Mohon tunggu...
Fadhal Muh
Fadhal Muh Mohon Tunggu... Operator - Staff in DGCE

Staff in DGCE, but currently studying in PKN STANN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN dan Daging Wagyu: Tantangan untuk Mewujudkan Keadilan Pajak

14 Januari 2024   18:22 Diperbarui: 17 Januari 2024   09:05 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

PPN Barang Kebutuhan Pokok

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah beban finansial yang tak bisa dihindari saat kita belanja barang atau jasa. Hal ini dikarenakan PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa. Namun, tidak semua barang terkena PPN. Barang kebutuhan pokok, misalnya, dikecualikan dari dari ketentuan ini karena penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2022. Kenapa? Karena barang-barang ini dianggap vital untuk kehidupan sehari-hari dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, barang-barang kebutuhan pokok dikecualikan karena  menyangkut hajat hidup orang banyak yang memiliki skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh barang kebutuhan pokok yang dibebaskan tersebut adalah daging.

Daging Wagyu dan Kelezatannya

Berbicara seputar barang kebutuhan pokok, pengusaha kebutuhan pokok selalu berusaha menciptakan barang kebutuhan pokok yang memiliki daya jual tinggi bagi peminatnya. Dari kondisi tersebut muncul fenomena daging premium, seperti daging wagyu. Barang tersebut menjadi terkenal tidak hanya karena kelebihan gizi yang terkandung dalam daging tersebut, tetapi juga karena harganya yang jauh dari harga barang kebutuhan pokok konvensional. Daging wagyu terkenal dengan rasanya yang unik dan teksturnya yang sangat lembut serta memiliki manfaat kesehatan yang berbeda dari daging sapi pada umumnya. Daging wagyu memiliki keunikannya sendiri dengan adanya tampilan marmerisasi karena adanya guratan putih yang merupakan lemak. Ketika memakannya menimbulkan sensasi lumer di mulut.

Daging wagyu sendiri merupakan daging impor dari Jepang dan supplier tidak begitu banyak, sehingga tidak mudah dijumpai di pasar tradisional. Eksklusivitas ini lah yang menjadi faktor relatif mahalnya harga daging wagyu dibanding dengan daging sapi biasa.

Harganya yang mahal dan tempat penjualannya yang relatif eksklusif membuat daging wagyu memiliki segmentasi konsumen tersendiri, yakni masyarakat yang mengonsumsi daging wagyu adalah masyarakat yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas.

Namun, tidak menutup kemungkinan konsumsi daging wagyu dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat beranggapan dengan mengonsumsi produk yang premium dapat meningkatkan citra yang dimilikinya.

Dorongan Pengenaan PPN terhadap Daging Wagyu

Berdasarkan fenomena tersebut, terdapat beberapa kontradiksi yang patut kita analisis lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas PPN terhadap daging wagyu. Jika kita bandingkan dengan ketentuan pada PP 49 Tahun 2022, seharusnya daging wagyu dikenakan PPN. Penyebabnya adalah konsumsi daging wagyu tidak memenuhi kriteria menyangkut hajat hidup orang banyak. Alasan kuat orang mengonsumsi daging wagyu adalah untuk memenuhi kenikmatan sakunder, bahkan tersier, dan untuk menunjukkan status sosialnya.

Selain itu, pemberian fasilitas PPN terhadap daging wagyu tidak memenuhi asas perpajakan yang dikemukanan W.J. Langen. yaitu asas daya pikul. Pajak memiliki asas daya pikul berarti pajak dikenakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Sehingga, masyarakat yang memiliki penghasilan lebih tinggi harusnya dibebankan pajak yang lebih tinggi pula. Pengenaan pajak terhadap daging wagyu tidak akan menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap permintaannya mengingat segmentasi konsumennya yang memang memiliki daya beli yang tinggi.  

Sebagaimana fungsi pajak, yaitu fungsi regulasi, pemerintah menggunakan pajak untuk mengendalikan perilaku konsumsi masyarakat. Dengan demikian, penting untuk mengenakan pajak pada daging premium seperti daging wagyu untuk mengurangi perilaku konsumtif masyarakat yang memaksakan diri untuk mengonsumsi produk mahal semata-mata untuk menunjukkan status sosial. Selain itu, pengenaan pajak pada daging wagyu akan meningkatkan konsumsi barang substitusinya yang berasal dari dalam negeri, seperti daging lokal.

Dari sisi keuangan negara, pengenaan pajak terhadap daging premium tentu dapat meningkatkan penerimaan negara. Dengan melihat tren konsumsi daging wagyu yang terus meningkat, maka terdapat peluang menambah pundi-pundi penerimaan perpajakan.

Regulasi saat Ini dan Peluang untuk Perbaikan

Sebelum ketentuan PPN pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP) diberlakukan pada tahun 2022, berlaku UU Nomor 42 Tahun 2009 yang mengatur seluruh barang kebutuhan pokok tidak dikenai PPN karena sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kemudian, melalui UU HPP ketentuan mengenai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenai PPN tersebut dihapus. Penghapusan ini dilakukan untuk memberi ruang untuk mengenakan pajak terhadap barang kebutuhan pokok yang tergolong premium.

Namun, sebelum UU HPP tersebut berlaku, pemerintah mengeluarkan PP 49 Tahun 2022 yang mengatur pemberian fasilitas pembebasan PPN terhadap barang kebutuhan pokok. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa barang kebutuhan pokok dibebaskand dari pengenaan PPN karena menyangkut hajat hidup banyak orang. Atas hal tersebut, terjadi pergeseran dari UU sebelumnya yang menyatakan seluruh barang kebutuhan pokok tidak dikenai PPN karena sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Namun, apabila dilihat lebih detil kriteria yang ditetapkan atas setiap item barang kebutuhan pokok dalam PP tersebut ternyata sama dengan yang terdapat pada UU sebelum UU HPP. Tentunya hal ini membuat perubahan dalam peraturan ini menjadi tidak begitu signifikan sehingga untuk melakukan pemajakan atas barang kebutuhan pokok yang tergolong premium sulit untuk dilakukan karena masih memiliki celah hukum.

Dengan demikian, pemerintah harus menentukkan langkah-langkah untuk mengatasi kondisi ini. Mengingat pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok yang tergolong premium sudah sepatutanya dilakukan, maka pemerintah perlu melakukan perubahan atas regulasi yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, saat pemerintah akan memajaki barang kebutuhan pokok premium, maka sudah dilengkapi dengan dasar hukum yang kuat, sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan mewujudkan keadilan pada masyarakat.

Referensi:

Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun