Mohon tunggu...
Fadhal Muh
Fadhal Muh Mohon Tunggu... Operator - Staff in DGCE

Staff in DGCE, but currently studying in PKN STANN

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

BPDPKS dan Jalan menuju Net Zero Emission, Solusi untuk Sektor Kelapa Sawit

29 Oktober 2024   12:54 Diperbarui: 29 Oktober 2024   13:28 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia berpacu dengan waktu untuk mencapai Net Zero Emission. Target krusial ini bertujuan menyeimbangkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dan yang diserap agar tidak ada emisi tambahan yang memperparah pemanasan global. 

Jika tidak tercapai, suhu bumi bisa meningkat lebih dari 1,5°C dan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, kesehatan, dan ekonomi.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi risiko serius dari kenaikan permukaan laut dan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim. Dengan kondisi ini, Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung pencapaian Net Zero Emission, terutama pada sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan atau FOLU (Forest and Other Land Use). 

Sektor FOLU menyumbang sekitar 40% dari total emisi GRK di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius penurunan emisi hingga minus 140 MtCOâ‚‚e pada 2030. Untuk mencapainya, diperlukan langkah-langkah strategis seperti memperketat perlindungan hutan, rehabilitasi lahan, serta pengelolaan lahan yang berkelanjutan.

Salah satu sektor yang berada di persimpangan ini adalah kelapa sawit, komoditas unggulan yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, namun juga berkontribusi besar terhadap emisi GRK.

Sebagai penghasil utama minyak sawit dunia, Indonesia memiliki lebih dari 16,83 juta hektar perkebunan sawit dengan hasil produksi per tahun mencapai 54,84 juta ton. 

Kelapa sawit berkontribusi besar terhadap neraca perdagangan Indonesia. Pada tahun 2023 ekspor kelapa sawit mencapai 32,21 juta ton dengan nilai USD 30,32 miliar. Selain itu, sektor ini  juga menjadi sumber penghidupan 16,5 juta penduduk Indonesia.

Namun, industri kelapa sawit menuai kritik tajam terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan, yaitu deforestasi, degradasi lahan, dan peningkatan emisi GRK. 

Data menunjukkan bahwa 53,8% pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit bersumber dari deforestasi, sehingga mengakibatkan hilangnya hutan tropis sebagai penyerap karbon alami. Selain itu, praktik pembakaran hutan untuk ekspansi lahan perkebunan memperburuk kualitas udara dan meningkatkan emisi karbon.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) hadir sebagai upaya strategis pemerintah untuk menyelaraskan dikotomi ini. BPDPKS adalah Badan Layanan Umum (BLU) di bawah naungan Kementerian Keuangan, tepatnya Ditjen Perbendaharaan. BPDPKS berperan menghimpun dan menyalurkan dana untuk mendukung keberlanjutan sektor kelapa sawit. 

Dana perkebunan kelapa sawit bersumber dari pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya, dengan penerimaan mencapai Rp32,421 triliun pada tahun 2023. Dana tersebut kemudian disalurkan untuk membiayai berbagai program yang berfokus pada peningkatan produktivitas, pengembangan energi terbarukan, dan perbaikan aspek lingkungan.

Salah satu program utama BPDPKS adalah Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), yang bertujuan membantu pekebun sawit rakyat memperbarui tanaman yang telah tua atau kurang produktif agar lebih efisien dan berkelanjutan. 

BPDPKS telah mengalokasikan Rp1,59 triliun untuk PSR dengan cakupan 21.910 pekebun dan area seluas 53.012 hektar pada tahun 2023. Program ini tidak hanya berhasil meningkatkan produktivitas perkebunan rakyat, tetapi juga mengurangi dorongan untuk ekspansi lahan baru yang dapat menyebabkan deforestasi.

Selain PSR, BPDPKS turut memperhatikan aspek sumber daya manusia melalui program pengembangan SDM. Dengan memberikan beasiswa kepada 6.265 mahasiswa dan pelatihan bagi 14.924 petani dan pelaku usaha, BPDPKS berupaya menciptakan generasi pekerja sawit yang lebih terampil dan berwawasan lingkungan. 

Langkah ini diiringi dengan investasi pada riset sektor sawit, yang pada tahun 2023 mencakup 112 penelitian, dengan fokus pada peningkatan produktivitas, energi terbarukan, dan pengurangan dampak lingkungan. Hasil riset ini diharapkan mampu mendorong inovasi serta pengembangan teknologi yang mendukung keberlanjutan industri kelapa sawit.

Di samping itu, dana BPDPKS digunakan untuk pengembangan sarana dan prasarana, yang meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi logistik bagi petani dan industri kelapa sawit Indonesia. 

Melalui program ini, BPDPKS juga mengakselerasi sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang wajib dimiliki oleh seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dukungan BPDPKS dilakukan dalam bentuk pendanaan, pelatihan, dan bimbingan teknis.

Kendati demikian, berbagai tantangan masih membayangi upaya Indonesia mencapai Net Zero Emission. Pertama, penyaluran dana PSR perlu dioptimalkan agar lebih efektif. Kedua, tingkat sertifikasi ISPO masih rendah, dengan hanya 37,73% dari seluruh area perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi. 

Perkebunan kecil menjadi yang paling terpuruk, dengan cakupan sertifikasi hanya 0,20%. Bahkan, Hadi et al. (2024)menemukan bahwa hampir seluruh pekebun tidak mengetahui bahwa ISPO akan segera dimandatorikan pada tahun 2025.

Ketiga, ada tuntutan dari kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang mewajibkan produk sawit memenuhi standar keberlanjutan yang tinggi dan transparansi rantai pasok guna mencegah kerusakan hutan. EUDR berdampak signifikan bagi Indonesia, mengingat 10% ekspor sawit ditujukan ke Uni Eropa. Jika regulasi ini tidak dipenuhi, Indonesia berpotensi kehilangan sekitar Rp30–50 triliun per tahun.

Di sinilah peran BPDPKS semakin penting. BPDPKS dapat mengakselerasi penyaluran dana PSR dengan meningkatkan koordinasi dan efisiensi proses bisnis. Selain itu, edukasi ISPO dapat dilakukan bersamaan dengan program PSR yang saat ini sudah memiliki cakupan yang lebih luas. Dukungan pendanaan seharusnya ditingkatkan guna memotivasi pekebun memperoleh sertifikasi ISPO. BPDPKS juga perlu melakukan kalibrasi terhadap kriteria verifikasi teknis sesuai dengan standar internasional yang berlaku serta memfasilitasi akses informasi tentang regulasi internasional kepada pelaku industri kelapa sawit.

Dengan demikian, BPDPKS tidak hanya berkontribusi dalam upaya untuk mencapai Net Zero Emission, tetapi juga menjaga kestabilan ekonomi Indonesia yang bergantung pada industri kelapa sawit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun