Mohon tunggu...
Fadh Ahmad Arifan
Fadh Ahmad Arifan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pernah bersekolah di MI Attaraqqie. Penggemar mie ayam dan Jemblem

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Fadh ahmad - Trik-Trik Pejabat Lolos Dari Jerat Hukum

17 Juni 2012   20:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:51 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir tiap minggu, kita selalu disuguhi kabar penangkapan pejabat, pegawai pajak, penegak hukum hingga pengusaha di negeri ini. Sebagian dari mereka tertangkap secara individual dan ada pula secara berjamaah. Menurut pantauan ICW, para tersangka itu rata-rata cuma dihukum antara 1 hingga 5 tahun penjara. Para tersangka yang dulunya berkuasa dan punya pundi-pundi uang melimpah ketika dalam penjara juga mendapat perlakuan istimewa, mulai dari rumah tahanan VIP, boleh berobat jika sakit, bisa menghadiri upacara pemakaman kerabat (ex: Artalyta suryani atau Ayin) hingga bisa menjenguk cucu yang sedang ulang tahun (ex: besan SBY, Aulia Pohan).

Di luar para tersangka itu, banyak juga yang ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum selalu berlindung dibalik kata “Asas praduga tak bersalah” dan celah hukum seperti menunggu “Surat ijin pemeriksaan dari Presiden”. Jika cara demikian kurang ampuh untuk lolos dari jerat hukum, biasanya mereka akan melakukan hal-hal ajaib seperti para pendahulu mereka. Diantaranya:

1)Pura-pura sakit (Mazhab Suharto)

2)Kabur sebelum dicekal (Mazhab Eddy tansil)

3)Bergabung ke partai penguasa (Mazhab eks pejabat KPU)

Pura-pura sakit sedang dilakukan oleh tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI, Nunun nurbaetie. Katanya sakit lupa (demensia). Sempat keberadaannya terlacak di Kamboja&Singapura, tapi anehnya lagi ketika pasportnya dicabut, mengapa Nunun masih bisa pindah dari satu negara ke negara lain? Tapi toh ujung-ujungnya ketangkep juga.

Trik pura-pura sakit juga ampuh meluluhkan hati Presiden untuk memberikan pengampunan semacam Grasi kepada tersangka koruptor yakni Syaukanie. Konon setelah diberi grasi, Syaukanie yang dulunya dikabarkan sakit stroke bisa menyanyi bersama cucu dan keluarganya. Trik pura-pura sakit juga sedang dilakukan oleh Inong Malinda dee, eks pejabat Citibank ini diberitakan sedang sakit radang payudara, minta berobat ke Singapura. Tapi untungnya tidak diijinkan.

Cara berikutnya ialah Kabur sebelum dicekal. Trik ini sudah dijalani oleh mantan Bendahara umum partai Demokrat. Yang bersangkutan ketika tahu akan diperiksa KPK, sehari sebelum dicekal ia terbang ke Singapura. Sebagian media menduga kaburnya Nazarudin ini dikarenakan lambannya KPK bertindak dan boleh jadi ia “dilindungi” oleh para petinggi partai yang bersangkutan. Uniknya ditengah bergulirnya kasus yang menjerat lingkaran penguasa, entah kenapa peristiwa teror baik dalam bentuk paket bom buku, paket peti mati, isu cuci otak ala NII-KW9 hingga peristiwa teror kepada aparat mendadak bermunculan? Adakah ini sebuah rekayasa untuk pengalihan isu ala penguasa? Wallahu’alam.

Marilah kita bandingkan perbedaan perlakuan penegak hukum negeri ini kepada orang yang dicap/diduga Teroris dengan para tersangka kasus korupsi. Jika seseorang diduga teroris kemudian dia buron, aparat kita semangat mengejarnya dan keluarganya diciduk. Di negeri ini, jika seseorang menjadi tersangka kasus korupsi dan dia kabur dengan alasan berobat, kenapa aparat penegak hukum kita lamban menangkapnya dan keluarganya tidak kunjung diciduk?

Trik terakhir agar lolos dari jerat hukum adalah dengan cara bergabung dengan partai penguasa. Dengan begitu aparat penegak hukum akan sungkan dan lunglai ketika akan menyidik orang-orang yang diduga terjerat kasus besar. Sebagian eks pejabat KPU ada yang berlindung dibalik kekuasaan dan pengaruh partai berkuasa. Saya kira tidak perlu menyebut siapa saja orangnya, tentu anda akan paham jika menyimak berita politik dari berbagai media massa. Yang perlu kita cermati bersama adalah realitas bahwa "Kita hidup di negara kekuasaan dimana hukum kalah dengan pemegang kekuasaan". Untuk memperbaiki kebobrokan sistem, butuh revolusi moral, bukan remunerasi gaji pejabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun