresi kagetnya nanti saat bangun  pasti kocak!" ajak Willy sambil menahan tawa. Aku menggelengkan kepala, berjalan menujunya, dan di dalam sepatu usang kakek itu, ku letakkan uang lima puluhanku.
     Hatiku menjadi ringan, dan aku berjalan pulang sambil tersenyum lebar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H