Sekiranya tahun 2015 saya tidak jalan-jalan ke fakultas sastra Universitas Negeri Malang (UM). Mungkin saya tidak mengetahui rekam jejak Sapardi Djoko Damono. Oh ya, tanggal 19 Juli kemarin, beliau wafat di usia 80 tahun. Beliau termasuk 40 sastrawan dan penyair indonesia yang diundang ke frankfurt book fair 2015.
Lahir di Surakarta 20 Maret 1940. Masa mudanya hingga lulus Sekolah menengah atas (SMA) dihabiskan di Surakarta. Di usia masih muda, beliau sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah.Â
Tamat dari SMA, lanjut kuliah ke jurusan bahasa Inggris di UGM, Yogyakarta. Disebutkan Ensiklopedia Sastra Indonesia di laman Kemdikbud.go.id pada tahun 1989 Sapardi memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi yang berjudul "Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur". Tahun 1995 beliau dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
"Sastra bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia merupakan produk masyarakat; ia sendiri bahkan merupakan persoalan masyarakat. Hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakatnya, bukanlah hal yang dicari-cari. Adalah sah apabila kita memasalahkan hubungan timbal balik antara ketiga unsur tersebut."Â
Tulis Sapardi dalam majalah Prisma tahun 1977. Dosen Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Paul Heru wibowo menyebut tugas Sapardi sebagai redaktur sastra membuka kesempatan baginya untuk mengikuti perkembangan teori-teori sastra mutakhir yang sedang berlaku pada masa itu.
Sepanjang hidupnya, suami Wardiningsih ini pernah mendapat anugerah SEA write award. Tahun 2003 juga menerima Achmad Bakrie award. Namanya juga dimasukkan ke dalam daftar 33 Sastrawan Indonesia berpengaruh versi Jamal D. Rahman. Entah bagaimana respon almarhum kala buku kontroversial ini terbit.
Prof. Sapardi dikenal dari puisi puisinya yang menggunakan kata-kata sederhana dan populer. "Puisi-puisinya mengandung mantra..." kata Terenia puspita, salah satu kawan facebook. Berikut ini salah satu kutipan puisi Sapardi :
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
Tak banyak di negeri ini seorang sastrawan sekaligus bergelar profesor. Selain almarhum Sapardi, ada sosok buya Hamka dan Ali hasjmy. Namun citra hamka dan Ali hasjmy sebagai ahli agama lebih kental ketimbang sebagai sastrawan.
Berikutnya Prof. Kuntowijoyo. Lagi-lagi nama yang barusan saya sebut lebih kental sebagai Sejarawan. Selain Kuntowijoyo ada nama-nama yang akrab di sebagian telinga kita, Abdul hadi W.M, Bahrum rangkuti dan yang tidak boleh kita lupakan adalah Umar kayam.
Kembali ke sosok Sapardi, beliau kita kenang sebagai sastrawan apa? Penyair, Cerpenis ataukah novelis. "Hujan bulan Juni" menandakan beliau pantas dikenang sebagai penyair, penyair romantis dong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H