Mohon tunggu...
Fadh Ahmad Arifan
Fadh Ahmad Arifan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pernah bersekolah di MI Attaraqqie. Penggemar mie ayam dan Jemblem

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sikap Daulah Islam terhadap Warga Non-Muslim

24 Oktober 2017   09:01 Diperbarui: 27 Oktober 2017   10:24 2035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: islamnusantara.com

Tak terasa pelajaran fikih di kelas XII sudah masuk ke pembahasan tentang bagaimana sikap Daulah islam terhadap non Muslim. Yang sering didengar lewat berbagai ceramah, bedah buku maupun perkuliahan fikih siyasah adalah Kafir Dzimmi dan Kafir Harbi. Kafir Harbi sudah jelas bagaimana sikap negara kepada kafir yang mengganggu syiar Islam dan kedamaian umat. Daulah islam harus bersikap tegas, boleh memeranginya dengan seluruh kekuatan militer yang ada.

Terhadap kafir Dzimmi, hak hukum dan pendidikan untuk mereka tidak jauh berbeda dengan Muslim. Walau mereka itu jinak alias tidak jahat, dalam bidang politik mereka tidak bisa masuk ke dalam Dewan syuro bahkan menjadi menteri, amir (Gubernur), kepala badan Intelijen dan Penanggungjawab zakat dan wakaf. Pasalnya untuk mengisi jabatan strategis di dalam struktur Daulah islam selain syaratnya berilmu, sehat jasmani dan dewasa, ia harus seorang Muslim.

Di bidang kemiliteran, mereka dibebaskan dari program wajib militer atau yang dalam istilah lain disebut “bela negara”. Akan tetapi boleh direkrut menjadi pasukan elit seperti yang terjadi pada masa Sultan Orkhan dari Dinasti Turki Usmani. Ia membentuk pasukan yang diberi nama “Inkissyariah/Janissary”. Pasukan Janissary ini berasal dari anak-anak non muslim. Mereka dilatih seni perang dan militer dalam nuansa Islam. Pasukan Janissary digambarkan seperti sebuah mesin perang yang siap bertempur kapan dan dimana saja. Tak heran pasukan Janissary ini sangat ditakuti oleh orang-orang Byzantium (Sucipto, Kebijakan Militer Sultan Orkhan Pada Masa Dinasti Turki Utsmani 1327-1360 M, Pascasarjana UIN Yogyakarta, hal 3-4).

Jika ditemukan seorang Muslim membunuh kafir Dzimmi, maka tetap dijatuhi qisas. Wali orang yang terbunuh ini tidak memiliki khiyaar untuk memberi ampunan (Sa’di Abu habieb, Ensiklopedi Ijmak, Pustaka Firdaus, hal 371). Begitu pula jika ditemukan seorang Muslim merusak peternakan babi milik Dzimmi, wajib ia menggantinya. Harap diingat, Hukum islam tetap berlaku bagi mereka (dzimmi) dalam kasus pencurian, perzinahan dan jizyah.

Mengenai jizyah, pemerintah Daulah islam hanya wajib memungut dari kalangan pria merdeka dan berakal. Wanita, anak-anak dan hamba sahaya tidak wajib dipungut. Karena mereka kalangan yang berada dalam tanggungan orang lain. Penentuan besaran pungutan jizyah, tergantung hasil ijtihad pemerintah Daulah islam. Imam syafi’I berpendapat jumlah terendah adalah satu dinar. Tidak boleh kurang dari jumlah satu dinar itu (Imam al-Mawardi, Hukum Tata negara dan Kepemimpinan dalam Takaran islam, hal 279-280). Semisal kafir dzimmi tadi kondisinya fakir sehingga tak mampu membayar jizyah, Daulah islam perlu memberi subsidi untuk mereka yang diambilkan dari baitul Mal (kas negara). Daulah islam dilarang keras memeras mereka (Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik umat terbaik, hal 142-143).

Sebetulnya selain dua jenis non Muslim diatas, masih ada istilah kafir Musta'man. Ia adalah seorang non Muslim yang minta suaka politik (perlindungan). Daulah islam wajib melindungi keselamatannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt: “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS: At-Taubah ayat 6).

Terakhir adalah kafir Mu'ahad, ia adalah seorang non Muslim yang melakukan komitmen atau perjanjian damai (gencatan senjata) atau yang menjalin persahabatan antar negara. Pemerintah Daulah islam harus melindungi eksistensinya selama perjanjian yang ia buat tak menyalahi ketentuan Syariat. Sesuai firman Allah swt : “orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah ayat 4).

Apabila ada Muslim yang berani mengganggu Kafir Mu’ahad, apalagi sampai menghilangkan nyawanya, bisa dipastikan ia takkan mencium bau surga. “barangsiapa membunuh satu jiwa mu’ahad, yang dia memiliki jaminan Allah, dan jaminan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah berkhianat terhadap jaminan Allah, maka dia tidak akan mencium baunya surga, dan bahwa baunya benar-benar didapat dari jarak perjalanan tujuh puluh tahun”. (HR. Ibnu majah). Lain halnya jika kalangan kafir Mu’ahad itu mulai menampakkan sikap atau gelagat permusuhan dan peperangan dengan umat Islam, saat itu status mereka berubah menjadi kafir yang boleh diperangi (Imam al-Mawardi, Hukum Tata negara… hal 284). Wallahu’allam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun